Share

Ta'aruf Before Married #8

“Kamu bohong, Kira!”

Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur.

_________________________________________________________________

Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain.

“Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya.

“Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan.

“Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….”

No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya.

“Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya.

“Nggak, Rei, yang ada nanti aku telat kalau keasikan ngobrol,” jawabku menolak.

“Kira…,” Reina memanggilku.

“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan?” Jika aku bisa umpamakan kejadian saat ini dengan suatu drama, aku bisa merasakan saat ini mungkin, mungkin…, Reina sedang mencium adanya bau kebohongan.

“Nyembunyiin apa, Rei,” jawabku, sambil membalik badanku. “Aku cuma nggak mau telat. Itu aja. Can you believe me with that?” Reina mengangguk.

“Yaudah aku mau mandi dulu, ya,” ucapku, untuk menghindari pertanyaan Reina yang lain.

Aku terus berpikir, apakah Reina merasakan kebohonganku? Atau ia sudah tahu semuanya? Tapi, apa sebenarnya yang membuatku terus berbohong pada sahabatku? Apakah karena permintaan ibu, atau aku takut mengetahui fakta bahwa mungkin Reina menyukai Radit. Aku membasuh kepalaku dengan air yang lumayan dingin. Menyegarkan pikiranku yang berkeliaran kemana-mana.

---------------------------------------------------------------------

“Aku pergi dulu, ya, Rei, Mah. Assalam mualaikum!” Aku melambaikan tanganku pada Mama dan Reina yang melepasku di stasiun.

Keretaku, kereta ekonomi gerbong C dengan nomor kursi 10. Aku duduk di dekat peron sambil sesekali melihat orang berlalu lalang di stasiun. “Akhirnya pulang lagi,” gumamku. Aku juga membawa apel malang dan kue-kue lain sebagai oleh-oleh untuk orangtuaku. Aku sangat merindukan mereka.

Saat tiba di dalam kereta, aku mengabari ibu. Aku telpon beliau sekadar mengabari bahwa aku telah berada di dalam kereta. Namun, akhirnya kami malah mengobrol lama.

Aku juga berfoto untuk Mama dan Reina agar mereka tahu bahwa aku sudah di dalam. Mereka berdua sama-sama bilang hati-hati di jalan. Bahkan titik koma hingga tulisan typo-nya pun sama. Aku sampai terkekeh membacanya. Aku juga menghubungi Ustadzah Fisha. Beliau turut mendoakan. Sejauh ini, semua berjalan lancar sesuai yang dijadwalkan.

Tidak bisa dipungkiri, hatiku rasanya gugup. Jika mengingat bahwa saat ini aku dalam proses ta’aruf, rasanya, aku bingung mau berekspresi apa. Senang? Entahlah. Takut? Mungkin. Kereta perjalanan Malang-Jakarta menempuh waktu sekitar 14 jam. Waktu yang lumayan panjang itu menjadi semakin lama rasanya saat sedang memikirkan sesuatu sendirian.

“Bismillah,” ucapku, yang mencoba tidur, namun tak mampu.

Malam yang panjang pun berganti menjadi pagi. Kereta rute Malang-Jakarta telah sampai di stasiun pasar senen. Dan saat ini, aku mengantuk. Aku tidak tidur sama sekali di dalam kereta saking gugupnya.

Kring!!! Kring!!!

Ponselku bordering, dan ternyata dari ibu. Aku mencari mushola terlebih dahulu untuk mengangkat video call sebelum akhirnya berlanjut dengan KRL.

Assalam mualaikum, Bu. Aku udah sampai Pasar Senen, nih,”

W* alaikum salam. Alhamdulillah, kalo gitu, Nak.”

“Iya, Bu,” jawabku kelimpungan.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu.

“Nggak papa. Cuma ngantuk aja kok.” Aku salah bersikap. Harusnya aku cuci muka dulu tadi sebelum mengangkat telepon. Alhasil, Ibu mengomeliku panjang karena tidak berhati-hati dalam menjaga tidurku selama perjalanan. Tapi itu tidak sepenuhnya salahku, ‘kan? Namanya orang grogi mau dilamar, yaa, mau bagaimana lagi!

“Yaudah kalau gitu, kamu cari KRL bekasi dulu sana. Dan awas, jangan tidur di KRL. Pastikan semua barang-barang kayak HP, dompet semua di tempat yang aman,” ucap Ibu.

“Oke, Bu….”

Selang beberapa waktu, aku tiba di stasiun Bekasi. Tidak jauh dari stasiun, aku melihat ayahku melambaikan tangannya.

“Kira!!!” teriak Ayah. Aku pun menghampirinya, mencium telapak tangan dan memeluknya. Rindu sekali rasanya. Ayah tidak berubah. Masih buncit, namun sangat mencintai anaknya.

“Yok, kita pulang. Ibu udah masak rendang kesukaan kamu.” Mendengar Ibu memasak rendang membuat kantukku yang sedari tadi kurasa hilang seketika. Seolah rasa rendang sudah menerjang indra pengecapku, mencabikku hingga tersadar.

Aku sampai di rumah, mengucap salam, lalu memeluk Ibuku erat. “Selamat datang di rumah,” ucapnya. Aku berjalan ke arah kamar, meletakkan tasku di atas kasur yang masih kupakai sejak kelas enam SD.

“Ayok, Kira makan dulu. Ada rendang, nih!” panggil Ibu.

“Siap!” Sebelum ke bawah, sekali lagi aku memotret diriku yang saat ini di kamar, lalu kukirim ke Reina. “Aku sudah sampai,” begitu tulisku, yang dijawab dengan alhamdulillah. Setelah mengirimi Reina pesan, akupun bergegas ke meja makan. Aku sudah sangat lapar dan rindu dengan masakan Ibu.

“Uwah, rendangnya banyak!” ucapku, saat melihat segunung daging sapi khas padang itu di hadapanku.

“Awas salah ambil. Saking kelaparannya nanti malah keambil lengkuas lagi,” kata Ibu.

Mendengar peringatan itu, akupun berhati-hati. Aku tidak ingin gigitan pertamaku menjadi gigitan kekecewaan. Dengan seksama, kupencet satu-satu tumpukan daging itu, mencari yang mana yang paling lembut. Setelah kudapat, langsung kutaruh lima daging ke atas piringku.

“Haduh, anakku kelaperan, toh,” kata Ibu, diikuti dengan tawa Ayah.

“Kasiannya anak Ayah. Perbaikan gizi ya, Nak, haha.”

Kami pun makan bersama. Kurasakan lagi obrolan di atas meja makan yang biasa kami lakukan. Ibu bertanya tentang kuliahku seperti apa, Ayah juga menceritakan keseharian beliau di kantor bagaimana. Suasana yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Setelah makan, aku kembali ke kamarku. Melempar badanku ke atas kasur empuk kesukaanku. Ibu dan ayah belum menanyaiku tentang ta’aruf ataupun Radit. Sepertinya mereka ingin aku untuk istirahat terlebih dahulu. Kupejamkan mataku setelah satu malam penuh terjaga karena gugup.

Waktu subuh telah tiba, suara ayam ayah berkokok membangunkanku. Aku segera mengambil wudhu ke kamar mandi. Setelah berwudhu, Ibu memanggilku dengan masih mengenakan mukena miliknya.

“Kira… Sholat bareng, yok!” Ibu mengajakku untuk sholat subuh berjamaah.

Aku ingat sekali didikan ibu saat aku masih di sekolah dasar. Mau aku menangis sekencang apapun saat subuh, tapi beliau selalu saja membangunkanku, lalu membantuku mengambil wudhu. Air dingin memang menghilangkan kantukku kala itu. Setelahnya, kami pun sholat subuh bersama.

Ibu mendidikku dengan sangat baik. Mulai dari intelektual hingga ke rohani. Ayahku juga sama hebatnya. Berkat kerja keras dan kejujuran beliau, aku bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Mereka adalah dua orang yang paling aku cintai. Suatu saat nanti, meski kutahu bahwa aku takkan mampu membalas kebaikan mereka, aku harap bisa selalu membuat ayah dan ibu bahagia, bahkan hingga di surga kelak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status