Hening.Thai Cung menoleh setengah badan. Wajahnya tetap tenang, tapi otot rahangnya menegang sesaat.“Saat seseorang berdiri di medan pertempuran selama dua puluh tahun,” katanya perlahan, “ia belajar membedakan antara ambisi dan perasaan pribadi. Dan aku tidak akan mengorbankan satu kerajaan hanya untuk mengejar bayangan masa lalu.”Sua mengangkat alis. “Jadi... benar. Anda memang mengejar bayangan.”Thai Cung menghela napas, pendek tapi berat. “Ibunda Anda adalah satu-satunya orang di istana menteri yang pernah menolak tawaranku untuk berpihak pada Rongewu—dengan cara yang sangat elegan, sangat memalukan.”“Memalukan?” Sua memiringkan kepala. “Untuk Anda?”“Untukku, dan lima pengawalku,” jawab Thai Cung tanpa senyum. “Ia membuat kami seolah-olah tamu kehormatan, hanya untuk memutar semua informasi yang kami bawa menjadi senjata melawan kami di ruang dewan malam harinya. Bahkan sebelum kami sempat duduk.”Sua terkikik pelan. “Kedengarannya seperti beliau.”“Dan aku,” lanjut Thai Cun
Thai Cung menatap Bai Yuan lama, seolah menimbang sesuatu. Lalu ia menghela napas pendek — bukan karena lelah, tapi karena telah sampai pada sebuah keputusan yang tak bisa ditarik kembali."Kau pikir, mengapa aku datang sendiri ke sini tanpa seorang pengawal pun?" suaranya datar, tapi dinginnya menusuk seperti ujung tombak yang mencelup ke sungai es.Bai Yuan mendengus. “Karena kau bodoh?”Thai Cung tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya.CLANG!Sebuah pedang panjang dengan ukiran khas Rongewu muncul dari sarung punggungnya, ditarik dalam satu gerakan cepat. Cahaya senjata itu memantulkan api dari lentera kuil, membuat ruangan terasa lebih sempit dan sunyi.“Aku datang karena tahu tempat ini akan jadi titik awal pengkhianatan,” ucap Thai Cung sambil melangkah perlahan ke depan. “Pasukanku sudah bergerak ke Nemewu. Jauh sebelum Mangewu sadar bahwa mereka sedang dipantau dari dalam.”Bai Yuan menegang.Thai Cung melanjutkan dengan suara rendah, tapi bertenaga. “Dan saat aku meneri
"Jadi, seperti inikah sosok mantan putra mahkota Shewu? Benar-benar tidak layak!"Bai Yuan terhuyung, tapi segera menoleh dengan sorot mata liar. Napasnya masih terengah. Tapi wajah pria di belakangnya membuatnya terdiam sesaat.Thai Cung berdiri tegak, seperti tembok batu yang mustahil digoyahkan. Pakaian perangnya tampak nyaris tidak berdebu, meski jelas ia datang tergesa. Sorot matanya tenang, tapi pembunuhan mengintai di balik pupilnya. Ia menatap Bai Yuan seakan memeriksa seekor tikus yang baru saja mencuri dari altar suci."Tuan Muda Bai," ucap Thai Cung pelan, "Aku pernah mendengar reputasimu. Tapi rupanya, yang mulia penguasa Shewu tidak sempat mengajarkanmu perbedaan antara cinta dan pemaksaan."Bai Yuan mengangkat dagu, mencoba menutup lukanya dengan arogansi. “Kau siapa berani—”“Aku?” Thai Cung menyela dengan suara tetap datar, tapi kini ada tekanan baja di setiap katanya. "Aku hanyalah seorang jenderal kecil dari utara yang tak tahan melihat seorang wanita diperlakukan se
Sua memalingkan wajah. Tapi Bai Yuan sudah menyentuhnya — hanya sebentar, cukup untuk merasakan denyutan lembut yang memancar dari tanda itu.“Ini bukan... mantra Klan Zhen,” bisiknya. “Dan bukan segel milikmu sendiri. Ini... milik orang lain.”Sua tak menjawab. Rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke depan.Bai Yuan menatapnya lekat-lekat. “Kau tak pernah menyebutkan hal ini.” Nadanya berubah — ada nada getir yang nyaris seperti kekecewaan. “Siapa yang berani menandai seorang Sua Linjin Feng?”Sua menoleh. Pandangannya menusuk. “Seseorang yang bahkan kau tidak akan bisa kalahkan.”Diam sejenak.Kemudian Bai Yuan tertawa. Pelan, tapi getir. “Jadi... dia masih hidup?”Sua tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup untuk menyatakan: Jangan usik dia.Bai Yuan menunduk pelan, menatap tanda itu sekali lagi. Jemarinya nyaris menyentuhnya lagi, tapi ia mengurungkan niat. “Segel ini hidup. Bukan sekadar simbol kepemilikan... tapi ikatan.”Sua berkata dingin, “Dan ikatan itu bukan sesuatu yan
Masih belum tampak jelas wajah sosok itu. Sua memberanikan diri untuk mendekat. Tampak wajah samar yang ia kenal. "Bai Yuan!"Sua berdiri tegak meski dadanya berdegup cepat. Hawa yang keluar dari tubuh Bai Yuan terasa aneh — bukan sekadar tekanan spiritual, tapi juga hawa penuh obsesi yang dingin dan kelam. Bayangan di sekeliling lorong seakan merapat, menyoroti wajahnya yang kini mulai tampak di bawah cahaya pelita: Bai Yuan."Tak disangka kau masih mengingatku," ucap Bai Yuan. Senyumnya masih sama seperti dulu — tenang, memikat, tapi penuh tipu daya. Rambutnya kini lebih panjang, diikat ke belakang, dan matanya... terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menyusup ke istana musuh.Ia melangkah mendekat, pelan, seolah jarak di antara mereka adalah sesuatu yang harus dihormati. Tapi ketika jarak tinggal satu jengkal, tangannya terangkat, hendak menyentuh sisi wajah Sua.Sua menepis dengan tegas. “Jangan sentuh aku.”Bai Yuan tak terlihat tersinggung. Ia hanya tertawa pelan, rendah
Shan Kerei merasakan kehadiran Rai bahkan sebelum namanya disebut. Instingnya yang diasah selama bertahun-tahun dalam kegelapan dan darah berdenyut tajam. Dan saat suara Rai menyebut namanya, ia menoleh. Perlahan, tanpa terkejut, tanpa cemas.Dua pasang mata bertemu dalam bayang-bayang lorong sempit.Rai berdiri tegak, pedang tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya dingin, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering melihat kematian datang mendekat. Di hadapannya, Shan Kerei berbalut jubah hitam legam, wajah setengah tertutup kain gelap hanya menyeringai tipis.“Lama tak bertemu, Rai Yuan,” ucap Shan Kerei. Suaranya serak, seperti suara batu diasah di atas logam."Atas dasar apa kau menginjakkan kakimu di Shewu, Shan Kerei!" Suara Rai menggelegar rendah, seperti gemuruh dari dalam bumi.Shan Kerei mengangkat bahu, santai, seolah mereka hanya dua orang lama yang kebetulan bertemu di pasar. Tapi sorot matanya tajam, penuh kepastian.“Atas dasar perintah,” jawabnya. “Aku mendapat taw