Share

Ta'aruf Before Married #5

Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas.

Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu.

Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan.

“Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela.

“Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?”

“Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu.

“Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu.

“Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan. Kalau dari mulut dia semua orang tahu kamu sedang melaksanakan ta’aruf, akan banyak godaan yang datang, Nak,”

“Tapi aku percaya sama Reina, Bu!” jawabku tegas.

“Ibu juga percaya sama dia, Nak, bahkan sayang. Tapi untuk sementara waktu, minimal sampai kamu telah memutuskan untuk menikah atau tidak, itulah saat terbaik kamu bisa memberitahunya. Percaya pada Ibu, Nak.”

Dan semenjak saat itu, aku tidak pernah menceritakan apa-apa lagi pada Reina. Terutama saat aku tahu orang yang melamarku adalah Radit, teman baik Reina.

“Nggak, Rei. Aku belum jawab apa-apa. Lagian, bingung juga kali kalo tiba-tiba ditanya begitu.”

“Iya, ya, kalau dipikir-pikir. Kaget juga jomblo tak berpengalaman kayak kamu dilamar orang, haha,” ejeknya dengan tanpa rasa bersalah.

“Tapi, kalau ada apa-apa. Kalau kamu bingung ataupun galau. Kamu tenang aja! Ada aku disini. Kakakmu.” Ya ampun, Rei, aku jadi makin merasa bersalah bohong sama kamu. Kuhabiskan mie yang telah Reina buatkan, kemudian kembali mengerjakan penelitianku.

Meskipun terasa seperti ada yang mengganjal, tapi pergi ke Jepang tetap menjadi prioritasku. Meskipun kadang terbesit, “Kalau nikah sama Radit bisa liburan ke Jepang terus tiap tahun kali, ya.” Tapi aku mencoba menepis pikiran-pikiran itu jauh-jauh. Aku harus bisa ke Jepang dengan kemampuanku sendiri. Lagipula, ini ta’aruf. Bisa saja ditengah-tengah proses, entah itu aku atau dia memilih untuk batal. Bisa karena tidak cocok atau tidak satu prinsip. Semuanya penting untuk menjadi pertimbangan.

“Tunggu dulu, aku kan belum bilang sama Ustadzah Fisha mau lanjut atau nggak. Bentar, emang aku mau lanjut? Ah… bingung!” pikirku. Buyar sudah konsentrasi yang kubangun untuk mengerjakan revisi penelitianku.

Saat kuberitahu ibu bahwa si pelamar adalah Radit, beliau tidak percaya. Dan ketika kukirim CV-nya, kata ibu, ayah malah menangis.

“Malang sekali nasib anak ini ditinggal pergi oleh ibunya. Kasihan…,” ucap ayah penuh drama.

Mengetahui bahwa Radit adalah teman satu kampusku dan juga teman baik Reina, ibu nampaknya semakin memintaku berhati-hati jika memutuskan untuk terus. Pasalnya, ibu tidak percaya bahwa pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu bisa berjalan hanya sebatas kata “Teman”. Ibu takut jika Reina memiliki rasa terhadap Radit.

Namun pikirku, bukankah bilang ataupun tidak bilang ke Reina ujung-ujungnya tetap ada kemungkinan kami akan bermusuhan? Aku rasa memang aku belum bisa menjawab lamaran itu dalam waktu dekat.

“Kira!!!” panggil Reina yang langsung menghampiriku dari tempat duduknya.

“Apaan, sih?”

“Ini Radit ngajak kita ke kafe! Katanya dia ada menu baru. Namanya Pempek Beranak. Ayok coba!”

“Mampus aku,” pikirku. Belum juga menjawab apapun, tanganku sudah ditarik Reina ke atas motornya. Kami menerobos rintik hujan yang menghadang sore itu. Aku merasa setelah keluar dari kandang singa, aku malah masuk lubang buaya. Dan parahnya lagi, si singa ikut.

---------------------------------------------------------------------

GUEDEEE, REK!!!” seru Reina melihat betapa besarnya pempek yang ada dihadapannya itu.

“Ini udah berapa bulan, Dit?”

“Itu udah mau keluar. Tinggal lu bantu operasi sesar aja,” balas Radit.

Sa ae lu, bro, haha!”

“Ayok, Kira, dicoba!” ucap Radit dengan santai.

Dalam pikirku, kok bisa banget dia acting seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara kita. Ya, emang belum, sih. Bahkan aku belum bilang ke Ustadzah apakah ingin lanjut atau tidak. Mungkin saja sikapnya begitu karena tak ingin aku merasa tak nyaman. Apalagi di depanku ada Reina.

Reina makan dengan lahap, bahkan bilang masih bisa tambah tiga porsi. Saat itu dahi Radit mengernyit, seolah merasa salah memberitahu kabar menu baru padanya.

Tapi memang, pempeknya enak. Meskipun hanya sesekali kupesan, tapi gurihnya pempek dan nikmatnya cuka khas Palembang ini tidak bisa dibohongi. Tentunya, traktiran ini kubarengi dengan segelas jus alpukat. Tidak boleh ketinggalan.

“Oh, iya, jadi kapan pengumpulan naskah penelitiannya, Kira?” tanya Radit.

“Hmm, pengumpulannya sih, akhir bulan depan. Tapi rencananya aku mau kelarin pertengahan bulannya,” jawabku sambil mencoba bertingkah biasa saja.

“Jepang, yaa. Ii kuni da ne?” (Negeri yang yang indah, yaa)

“He? Nihongo ga wakaru?” (Ngerti bahasa Jepang?)

“Haha, kalo itu aku nggak tahu.” Aku terkejut dan heboh sendiri. Kupikir demi ta’aruf ini, ia sampai mempelajari bahasa Jepang. Soalnya katanya, cowok kalau mau deketin gebetannya, satu hari sebelum ketemuan mereka akan banyak searching apa yang paling disuka gebetannya. Entahlah apa itu juga berlaku untuk Radit atau tidak.

“Tapi lu pernah ke Jepang, Dit?” tanya Reina.

“Belum. Sebenarnya daripada Jepang, gua lebih tertarik dengan Turki, Rei. Kayak Cappadocia, Istanbul, aku juga pengen banget lihat langsung Hagia Sophia.”

“Wah, islami sekali. Beda banget sama orang di sebelah gue, nih. Padahal hapal 5 jus, tapi dipikirannya cuma Jepang aja.”

“Apaan, sih, Rei!” kataku sinis.

“Yaa, nggak papa kali. Tiap orang kan punya preferensi mereka sendiri. Dan menurutku bagus malah bisa sambil menghafal. Bisalah ngatur batasan-batasannya,” bela Radit, yang hanya kubalas dengan anggukan. Beberapa menit setelah pembicaraan yang membuat jantungku cukup berdegup kencang itu berlalu, Radit meninggalkan kami berdua.

Radit memang tidak pernah lama-lama kalau mengobrol dengan kami saat dia tengah bekerja. Mungkin menurutnya setelah mengobrol dan mendapat review, itu sudah cukup. Toh itu alasan kenapa ia memanggil kami. Aku juga tidak berharap lebih.

Reina mengeluarkan headset-nya, melanjutkan sinetron India yang seminggu ini ia tonton. Sedangkan aku mengeluarkan laptop, melanjutkan revisiku.

Ditengah kerumitan revisi yang membuatku pusing tujuh keliling, sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselku. Sebuah pesan dari Ustadzah Fisha, yang bisa kutebak arah pesannya akan kemana.

Aku melihat ke arah Reina terlebih dahulu. Sepertinya, dunianya sedang penuh dengan acha-acha nehe-nehe. Akupun membuka pesan tersebut.

“Gimana, Kira, sudah ada keputusan?”

Melihat cara pikir Radit tadi, dan apa yang pernah terjadi semasa kami satu kelas, aku melihat bahwa Radit merupakan seorang yang cukup bijak dan dewasa. Seperti terlintas dalam hati, aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Kesempatan untuk menikah dengan orang yang tepat, dengan cara yang tepat. Aku terus berdoa di sepertiga malam tahajjud dan istikharah-ku untuk pilihan terbaik. Jadi mungkin, perasaan ini adalah jawabannya.

Insya Allah, saya terima Ustadzah,” tulisku di dalam pesan.

Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Semoga ini akan menjadi keputusan terbaik untuk dunia dan akhiratku kedepannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status