Share

6. Pria Aneh

Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.

Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.

Krekk krekk

Terdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.

Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.

Ada perasaan gamam dalam dirinya saat merawat wanita itu. Bagaimana tidak? Teresa hanya memakai hotpants dan tanktop warna hitam. Benar-benar pakaian yang tidak pantas dipakai keluar rumah. Amel merasa malu melihatnya. Aurat wanita itu terpampang nyata, membuat siapa saja bisa melihatnya. Padahal sejatinya, seorang perempuan harusnya menutup auratnya dari orang lain yang bukan mahramnya.

Dan Amel teringat pada pria yang bersama pasien itu. Amel tidak mendapati pria berpakaian rapi yang menjadi wali pasien itu. Entahlah. Bukan urusannya sama sekali, β€˜kan?

Brukk

Amel baru saja mendudukkan diri di atas sebuah kursi. Ini adalah ruang istirahat khusus. Detik berikutnya, salah satu rekan kerja Amel datang menghampiri.

"Win, ada yang cari kamu di depan," ucap wanita dengan pakaian serba putih, sama sepertinya. Di rumah sakit ini, kebanyakan orang mengenali Amel dengan nama awalnya, Winda.

"Siapa?" tanya Amel sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul enam tepat.

"Nggak tahu. Om-om ganteng."

Jawaban temannya ini membuat Amel mengerutkan kening. β€œOm-om ganteng? Emang aku sugar baby sampe dicari om-om?” canda Amel. Sebuah senyum tercetak di wajah bulatnya.

"Nggak tahu. Dia di depan. Udah, keluar gih. Jangan bikin sugar daddy kamu marah loh!"

"Dih, apaan si?"

"Ya kamu yang mulai."

Amel segera melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis dan mendapati Wibi ada di sana.

"Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Amel sopan. Bibirnya tertarik ke atas, salah satu bentuk sopan santun pada keluarga pasien.

"Ini pena punya kamu?" tanya Wibi, mengulurkan pena milik Amel yang ia pakai tanda tangan saat di depan loket TPPRI beberapa waktu yang lalu.

"Pena? Oh, iya. Terima kasih, Pak." Amel tetap menunjukkan senyum terbaiknya. "Masih ada hal lainnya?" tanya Amel karena Wibi masih berdiri di depannya dengan wajah anehnya, seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Wibi kemudian.

Amel menatap pria di hadapannya dengan pandangan penuh tanda tanya. "Maksud Bapak? Bicara apa ya? Tentang pasien itu?" tebak gadis mungil ini.

"Ikut saya sebentar." Wibi menarik tangan Amel dengan paksa, mengabaikan pandangan beberapa orang yang kebetulan ada di sana.

Srett

"Maaf, Pak. Ada apa?" tanya Amel, menatap curiga pria ini. Dia terpaksa mennghentikan langkah Wibi meski baru beberapa meter dari tempat mereka sebelumnya.

Tampak Wibi mencoba mengambil napas dalam-dalam, seolah ada beban berat yang menjadi tanggung jawabnya.

'Ok. Just do it!' batin pria ini.

"Nama kamu Winda Amelia?" Wibi kembali menatap nametag di dada kanan Amel. 

"Ya?"

"Kamu kenal saya atau pernah lihat saya di suatu tempat?" Wibi memastikan apakah Amel mengenalinya atau tidak.

"Maksud Bapak?" tanya Amel spontan. Pertanyaan aneh Wibi membuat Amel semakin heran.

'Aneh,' batin gadis berjilbab lavender ini.

"Kamu tahu siapa saya?" Wibi memastikan.

"Maaf, Pak. Ada begitu banyak keluarga pasien yang pernah saya temui selama bekerja di rumah sakit ini. Bagaimana bisa saya menghafalnya satu per satu. Sepertinya kita baru bertemu hari ini." Amel masih menjaga sopan santunnya, meski dalam hatinya mulai merasa kesal.

Dia tidak ingin nama baik tempatnya bekerja menjadi tercoreng karena ketidaksopanannya. Padahal ada rentetan sumpah serapah yang ingin dia lontarkan pada pria aneh ini.

"Benar kamu tidak pernah mendengar nama saya atau melihat foto saya?" Wibi kembali bertanya.

"Maaf, Pak. Sepertinya Bapak salah orang. Permisi."

Amel segera melangkahkan kakinya menjauh dari pria ini. Dia kembali ke ruang tempatnya berjaga. Pertanyaan pria itu semakin aneh, seperti penguntit, psikopat, atau apapun itu. Lebih baik cari aman sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Udah, Win?" tanya wanita yang memanggilnya tadi.

Amel hanya mengangguk.

"Siapa? Pacar kamu?"

Amel menggeleng tegas. "Bukan."

"Berarti sugar daddy kamu?" candaan wanita itu hanya ditanggapi senyum hambar dari bibir Amel.


Dia masih tidak habis pikir dengan pria itu. Dimana mereka pernah bertemu sebelumnya? Amel merasa mereka tidak mengenal satu sama lain, jadi mana mungkin Amel mengenalnya.

Di saat yang sama, Wibi mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi salah satu keluarga Teresa, memberitahu mereka akan kondisi model papan atas ini.

* * *

"Hoamm...." Amel menutup mulutnya yang menguap dengan tangan. Ia baru saja kembali dari ruangan pasien dan bertemu dengan keluarga wanita yang bunuh diri itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat ramah. Belum lagi pakaian ganti rumah sakit yang masih tergeletak di tepi ranjang saat dia datang tadi, padahal biasanya keluarga pasien yang membantu memakaikannya.

FLASHBACK

"Nona Teresa? Bagaimana keadaannya? Apa masih ada keluhan?" tanya Amel saat sampai di ruang perawatan VIP ini. Sudah menjadi tugasnya mengecek cairan infus sekaligus memeriksa kondisi pasien.

Wanita yang diketahui bernama Teresa Bakhir itu menggeleng lemah. Dia sudah siuman satu jam yang lalu, namun masih terlihat pucat dan kurang bertenaga.

"Sust, kapan anak saya boleh pulang?" tanya seorang wanita yang duduk di kursi panjang. Wajahnya terlihat tidak bersahabat sama sekali, sama seperti wanita lain yang duduk bersamanya.

"Paling cepat dua atau tiga hari lagi, Bu. Sekarang kondisinya masih lemah, jadi masih harus istirahat total sampai kondisinya membaik."

"Nggak bisa besok pulang?" Wanita lain menimpali, tak kalah ketusnya dengan wanita yang mengaku berstatus sebagai ibu pasien ini.

"Sepertinya belum, Ibu." Amel berusaha tersenyum, mengabaikan rasa geram di dalam hatinya. Bagaimana mungkin mereka memasang wajah seperti itu di depan pasien yang tak lain keluarganya sendiri.

"Bu, ini obat untuk meminimalisir asam lambung yang putri Ibu derita. Diminum besok pagi sebelum makan," pesan Amel hati-hati.

"Nggak usah diobatin juga nggak apa-apa, Sust. Biarin! Dia ini udah nggak mau hidup kok. Malu-maluin aja!"

Deg!

Amel terhenyak menyaksikan respon ibu ini. Hatinya ikut merasa sakit sebagai seorang anak. Untungnya, mama tidak sekalipun mengatakan kata-kata menyakitkan seperti itu padanya.

"Dia itu nggak tahu diri, Sust. Untung mantan tunangannya masih mau nolong dia. Coba kalau orang lain, boro-boro nolong, yang ada sumpahin biar dia cepet ma.." Kata-kata pedas lain kembali terdengar, membuat Amel merasa tak enak hati.

"Maaf, Bu." Amel memotong ucapan wanita bersurai pirang ini. "Pasien masih butuh waktu untuk istirahat. Ibu bisa tunggu di luar jika merasa bosan di ruangan ini."

Amel berusaha 'mengamankan' Teresa. Meskipun kata-kata itu bukan ditujukan padanya, namun sebagai seorang wanita, Amel merasa kata-kata dua orang ini sudah kelewatan. Belum lagi status mereka sebagai keluarga. Entahlah. Sepertinya ada yang salah dengan keluarga satu ini.

"Kebetulan kalo suster mau rawat dia." Si Wanita rambut pirang kembali mengucapkan kata-kata yang tidak mengenakkan untuk didengar.

"Sust, tolong bantu dia ganti baju. Jijik saya lihatnya!" ucap ibu Teresa sebelum pergi bersama wanita rambut pirang tadi, meninggalkan Teresa dan Amel berdua di ruangan ini.

"Maaf ya, Sust." Suara Teresa terdengar lemah. Bulir-bulir air mata luruh begitu saja di ujung matanya.

Amel hanya tersenyum. Dia memilih diam, membiarkan pasien satu ini melampiaskan emosinya dengan menangis.

Amel membantu Teresa berganti dengan pakaian yang diberikan khusus untuk pasien di rumah sakit ini.

"Sust," panggil Teresa saat Amel selesai membantunya berganti pakaian.

"Ya?"

"Dimana pria yang mengantar saya?"

"Eh?" Amel sedikit tergagap. Dia jadi ingat dengan pria yang menanyakan hal-hal aneh beberapa waktu yang lalu. "Maaf, saya kurang tahu dimana dia."

Tampak raut kecewa yang begitu kentara di wajah wanita cantik ini.

"Masih ada yang lain?" tanya Amel memastikan. Mungkin saja pasien satu ini masih memiliki pertanyaan lain.

Teresa menggeleng lemah. "Makasih, Sust."

Amel tersenyum. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani para pasien.

"Kalau begitu saya permisi. Obatnya saya tinggalkan di sini. Selamat istirahat." Amel berpamitan setelah meletakkan obat pereda asam lambung di atas meja.

FLASHBACK END

Amel menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Ponselnya sejak tadi terus bergetar tanpa ia sadari. Ia yang kelelahan justru tertidur di atas meja, menyembunyikan wajahnya di antaraa lipatan sikunya.

Di saat yang sama, 30 km dari tempat Amel berada.

"Gimana, Del? Diangkat nggak?" tanya seorang wanita dengan raut wajah khawatir.

"Belum, Ma. Mungkin ponsel Amel disimpan di loker."

"Duh. Beneran deh anak itu. Mana tamunya udah mau dateng."

Mama Amel semakin panik saat menyadari keras kepala putri semata wayangnya yang belum juga pulang.

"Panggil suami kamu sekarang. Suruh dia jemput Amel. Harus kebawa pulang. Pokoknya harus pulang!" titah wanita ini.

"Iya, Ma. Delia ikut jemput sekarang."

Tepat saat itu, sebuah mobil van berhenti di pelataran rumah ini. Empat orang turun dari sana dan lansung disambut oleh tuan rumah. Di antara keempat tamu itu, salah satunya adalah pria bertubuh tegap dengan wajah nan rupawan, Ryan Wibisono.

* * *

Jeng jeng jeeeenggg.... Apa yang bakalan terjadi selanjutnya?

See you next episode. Bai bai,

Hanazawa Easzy

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status