Share

Ta'aruf Before Married #9

Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi.

Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya.

Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul.

Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu.

Aku diminta mengupas beberapa bahan, seperti bawang merah, bawang putih, kentang, memotong cabai, dan rempah-rempah lain. Selagi aku memotong, ibu mulai memasukkan beberapa bahan untuk di blender. Setelah halus, ibu menuangkan bahan tadi ke dalam panci lumayan besar berisi ayam yang sedang direbus. Aku rasa ibu akan membuat opor ayam kali ini.

“Kemampuan masak kamu udah nambah belum, Nak?” tanya Ibu, disela-sela kami memasak bersama.

“Yaa, di rumah selalu Mama, sih yang masak, hehe,” jawabku.

“Nah lo, nggak boleh gitu, Nak! Nantinya siapa yang bakal masakin Radit kalau kamu belum bisa masak? Terus kalau kamu punya anak gimana? Masa mau dikasih makanan dari restoran cepat saji. Nutrisi yang baik itu perlu, dan seorang Ibu harus jadi yang paling tahu bagaimana caranya memberikan nutrisi terbaik itu.”

“Yaa, tapi Bu, ini kan masih lamaran. Bisa jadi di tengah-tengah nanti akan batal, ‘kan?” Ibu menatapku setelah aku mengucapkan kalimat tersebut. Sebuah tatapan bingung dan kaku.

“Kenapa, Bu?” tanyaku.

“Hmm, nggak papa. Iya, ya, masih ta’aruf. Masih bisa batal.” Kami lanjut memasak, meskipun suasana dapur saat itu terasa begitu canggung.

Berbeda dengan ibu, nampaknya ayah jauh lebih santai. Saat ini beliau sedang mencuci mobil di teras rumah.  Aku menghampiri beliau dengan membawa segelas kopi untuknya.

“Ini kopinya, Yah.” Ayah menghampiriku.

“Kamu grogi, nggak, Nak?” tanya Ayah, mengambil langkah ke kursi di sebelahku.

“Lumayan, sih, Yah. Ada rasa nggak nyangka juga. Kalo Ayah?”

“Grogi banget!” jawab Ayah terbahak.

“Itu sebabnya Ayah alihin semua pikiran Ayah ke cuci mobil. Biar nggak terlalu mikirin anaknya bakal dilamar orang besok. Tapi nampaknya, nggak mempan, haha!”

Emang mustahil jika Ayah tidak memikirkan hari esok. Beliau akan jadi orang yang paling panik jika ada hal besar terjadi padaku. Dahulu, waktu MOS SMA pun begitu. Beliau sampai menghadap kepala sekolah dan ketua OSIS agar tidak ada perpeloncoan padaku. Jujur agak malu juga saat itu. Padahal sudah kuberitahu kalau sudah dua tahun ini, sekolah sudah melarang MOS yang mengarah pada perpeloncoan. Tapi beliau kekeh ingin memintanya langsung pada pihak sekolah.

Ya, mau bagaimana lagi? Aku adalah anak semata wayangnya. Cewek pula. Sudah pasti penjagaan ketat akan beliau kerahkan untukku. Meskipun terkadang agak berlebihan dan membuatku sedikit malu, tapi semua itu karena beliau menyayangiku.

Ayah Ibuku juga taat mengajariku tentang agama. Bagaimana aku sholat dan beribadah, menyayangi sesama, bahkan melarangku berpacaran.

“Semua lelaki itu jahat, kecuali Ayah. Cuman Ayah yang baik hati dan keren!” begitu doktrinnya.

Saat kecil, aku sering diajari tentang Al-Qur’an. Sejak SD pun sudah mulai menghafal. Walaupun masih jus 30, tapi lumayan, ‘kan? Sampai sekarang pun aku masih mencoba memperbanyak hafalanku, hingga akhirnya aku dapat menjadi seorang hafidzah di masa depan. Selain agar lebih dekat dengan Allah dan Rasul, ini semua demi memberikan mahkota surga terbaik untuk orangtuaku.

“Jadi, dia datang kapan?” tanya Ayah.

“Kata Ustadzah kemungkinan agak sorean. Nanti dia datang sama Ustadzah,” jawabku.

“Tapi Ayah masih tidak menyangka kalau dia hampir putus kuliah. Di usia dimana remaja-remaja seperti kalian masih suka have fun, nongkrong-nongkrong di kafe nggak jelas, ia malah menghabiskan waktunya untuk belajar bisnis, mengintropeksi diri, bahkan bersedia mendengar saran ayahnya yang ia tahu telah gagal. Sungguh dia anak yang bijak dan dewasa.” Aku senang mendengar semua komentar itu dari Ayah.

“Tapi ingat, Nak. Jangan dulu pasang perasaanmu untuknya, ya! Biarkan Ayahmu yang kece ini menghadapinya terlebih dahulu. Biar kalau ternyata dia ketahuan cuma buaya darat yang lewat, Ayah yang akan menghajarnya terlebih dahulu untuk melindungi kamu. Paham, ‘kan?” Aku tersenyum mengangguk mendengar pernyataan Ayah.

Malamnya, Ayah dan Ibu memanggilku, dengan maksud menanyai kesiapan ku terhadap pernikahan. Mereka ingin tahu apa visi misiku, alasanku kenapa akhirnya menerima dan hal-hal lainnya. Ini semua karena mereka ingin melihat keteguhan dalam pilihanku. Karena pernikahan bukan sekadar hubungan, melainkan sebuah janji suci yang akan menyempurnakan separuh dari agama seseorang.

------------------------------------------------------------------------------

Esok hari telah tiba, Ibu menyiapkan sajian yang ada. Padahal sudah kubilang ini bukan hajatan, tapi beliau benar-benar sudah memasak banyak jenis makanan. Beliau bilang jika tidak habis, bisa jadi santapan berbuka puasa sunnah di masjid.

Assalam mualaikum.” Ustadzah Fisha memasuki rumah kami, diikuti Radit di belakang beliau.

Kami semua duduk di ruang tamu. Aku, Ibu dan Ayah, serta Ustadzah Fisha dan Radit di hadapan kami.

“Senang rasanya dengan kedatangan ananda Radit hari ini. Apa kabar, Nak?” tanya Ibu memulai pembicaraan.

“Alhamdulillah, baik Tante, Om. Oh, iya, saya bawa oleh-oleh.” Bukan martabak, Radit membawa beberapa jajanan khas Bandung.

“Kemaren saya habis dari Bandung dan saya bingung harus beli apa. Kemaren ngelewatin toko oleh-oleh jadi sekalian aja bawa ini.”

“Oh, makasih ya, Nak. Jadi ngerepotin.” Ibu mengambil kantong berisi oleh-oleh tersebut, lalu membawanya ke dapur.

“Sekali lagi makasih atas kedatangannya, ya. Mungkin sebelum kita mulai acara hari ini, kita makan ke dalem dulu aja, ya. Biar nggak tegang-tegang banget, gitu, haha.” Padahal Ayah yang saat ini terlihat sangat tegang.

Kami pun pergi ke meja makan. Di depan kami sudah banyak hidangan-hidangan enak dari Ibu siap untuk dicicipi.

Kami banyak berbasa-basi di meja makan. Ayah menanyakan bagaimana kuliah Radit sekarang. Karena ia cuti setahun, artinya, dia satu tahun di bawahku sekarang. Aku akan duluan lulus daripada dia. Tapi sepertinya, itu bukan masalah besar.

Selesai makan, Ayah memintaku membantu Ibu merapikan meja dan mencuci piring. Kemudian, Ayah mengajak Radit dan Ustadzah kembali ke ruang tamu. Saat ini aku penasaran dengan apa yang akan ayah tanyakan pada Radit. Namun di dapur, Ibu menghentikanku.

“Biar sampai sini Ayah dulu yang urus, ya. Kamu sama Ibu dulu.”

Ibu bilang ada baiknya saat lamaran, si wanita tidak usah ikut mendengarkan. Takutnya si wanita termanipulasi dengan kata-kata sang pria, sehingga membuat syaitan ikut berperan. Tentunya masuk akal mengingat perempuan dominan melibatkan perasaannya. Hanya dengan kata-kata manis saja memungkinkan si wanita untuk terjebak dengan akal bulus si pria. Meski aku pikir Radit tidak seperti itu, tapi kata Ibu ada baiknya untuk tetap waspada.

Aku tidak tahu pasti, tapi kudengar Radit melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Aku mengambil kesimpulan bahwa Ayah sedang menguji hafalannya. Karena biarpun ayahku mudah menangis, beliau tetap seorang hafidz. Ujian baca dan hafal Qur’an tidak mungkin terlewat.

Selang beberapa waktu, terlihat dari kejauhan Radit seperti sedang menceritakan sesuatu. Aku tahu ayah sangat tertarik dengan cerita masa lalunya. Aku seperti bisa menebak pertanyaan beliau saat ini.

“Saya ingin tahu apa pengalaman yang paling membuatmu terpuruk, dan bagaimana caramu menanggapinya?” Kurang lebih mungkin seperti itu.

Cerita panjang Radit pun dimulai. Cerita yang akan menentukan apakah Ayah akan menerima lamarannya, atau malah ta’aruf ini dibatalkan.

.

.

.

.

Halo semuanya, semoga temen-temen readers suka sama cerita ini, ya. Sekedar informasi, kalau mulai dari bab-bab berikutnya akan ada berbagai macam POV, mulai dari sudut pandang Kira, Radit dan Reina. Jadi harap perhatikan kata POV pada setiap awal bab biar nggak pada bingung, yaa...

Happy reading!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status