Share

121. Diadu domba

Author: Donat Mblondo
last update Huling Na-update: 2025-07-05 06:51:12
Chunying mengerutkan kening. Matanya tak berkedip menatap Zhen Lian, pedangnya tetap teracung ke arah leher wanita itu. Hembusan napasnya pendek-pendek, penuh curiga. Apa pun niat wanita ini, ia bukan orang yang bisa dipercaya begitu saja.

“Aku tidak peduli siapa yang menjebak siapa,” desis Chunying, suaranya tajam. “Yang kutahu, Nona Sua dikurung, dan tuan kami datang untuk menjemputnya kembali.”

Ia melangkah lebih dekat, ujung pedangnya nyaris menyentuh kulit Zhen Lian.

“Sekali lagi, aku tanya. Di mana Nona Sua?!”

Zhen Lian mendongak, menatap mata pemuda itu dengan sorot yang tak kalah tajam. Ia mengangkat dagu, seolah tak gentar.

“Sua berada di ruang pribadi Bai Yuan,” katanya akhirnya, suara rendah namun tegas. “Di balik dinding ketiga di paviliun dalam. Ada lorong tersembunyi. Ia dikurung di sana.”

Chunying mengepalkan rahangnya. Tubuhnya menegang, hampir saja ia berbalik lari, namun kalimat berikutnya membekukan langkahnya.

“Tapi… jika kau ke sana sekarang, dan mengantar Rai Yuan
Donat Mblondo

Habis ini pov Sua Nanti kalau ada waktu luang aku update lagi.

| 3
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nuada Airlangga
ditunggu setiap hari kak ......
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   173. Musuh lama

    Malam turun tenang di Istana Shewu. Langit di luar kelabu, tapi di ruang tengah istana, cahaya lampu minyak memantul hangat di dinding-dinding batu yang dihias lukisan bunga Xiang dan sulur-sulur dedaunan. Di ruang makan yang dikelilingi pilar giok itu, duduk empat orang: Rai, Sua, Su Ying, dan Zihan.Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung, tapi dipenuhi rasa saling mengamati. Sendok kayu dan sumpit perak beradu pelan dengan mangkuk, suara pelan sup herbal mendidih di wadah tanah liat, dan aroma teh chamomile memenuhi udara.Zihan duduk di sisi Sua, sesekali mencuri pandang ke kakaknya. Sua tampak tenang, tapi Su Ying, yang duduk di seberangnya, bisa membaca garis lelah halus di sudut matanya. Sementara itu, Rai, duduk menghadap jendela terbuka, tetap diam. Satu tangannya memegang cawan anggur, tapi tak kunjung diminum.Tiba-tiba—Suara tajam melesat membelah udara.“UGH!”Erangan prajurit terdengar dari arah luar. Rai sontak berdiri. Kursinya terjungkal ke belakang, mengha

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   172. Perang emosional

    Sejak itu, Rai berubah. Bukan berubah secara mencolok, bukan pula berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tetap pria gagah, penakluk medan perang, penguasa rimba malam. Tapi ada yang bergeser dalam tatapannya… dalam caranya diam.Ia tak pernah lagi beranjak terlalu jauh dari istana. Segala urusan ia atur dari dalam dinding istana. Bahkan saat diundang dalam perjamuan teh resmi bersama para bangsawan, Rai hadir… hanya jasadnya. Pandangannya? Tak pernah benar-benar berada di ruangan itu.Sua duduk di ujung barisan wanita, mengenakan gaun hijau tua bersulam benang emas, rambut disanggul anggun dengan hiasan giok tembus cahaya. Senyumnya sopan, tutur katanya santun. Tapi, tiap kali ia menggerakkan tangan, menyentuh cangkir teh, atau sedikit mengangguk kepada tamu lain — mata Rai tergerak lebih dulu.Seperti bayangan yang mengikutinya tanpa suara. Tatapan yang tak mau lepas.Tak seorang pun tak menyadarinya — terutama Su Ying, ibu Sua.Perempuan paruh baya itu telah hidup cukup lama untuk t

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   171. Yang Rai takutkan

    “Linjin?” Rai langsung bangkit setengah duduk, tangannya sigap menopang kepala perempuan itu.Sua tak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya terputus-putus, tak beraturan, seperti tubuhnya sedang berebut udara dengan sesuatu yang tak terlihat.Lalu... ia merasakannya.Napas lain. Bukan napas Rai. Bukan napasnya. Sesuatu yang asing. Lembut tapi kuat. Menyusup ke dalam dirinya, lalu pergi.Dan bersamaan dengan itu, sesuatu muncul dalam benaknya, sekelebat bayangan ruangan lain. Terlalu cepat dan kabur, tapi cukup nyata untuk membuatnya kaku.Lampu putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara mesin detak jantung berdetik pelan…Tiit... tiit... tiit...Sua memejamkan mata erat-erat. Tangannya mencengkeram seprai. Suaranya pecah, parau dan gugup, “Ada… sesuatu… yang menarik jiwaku…”Wajah Rai mengeras. “Apa maksudmu? Di mana?”Sua menggeleng cepat, seperti menolak kenyataan. Tapi bayangan itu — bau alkohol medis, kain kasa, detak monitor — masih membekas

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   170. Tarikan jiwa

    Jari-jari Rai menguat di pinggang Sua, menariknya lebih dekat, membuat batas di antara mereka lenyap. Tubuh mereka saling menyatu, saling menyandarkan rindu yang sempat tertunda. Sua merasakan getar halus dari dada Rai — entah detak jantungnya sendiri, atau milik pria itu, tapi keduanya berpadu dalam irama yang sama.Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, melainkan pengakuan tanpa suara. Gerakan mereka pelan tapi pasti, seperti dua jiwa yang memilih diam untuk saling menyelami lebih dalam. Saat bibir mereka akhirnya berpisah, hanya untuk menarik napas, dahi Sua bersandar pada dahi Rai — mata setengah tertutup, senyum tipis menyusup di antara sisa rasa yang masih menggantung di lidah mereka.Rai mengangkat tubuhnya dan membaringkannya perlahan di atas ranjang. Mereka saling meluruhkan batas, membiarkan kulit berbicara tanpa tabir. Tangan pria itu pun menyentuhnya.Setiap inci tubuh menjadi ladang rasa yang mereka cicipi tanpa tergesa. Setiap sentuhan membuatnya mendesah seperti tubuh

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   169. Pagi yang panas

    Pagi itu belum benar-benar meninggi ketika pertemuan resmi usai. Para pelayan dengan cepat mengangkat baki-baki kosong. Sua dan Rai berdiri lebih dulu, memberi isyarat bahwa sesi negosiasi selesai. Tapi suasana belum sepenuhnya pulih dari ketegangan intim yang tadi menggantung di udara.Su Ying tidak langsung beranjak. Ia hanya memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menghitung napas sendiri.Thai Cung tetap duduk, hanya menyentuh sarung tangannya yang tergeletak di atas meja — belum dipakai kembali. Ia melirik ke arah Su Ying, lalu berkata dengan nada yang lebih rendah, nyaris seperti gumaman pribadi.“Aku tak pernah menyangka bisa bicara seperti ini… di tempat seperti ini.”Su Ying tak menoleh. Ia masih menatap ke arah teh yang kini dingin. “Kebanyakan orang mengira diplomasi hanya soal strategi dan data. Padahal… kebenaran justru sering lahir dari ketidakterdugaan.”Thai Cung menarik napas pelan, lalu berdiri. Tapi alih-alih langsung pergi, ia melangkah mendekat — hanya dua langkah

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   168. Kerjasama

    Balairung Tiga Pilar, Istana Shewu di pagi hari.Udara pagi masih segar saat para pelayan menyiapkan teh pahit dan bubuk akar embun — simbol negosiasi yang jujur dalam budaya Shewu. Di meja bundar, duduk tiga tokoh: Rai Yuan, Sua Linjin Feng, dan Jenderal-Kaisar Thai Cung dari Rongewu.Tempat duduk keempat diisi oleh Su Ying Jing, bukan sebagai perwakilan resmi istana… melainkan sebagai pengamat. Tapi semua yang hadir tahu: pendapatnya bisa membuat aliansi ini terwujud… atau terkubur.Thai Cung membuka pembicaraan tanpa basa-basi.“Rongewu datang bukan sebagai penjilat kemenangan. Kami tahu Shewu baru saja menghindari perang saudara yang disulut dari dalam. Itu sebabnya kami datang — sebelum darah mengering, sebelum bara sepenuhnya padam. Karena jika ada saat untuk membentuk aliansi sejati, maka saatnya adalah sekarang.”Rai menyilangkan tangan. “Dan apa bentuk aliansi yang Anda tawarkan?”Thai Cung menoleh ke Sua, lalu kembali ke Rai. “Aliansi terbuka. Tukar intelijen. Jalur pasokan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status