Share

5. Golden Blood

Pertolongan pertama pada Teresa segera dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Wibi. Para perawat dan dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien itu. Terlebih lagi, dia sedang mengandung sekarang. Resiko kehilangan nyawa lebih besar, dibandingkan wanita lain yang tidak berbadan dua.

Bunuh diri merupakan salah satu dari 15 besar penyebab kematian di dunia. Setidaknya lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Dan untuk pelaku dengan rentang usia 15-29 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian utama.

Di antara para tenaga medis itu, terdapat Winda Amelia atau yang akrab dipanggil Amel. Dia bertugas mengurus administrasi pasien. Yah, sebenarnya ini bukan tugas utama Amel. Tapi, di situasi darurat seperti sekarang, apa saja harus dilakukan dengan cepat.

"Dok, kondisi pasien semakin melemah. Dia butuh transfusi darah secepatnya!" ucap seorang pria dengan masker menutupi mulut dan hidungnya.

"Segera lakukan transfusi begitu kantung darahnya datang!"

"Baik."

Orang-orang berpakaian putih itu kembali sibuk. Beberapa memeriksa tanda vital pasien dan berusaha membuat Teresa tetap sadar. Salah satu perawat membersihkan pergelangan tangan pasien ini dari darah. Dia sudah terlatih menangani luka sayat seperti ini. Meski hanya luka kecil, namun memerlukan penanganan yang serius. Jika tidak, maka perdarahan itu tak kunjung berhenti dan akan membahayakan nyawanya.

Greg

Amel bergabung dengan rekan-rekannya. Dia baru saja menyerahkan stopmap berisi tanda tangan Wibi ke bagian administrasi. Segera, dia bergabung dalam misi penyelamatan ini. Perjuangan hidup dan mati wanita ini sangatlah penting. Tidak peduli latar belakang atau status pasien ini, sudah menjadi keharusan bagi tenaga medis untuk bersikap profesional.

Para ksatria berpakaian putih ini harus menyelamatkan nyawa para pasiennya, entah itu mereka pencuri, koruptor, begal, rampok, atau penjahat kelas kakap sekalipun. Yang terpenting adalah mereka makhluk hidup. Urusan lain, sama sekali bukan tanggung jawab mereka.

"Dok, stok darah kosong. Dia salah satu 'Golden Blood'." Lapor pria yang bertanggung jawab mengambil kantung darah dari bank darah rumah sakit ini.

Amel menoleh saat mendengar pernyataan itu. Dia tahu benar apa arti istilah ini. Dari semua jenis golongan darah yang ada, ada satu yang paling langka. Jenis golongan darah ini adalah Rh-null, yang kerap disebut juga dengan 'Golden Blood'. Menurut data yang ada, hanya 43 orang di dunia yang memiliki golongan darah ini.

Pertanda dari golongan darah ini adalah kurangnya antigen dalam sistem Rh, yang merupakan sistem golongan darah terbesar.

"Hubungi Bank Darah PMI pusat. Tanyakan stoknya sekarang!" perintah dokter senior yang bertanggung jawab dalam misi penyelamatan kali ini.

"Dok, saya bisa donor," cetus Amel.

"Kamu?!"

"Ah, iya. Amel Rh-null, Dok." Perawat pria itu teringat akan golongan darah gadis satu ini.

'Golden Blood' ini dapat ditransfusikan ke semua jenis golongan darah. Namun, orang dengan golongan darah Rh-null hanya bisa menerima transfusi darah dari jenis golongan darah yang sama.

"Baiklah. Cepat lakukan pengambilan darah!"

Detik berikutnya, Amel berbaring di atas brangkar. Salah satu rekannya segera melakukan tugas yang dokter minta.

Proses transfusi darah itu berjalan dengan lancar. Nyawa Teresa berhasil diselamatkan. Masa kritisnya sudah lewat, membuat perawat dan dokter bisa bernapas lega.

Di luar ruangan, tersisa Wibi seorang diri. Tiga orang karyawan hotel Queen sudah pergi begitu pria itu menandatangani dokumen persetujuan yang Amel ulurkan beberapa waktu yang lalu.

Tak berapa lama kemudian, para perawat keluar dari pintu IGD, menuju ruang depan dimana mereka berjaga sebelumnya. Di belakang, dua orang perawat tampak mendorong ranjang berisi Teresa yang memejamkan matanya. Mereka bersiap memindahkan pasien ini ke ruang perawatan.

"Tunggu!"

Grep

Wibi mencengkeram lengan Amel, membuat gadis itu meringis kesakitan. Jemari pria itu tepat menekan siku bagian dalamnya, bekas transfusi darah tadi.

"Maaf!" Wibi segera melepaskan cekalannya. "Bagaimana kondisinya?"

Amel berusaha menetralkan wajahnya. "Mari ikut saya."

DEG!

Jantung pria ini serasa berhenti berdetak saat pandangan matanya bertumbuk di titik yang sama dengan Amel. Ada perasaan tak menentu di dalam hatinya saat melihat wajah Amel yang pucat pasi seperti mayat hidup.

Amel berjalan lebih dulu menuju ke bagian TPPRI (Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap) yang ada di ujung koridor. Itu merupakan tempat dimana pengaturan pasien rawat inap dilakukan. Keluarga pasien diharuskan menyerahkan data diri di tempat itu.

Wibi hanya bisa mengikutinya dalam diam. Entah kenapa ada perasaan yang tidak asing saat melihat punggung mungil yang berjalan di depannya ini, seolah mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Ada perasaan nyaman dan akrab yang Wibi rasakan. Padahal, baru hari ini mereka bersua. Itu pun karena berbagai kejadian tak terduga yang ada.

"Pak, silakan isi data diri pasien." Amel menyerahkan dua lembar formulir pendaftaran pada Wibi, meminta pria ini mengisinya.

"Kenapa harus saya?" tanya Wibi, merasa keberatan dengan hal ini. Dia merasa tidak perlu bertanggung jawab pada mantan kekasihnya, karena memang mereka tidak ada hubungan sama sekali saat ini.

Amel mengembuskan napas beratnya. Tubuhnya masih lemas akibat donor tadi, dan masih harus berurusan dengan pria menyebalkan ini.

"Kalau begitu, bisa Bapak berikan kartu identitas Nona tadi? Biar saya yang akan mengisinya."

Wibi terdiam. Dia tidak bisa memberikan data yang Amel minta. Jangankan data diri, Teresa bahkan berlari menggunakan sandal hotel, tanpa sepatu atau alas kaki lainnya. Kejadian itu terjadi begitu cepat, pasti wanita itu meninggalkan kartu identitas di kamarnya.

Srett

Wibi mengambil kertas itu dari tangan Amel dengan wajah bersungut.

"Pena!" titah pria itu.

Lagi-lagi Amel harus bersabar menghadapi pria ini. Sikap bossy-nya benar-benar menyebalkan, khas para CEO muda di novel-novel online yang biasa ia baca saat memiliki waktu senggang.

'Sabar, Mel,' bisiknya dalam hati. Ia menyerahkan bolpoin miliknya pada Wibi. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Amel selalu membawa pena dan blocknotes di sakunya.

"Silakan, Bapak!" geram Amel tertahan. Gigi-giginya saling beradu, rahangnya mengerat, namun bibirnya menunjukkan senyum sebisa mungkin.

Dalam hati, ingin sekali Amel menempiling pria ini. Jelas-jelas ada pena di saku jas yang dikenakannya, tapi pria menyebalkan ini justru minta padanya. Tipikal orang yang tidak mau dirugikan sedikit pun.

Tak lama kemudian, Amel mengambil form dari loket TPPRI.

"Silakan tanda tangan di sini, Pak." Amel meminta hal yang sama seperti sebelumnya pada Wibi, membuat pria itu mengerutkan kening.

"Untuk apa?" tanya Wibi ketus.

'Astaghfirullah. Sabaaaaaaarrrrr,' lirih gadis 25 tahun ini dalam hati.

"Ini form persetujuan rawat inap, Pak. Kedepannya, pasien masih memerlukan perawatan intensif sampai kondisinya membaik. Bapak harus bertanggung jawab untuk urusan administrasi dan lain-lain. Jika pasien memiliki asuransi atau BPJS, maka bapak bisa mengurusnya nanti. Silakan ikuti prosedur yang ada." Kesabaran Amel benar-benar di uji. Kepalanya terasa sedikit pusing karena belum sempat istirahat setelah donor, dan pria ini justru membuat urusan administrasi semakin rumit.

"Saya bukan ayah dari bayi yang dikandung wanita itu. Saya tidak akan tanda tangan!"

'Astaghfirullah. Dosa apa yang hamba lalukan sampai bertemu pria bebal seperti ini, Ya Allah?' keluh kesah itu hanya terucap dalam hati gadis berjilbab ini.

"Bapak Ryan yang terhormat. Ini pertanggungjawaban pasien di rumah sakit, bukan tanggung jawab antara ayah dan anak seperti yang Bapak pikirkan. Bukan sama sekali. Silakan, Pak." Amel kembali menunjukkan senyum palsunya. Ingin sekali meninju pria ini. Dia benar-benar kesal.

"Kamu tahu nama saya?" Wibi agak tersentak saat mendengar perawat ini menyebut namanya. Ada perasaan hangat di dalam hatinya.

"Tentu saja, tuan Ryan Wibisono. Anda memakai name tag di sana." Amel menujuk dada sebelah kanan Wibi.

Detik berikutnya, pria itu langsung tanda tangan. Wajahnya memerah menahan malu. Pertama, malu karena masalah kesalahpahaman ayah-anak tadi. Kedua, malu karena terlalu percaya diri. Dia pikir perawat ini mengenalnya secara personal. Entah bagaimana dia bisa berpikir akan hal bodoh ini. Apa yang dia harapkan dari perawat ini? Astaga!!

***

Bener-bener sabar banget yaa si Amel ini? πŸ˜‚πŸ˜‚

See you next episode.

Hanazawa Easzy

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status