“Baiklah. Eh, tapi Mama kamu ‘kan jauh lebih tahu fashion secara mamamu suka mendesain dan membuat baju,”“Aku ingin melibatkan sahabatku dong! Aku ingin mengingat setiap momen ini. Please!” bujuk Zahrana dengan memasang wajah seperti anak kecil.“Um, baiklah. Duh sampai lupa, aku ke sini ingin sekalian memesan kue buat syukuran Aa Adam,”Selina menepuk jidatnya.“Ya udah, nanti setelah pulang dari butik kita pesan kue. Aku punya langganan toko kue yang lezat,”“Baiklah,”Di balik pintu ruang di mana mereka berbincang. Yusuf menatap mereka dengan intens.‘Ya Allah, maafkan putriku. Dia seharusnya tidak menghianati sahabatnya sendiri. Aku terpaksa melakukan ini,’ batin Yusuf lalu membuang nafas kasar.Zahrana dan Selina pun pergi ke butik muslimah milik ibunya Zahrana di daerah Joglo. Seperti kebanyakan para wanita mereka akan langsung histeris melihat koleksi gaun-gaun wanita.“Masyaallah, indah banget Zahra…” puji Selina mengedarkan pandangannya. “Pasti kamu bahagia sekali memiliki
Namun saat Selina melepas gaun dari patung manekin itu dibantu karyawan butik dia langsung mengecek price tag yang menempel di bagian bahunya. Tertera harga gaun itu nominal dua juta lima ratus ribu rupiah. Dia mengurungkan niatnya karena merasa tak enak pada ibu Zahrana jika dia memilih gaun yang lumayan mahal untuk sebuah hadiah. Selina mampu membelinya tetapi dia diminta untuk memilih gaun secara cuma-cuma. Dia bukanlah seorang yang oportunis oleh karena itu dia memutuskan tak jadi mengambil gaun itu. Dan, akan memilih gaun yang lain dengan harga yang tak terlampau mahal.“Maaf, aku gak jadi pilih yang ini, Zahra,” seru Selina mendelik pada karyawan. “Pasang lagi aja Teh bajunya!”“Kenapa gak jadi?” tanya Zahrana heran.“Lain kali aja deh, aku bingung soalnya gaunnya bagus semua,”Selina berkelit.“Teh, packing aja, sama yang di dekat etalase itu ada warna-warna pastel model baru sekalian,” ucap Zahrana.“Yang model terbaru Turki?” tanyanya dengan menggaruk pelipisnya.“Iya, ada ti
“Kenalin! Calonku,” ucap dr Areeta menoleh pada lelaki di sampingnya sedangkan lelaki itu berwajah datar. Seketika Areeta mencubit pinggang lelaki itu.“Ough! Apa sih Baby?”Lelaki itu pun tersadar dari lamunannya. Sedari tadi dia tampak sedang melihat-lihat pemandangan yang ada di sekitarnya hingga tak sadar di hadapannya ada Zahrana yang menghampiri mereka.“Ini Zahrana, anak yang punya butik De Zahr,” ucap dr Areeta.“Oh, sorry, saya Dave,” ujar lelaki itu dengan tersenyum tipis. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Namun Zahrana hanya mengatupkan kedua tangannya di dada. Dave menautkan kedua alisnya merasa diabaikan.“Dia akhwat … dia tak salaman dengan yang bukan mahramnya, ” bisik dr Areeta ke dekat telinga calonnya.“Ah iya aku ngerti,” sahutnya.“Gimana pesananku? Sudah selesai belum?” tanya dr Areeta pada Zahrana.“Sebentar ya dokter, aku telepon Mamaku dulu,”Zahrana langsung meraih ponsel dan menghubungi ibunya.“Um, buat acara prewedding dok?” goda Zahrana.“Bukan,
‘Mudah-mudahan Selina tidak mendengarnya,’ batin Zahrana.Selina membelalakan matanya dan mengumpulkan sejumput kesadarannya. “Sorry, aku ketiduran,”Dia menyimak pembicaraan yang terjadi di antara Zahrana dan ibunya tetapi dengan suara yang kurang jelas karena berisik terdengar beberapa kendaraan di seberang butik lewat dan membunyikan klakson.“Gak apa-apa. Aku yang seharusnya minta maaf karena malah asik ngobrol dengan dr Areeta,” sahut Zahrana sedikit salah tingkah. Dia lalu meraih bahu Selina untuk kembali mengajak masuk ke ruang ibunya.“Aku pengen istirahat dulu sebentar ya,” ucapnya.“Iya, gak apa-apa,”Selina pun ikut duduk di samping Zahrana yang tengah membukakan tutup botol minuman bersoda. Lalu dia menyerahkannya pada Selina satu dan untuk dirinya satu.“Minumlah!” ucap Zahrana.Selina tak canggung langsung menerimanya.“Bismillah …”Selina minum air bersoda itu beberapa kali. Terasa segar tenggorokannya.“Dr Areeta ke sini?” kata Selina setelah menaruh botol minum ke ata
“Apa tidak berlebihan Selin, dia mentraktirmu?” tanya Ummi Sarah dengan memicingkan matanya.“Iya, Ummi, Zahra emang ba-ik sih …” ucap Selina sedikit ragu. Karena memang setahu dia Zahrana sangat berhati-hati menggunakan uang. Dia pernah mendengar dari salah satu anak didiknya bahwa Zahrana selalu meminta uang pengganti jika memberikan mereka lembar foto copy-an soal latihan pada mereka. Mungkin Zahrana akan royal pada sahabatnya, tepis Selina.“Rezekimu Nak …” seru Ummi Sarah menepuk bahu Selina. “Kamu sudah shalat ashar?”“Enggak Mi, lagi halangan,”Selina meluruskan kakinya di atas sofa panjang di ruang tamu. “Ummi, jadi acara syukuran kapan? Jumat atau ahad?”“Sepertinya ahad bada ashar saja, biar orang tua santri juga ikutan,”“Eh, Mi, Aa Adam kemana kok aku gak lihat dari tadi?”“Masa kamu gak tahu, Aa Adam udah mulai ikut kajian lagi Habib Rohman di Bandung,”“Bandung?”Selina mendongak ke arah umminya yang dari tadi bolak balik ruangan.“Ap-pa?”Ummi Sarah melotot.“Gak kenapa
[Assalamualaikum Selin!][Waalaikumsalam, iya, apa Shiza?][Jawab yang jujur!][Euh! Apa?][Apa benar ada yang datang taaruf setelah Mas Aqsa?]Selina langsung terhenyak mendengar pertanyaan Shiza. Dari mana Shiza tahu soal taaruf Mahendra. Sedangkan dia sendiri tak pernah memberitahu pada siapapun. Dia lupa jika dia sendiri yang memberitahu Zahrana.[Jawab Selin!][Um, Shiza, kamu tahu dari mana …]Selina berbicara sedikit tergagap.[Oh begitu! Aku gak nyangka Selin. Padahal aku mati-matian membela kamu di depan Mama dan Papa, rela berantem demi kamu. Kok kamu yang aku perjuangkan malah menerima taaruf dari pemuda lain?][Tidak seperti itu Za! Kamu salah paham,][Aku kira kamu sahabatku,]Shiza langsung menutup teleponnya. Dia kesal dan marah pada Selina yang menurutnya telah mempermainkan perasaan sang kakak.‘Duh kok jadi gini sih!’ gumam Selina dengan gelisah. ‘Dari mana Shiza tahu soal kedatangan dr Andra? Ah gak penting, aku harus segera mendatangi Shiza dan memberinya klarifika
Arman tertawa saat mendengar pertanyaan Adam. Adam yang sedikit pemarah langsung bungkam.“Jalan sekarang!” titahnya dengan membuang nafas kasar.“Iya, Akang jawab nih ya …” ucap Arman merasa bersalah.Adam tidak menyahut dan malah lebih memilih menempelkan earpods wireless ke telinganya mendengar senandung lagu dari ponselnya.“Dasar si gede ambeuk!” umpat Arman merasa Adam tak mendengarnya.Dasar si pemarah! (Bahasa Sunda)“Aku dengar …” sahut Adam membuat Arman semakin merasa bersalah.“Dikira gak denger,” gumam Arman cengengesan.Mereka pun sudah melewati tol dan bahkan sudah sampai di daerah Rajamandala. Terlihat jalanan mulai sepi.Sambil mendengarkan musik sesekali Adam mengedarkan pandangannya melihat ke pinggir jalanan yang dipenuhi pepohonan rindang yang tampak gelap.“Stop!” titah Adam tiba-tiba pada Arman membuatnya kaget untuk ke dua kalinya.“Astagfirullah, Adam, mau bikin Akang masuk ICU?”“Nggak, maksudku, stop ngebut, kurangi kecepatan,” ucapnya sembari menoleh ke sis
Malam semakin larut tetapi rasa kantuk masih belum juga hinggap. Adam jadi teringat sesuatu. Dia membuka lemari yang berisi berkas cicilan rumah. Diam-diam, tanpa sepengetahuan ke dua orang tuanya, dia mencicil sebuah perumahan elit yang terletak masih di Cianjur kota.“Aku harus melunasinya segera jika aku akan menikah,” gumamnya. Mengingat gadis bercadar itu membuat Adam mengingat rencana masa depan dan pernikahan. Entah apa alasannya.Secara finansial Adam sudah sangat mandiri sehingga dia sudah bisa membeli ini dan itu di usianya yang terbilang masih muda. Dia pemuda yang amanat dan cerdas, mampu mengelola usaha yang sudah menjadi turun temurun di keluarga pesantren.Ustaz Bashor memberi kebebasan pada anaknya untuk memilih. Dia tak mengharuskan keturunannya menjadi penerusnya karena nyatanya mereka memiliki cita-cita yang berbeda. Yang terpenting apapun profesinya mereka taat kepada Allah dengan cara mereka. Adam hanya berkutat menjadi pengusaha, tentu pengusaha yang dermawan dan