Share

Ta'aruf Before Married #6

“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu.

Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan.

Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada.

Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.

Pertama, Radit akan pergi ke rumahku untuk lamaran. Tentunya, kami tidak pergi bersama. Aku berencana untuk pergi duluan setelah mengumpulkan naskah penelitianku. Radit akan menyusul beberapa hari kemudian.

Pertemuan ini untuk memperkenalkan Radit pada keluargaku. Sebagaimana lamaran seperti biasa, Ayah sebagai waliku juga akan memberikan beberapa pertanyaan pada Radit. Pertanyaan yang ditujukan sebagai tolak ukur pantaskah Radit bersanding denganku. Mungkin dia akan membawa martabak sebagai senjata rahasia. Ituloh, yang kata orang, “Kalau belum bisa jadi laki-laki yang bermartabat, jadilah laki-laki yang bermartabak.” Aku pun menyarankan rasa keju, karena itu kesukaan ayah.

Jika ayah telah mengizinkan Radit untuk melanjutkan proses ta’arufnya, maka giliranku yang akan bertemu orangtuanya. Namun berbeda dengan Radit yang datang sendirian, ayah Radit meminta ayah dan ibuku juga datang. Katanya untuk silaturahmi sekalian. Setelah keluarga kami mengenal satu sama lain, begitu pula dengan kami, proses ta’aruf bisa berlanjut ke tahap ke tiga.

Tahap terakhir ini akan menjadi saat yang tepat untuk aku dan Radit mengenal satu sama lain, dan bertanya tujuan pernikahan jika kami memutuskan untuk menikah. Tentunya akan ditemani Ustadzah Fisha sebagai perantara kami. Kami akan duduk berhadap-hadapan atau saling membelakangi, lalu melempar pertanyaan satu sama lain. Masing-masing menjawab dan menilai setiap jawaban berdasar logika, dan bukan hanya  perasaan.

Setelah dari rangkaian pertemuan itu mendapat sebuah kesepakatan, jika kami sama-sama memutuskan untuk melanjutkan, maka akad nikah sudah di depan mata. Namun apabila kami merasa tidak sesuai setelah menjalani proses yang ada, ta’aruf pun dapat dibatalkan. Begitulah proses yang akan terjadi dalam masa ta’aruf yang akan kami tempuh. Aku menerimanya dengan syarat aku ingin menyelesaikan penelitianku terlebih dahulu.

Larangan-larangan yang ada tentu saja berhubungan dengan komunikasi secara langsung ataupun lewat pesan tanpa perantara. Ini demi menghalangi kami berbuat hal-hal yang dapat menarik perhatian dan simpatik satu sama lain, seperti ngingetin shalat atau gombalan-gombalan bermodus “Syari’ah”, yang membuat nafsu kami ikut bermain di dalamnya.

------------------------------------------------------------------------

Akhir bulan menjadi tenggat waktu pengumpulan penelitianku. Aku ingin mengikuti saran ibu, jadi aku harus menyelesaikannya minimal pertengahan bulan. Tak ada lagi pesan dari Ustadzah Fisha setelah diskusi hari itu. Perasaanku juga jadi lebih ringan karena semua kegelisahan yang kurasakan kemarin sudah terjawab. Kecuali, fakta bahwa aku masih merahasiakan ta’aruf ini dari Reina. Tapi selama Reina tidak pernah mengungkitnya lagi, kurasa semuanya aman.

“Waduh, banyak banget merahnya,” kataku, saat melihat ke arah kertas revisianku.

Otsukaresamadeshita,” ucap Reina, sambil membawakan secangkir teh hangat.

“Nambah lagi kosa katamu,” seruku.

“Iya dong, Reina!”

Sebagai informasi, Otsukaresama adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk mengungkapkan apresiasi atas kerja keras yang dilakukan oleh teman atau rekan kerjamu. Sedangkan Deshita membuatnya terasa lebih formal. Kalau di beberapa anime yang pernah kutonton, artinya bisa seperti “Terimakasih atas kerja kerasnya” dan sejenisnya.

Keunikan bahasa inilah yang membuatku tertarik pada linguistik. Pada dasarnya setiap bahasa mempunyai cara mereka untuk menyampaikan rasa, makna, dan juga kekuatan. Meskipun aku belajarnya di Sastra Inggris, tapi secara konsep, linguistik bisa diterapkan di mana saja. Yaa, meskipun banyak cabangnya, sih. Apa lagi grammar. Susah!

Penelitianku pun demikian. Aku meneliti bagaimana kata-kata dalam sebuah berita bohong atau hoax mempengaruhi manusia melakukan tindakan. Saking kuatnya kekuatan bahasa, aku rasa, bahkan dari bahasa dapat menciptakan perdamaian. Tapi dari bahasa, juga bisa menciptakan pertikaian. Dari situlah keinginanku mengulik tema ini. Agar suatu saat semua orang dapat menyadari bahwa menelaah setiap kalimat dengan baik, dan membandingkan setiap bukti dengan kebenaran adalah hal yang penting. Sangat penting sehingga kita dapat terhindar dari salah satunya propaganda, apalagi propaganda yang diciptakan oleh media hoax.

“Masih banyak, kah, Ra?” tanya Reina.

“Lumayan, Rei. Ada beberapa yang aku tahu konsepnya, tapi bingung nulisnya gimana.”

“Ohh, gitu…,” jawab Reina, sambil mengangguk dan sesekali tersenyum.

Hwee… kenape lu? Cengengesan bae,” tanyaku.

“Gakpapa… cuma ngeliat kamu yang sekarang, aku ngerasa kamu udah banyak berubah, ya. Kayak beda aja gitu dari waktu pertama kita ketemu.”

Aku memandang Reina lamat-lamat, kemudian setengah menutup laptopku. Aku pun memeluk sahabatku yang paling kesayangi ini.

“Ini semua juga berkat kamu, Rei! Karena kamu orangnya hebat, makanya aku ketularan, deh!”

“Haha, iya juga, yaa. Aku kan emang hebat!”

Malam ini, mungkin, menjadi malam yang paling hangat yang pernah kami berdua rasakan. Jauh lebih hangat dari malam malam sebelumnya.

---------------------------------------------------------------------

Aku bergegas lari ke perpustakaan, tempat aku akan menemui Pak Tirta untuk memberikan revisi penelitianku. Setelah bertemu, beliau tak berkomentar apapun mengenai revisiku. Yang ia katakan hanya “Ini sudah bagus. Semoga kamu beruntung!” Aku keluar dari perpustakaan menemui Reina yang menungguku di luar.

“Yattaaaa!!!” kataku padanya. Kami langsung berpelukan dan Reina mengucapkan selamat.

“Akhirnya selesai, ya! Semoga cita-cita sahabat gue untuk ketemu Doraemon tercapai,” ucap Reina.

“Hehe, makasih,”

“Bagaimana kalau kita merayakannya dengan makan pempek beranak di kafe Radit!” ajak Reina.

Tak kusangka sampai detik dimana aku sudah menerima ta’aruf Radit, aku belum bercerita apapun lagi pada Reina. Perasaanku menjadi aneh tiap kali memikirkannya. Apalagi kalau memikirkan risiko yang mungkin saja terjadi.

“Jika nanti Reina mengetahui kalau aku akan menikah dengan Radit, apa dia akan mendukungku?” begitu pikirku.

“Rei, aku mau ngomong sesuatu,” ucapku. Aku merasa, mungkin tidak masalah jika sekarang aku mengatakannya.

 “Anu…,” saat aku ingin mengatakan semuanya, tiba-tiba, aku melihat mata Reina tak henti menatap ke arah lapangan basket. Dan jika aku tidak salah lihat, pandangannya, tidak lepas dari memandangi Radit yang sedang bermain basket di sana.

Ini pertama kalinya aku melihat Reina memandang seseorang sedalam itu. Dan baru kusadari bahwa selama ini pandangannya itu menuju ke Radit. Mengapa aku tidak menyadarinya? Reina yang dekat dengan Radit. Reina yang kalau ada apa-apa, selalu lari ke kafe Radit. Bukankah itu pertanda, bahwa mungkin, Reina memiliki perasaan pada Radit?

“Eh, maaf, jadi ngelamun. Mau ngomong apa tadi, Ra?” tanyanya sekali lagi.

“Ah, nggak, itu. Aku pikir bosan kalau tiap kali ngerayain sesuatu harus ke tempat Radit. Aku lagi pengen makan steak. Gimana kalau aku yang traktir?” tanyaku, yang akhirnya memutuskan untuk tetap merahasiakan semuanya.

“Hmm, pas kamu ngomong itu, aku jadi pengen. Ada kata traktirnya lagi. Jadi tambah pengen. Yaudah, yok!” Aku naik ke motor Reina. Kami berdua pun pergi ke kafe steak dekat kota. Di perjalanan, sambil terus mengingat tatapan Reina tadi, aku terus berpikir apakah pilihan yang kupilih ini merupakan pilihan yang tepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status