Home / Fantasi / Tabib Cantik Milik Pangeran / 122. Sang pelayan setia?

Share

122. Sang pelayan setia?

Author: Donat Mblondo
last update Last Updated: 2025-07-06 14:41:07

Di ruang gelap yang hanya diterangi cahaya remang dari celah dinding, Sua duduk bersandar pada tembok dingin. Rantai besi mengekang pergelangan tangannya, membatasi gerak, membuat tubuhnya perlahan mati rasa. Nafasnya tenang, tapi matanya terus mengamati setiap suara, setiap bayangan. Ia tahu, Bai Yuan takkan membiarkannya lama di tempat ini tanpa rencana lebih keji.

Langkah kaki terdengar dari balik lorong sempit.

Sua menegakkan tubuhnya. Detak jantungnya melambat secara refleks, matanya menyipit. Bayangan bergerak cepat, kemudian muncullah sosok yang ia kenali.

“Jin He?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Pemuda itu menghentikan langkahnya di ambang pintu. Cahaya samar menyorot wajahnya—ya, benar, itu Jin He. Pelayan setia yang pernah melindungi punggung Rai di medan tempur, orang yang tak pernah ragu menyerahkan nyawa.

Namun ada sesuatu yang berbeda.

Wajahnya tampak pucat, matanya menyala redup… dan bibirnya menyeringai.

“Jin He…” ulang Sua, kali ini lebih tajam, tubuhnya perl
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   171. Yang Rai takutkan

    “Linjin?” Rai langsung bangkit setengah duduk, tangannya sigap menopang kepala perempuan itu.Sua tak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya terputus-putus, tak beraturan, seperti tubuhnya sedang berebut udara dengan sesuatu yang tak terlihat.Lalu... ia merasakannya.Napas lain. Bukan napas Rai. Bukan napasnya. Sesuatu yang asing. Lembut tapi kuat. Menyusup ke dalam dirinya, lalu pergi.Dan bersamaan dengan itu, sesuatu muncul dalam benaknya, sekelebat bayangan ruangan lain. Terlalu cepat dan kabur, tapi cukup nyata untuk membuatnya kaku.Lampu putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara mesin detak jantung berdetik pelan…Tiit... tiit... tiit...Sua memejamkan mata erat-erat. Tangannya mencengkeram seprai. Suaranya pecah, parau dan gugup, “Ada… sesuatu… yang menarik jiwaku…”Wajah Rai mengeras. “Apa maksudmu? Di mana?”Sua menggeleng cepat, seperti menolak kenyataan. Tapi bayangan itu — bau alkohol medis, kain kasa, detak monitor — masih membekas

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   170. Tarikan jiwa

    Jari-jari Rai menguat di pinggang Sua, menariknya lebih dekat, membuat batas di antara mereka lenyap. Tubuh mereka saling menyatu, saling menyandarkan rindu yang sempat tertunda. Sua merasakan getar halus dari dada Rai — entah detak jantungnya sendiri, atau milik pria itu, tapi keduanya berpadu dalam irama yang sama.Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, melainkan pengakuan tanpa suara. Gerakan mereka pelan tapi pasti, seperti dua jiwa yang memilih diam untuk saling menyelami lebih dalam. Saat bibir mereka akhirnya berpisah, hanya untuk menarik napas, dahi Sua bersandar pada dahi Rai — mata setengah tertutup, senyum tipis menyusup di antara sisa rasa yang masih menggantung di lidah mereka.Rai mengangkat tubuhnya dan membaringkannya perlahan di atas ranjang. Mereka saling meluruhkan batas, membiarkan kulit berbicara tanpa tabir. Tangan pria itu pun menyentuhnya.Setiap inci tubuh menjadi ladang rasa yang mereka cicipi tanpa tergesa. Setiap sentuhan membuatnya mendesah seperti tubuh

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   169. Pagi yang panas

    Pagi itu belum benar-benar meninggi ketika pertemuan resmi usai. Para pelayan dengan cepat mengangkat baki-baki kosong. Sua dan Rai berdiri lebih dulu, memberi isyarat bahwa sesi negosiasi selesai. Tapi suasana belum sepenuhnya pulih dari ketegangan intim yang tadi menggantung di udara.Su Ying tidak langsung beranjak. Ia hanya memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menghitung napas sendiri.Thai Cung tetap duduk, hanya menyentuh sarung tangannya yang tergeletak di atas meja — belum dipakai kembali. Ia melirik ke arah Su Ying, lalu berkata dengan nada yang lebih rendah, nyaris seperti gumaman pribadi.“Aku tak pernah menyangka bisa bicara seperti ini… di tempat seperti ini.”Su Ying tak menoleh. Ia masih menatap ke arah teh yang kini dingin. “Kebanyakan orang mengira diplomasi hanya soal strategi dan data. Padahal… kebenaran justru sering lahir dari ketidakterdugaan.”Thai Cung menarik napas pelan, lalu berdiri. Tapi alih-alih langsung pergi, ia melangkah mendekat — hanya dua langkah

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   168. Kerjasama

    Balairung Tiga Pilar, Istana Shewu di pagi hari.Udara pagi masih segar saat para pelayan menyiapkan teh pahit dan bubuk akar embun — simbol negosiasi yang jujur dalam budaya Shewu. Di meja bundar, duduk tiga tokoh: Rai Yuan, Sua Linjin Feng, dan Jenderal-Kaisar Thai Cung dari Rongewu.Tempat duduk keempat diisi oleh Su Ying Jing, bukan sebagai perwakilan resmi istana… melainkan sebagai pengamat. Tapi semua yang hadir tahu: pendapatnya bisa membuat aliansi ini terwujud… atau terkubur.Thai Cung membuka pembicaraan tanpa basa-basi.“Rongewu datang bukan sebagai penjilat kemenangan. Kami tahu Shewu baru saja menghindari perang saudara yang disulut dari dalam. Itu sebabnya kami datang — sebelum darah mengering, sebelum bara sepenuhnya padam. Karena jika ada saat untuk membentuk aliansi sejati, maka saatnya adalah sekarang.”Rai menyilangkan tangan. “Dan apa bentuk aliansi yang Anda tawarkan?”Thai Cung menoleh ke Sua, lalu kembali ke Rai. “Aliansi terbuka. Tukar intelijen. Jalur pasokan

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   167. Tamu

    Beberapa hari kemudian.Langit di atas benteng Shewu bersih dari awan, seperti disiram air dingin setelah musim panjang penuh bara. Gerbang utama terbuka lebar menyambut kereta berkuda yang membawa Sua dan Rai pulang dari desa perbatasan. Keduanya tampak lelah, tapi bukan lelah karena kekalahan — melainkan seperti dua penjaga yang telah menyegel badai, lalu berjalan kembali ke tempat damai.Para pelayan menyambut dengan tenang, nyaris diam, tapi sorot mata mereka tak bisa menyembunyikan rasa hormat yang kian dalam. Mereka tahu: pasangan ini bukan lagi sekadar pemimpin, melainkan kekuatan yang membuat bumi tetap berdenyut.Namun sebelum Sua sempat menanggalkan jubah perjalanan, seorang dayang tergesa mendekat. “Tabib Agung... Panglima... tamu agung menunggu di balairung timur.”Sua mengerutkan kening. “Tamu?”Dayang itu menunduk dalam. “Jenderal Thai Cung dari Rongewu, telah berada di sini sejak dua hari lalu. Beliau tiba mendadak dan menolak pengawalan kehormatan. Karena Tuan dan Nyon

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   166. Krisis selesai

    Sua melangkah ke depan, gerakannya berubah — ringan tapi mematikan, seperti ranting lentur yang tahu ke mana angin akan berbelok.Dengan satu dorongan cepat, ia meluncur ke medan ritual seperti air memecah batu. Tubuhnya berputar rendah, tangan kanan menghantam tanah dengan dua jari — langsung pada titik pusat formasi energi.Akar-akar muncul seketika, bukan dari dunia fisik semata, tapi dari lapisan roh. Ujungnya berkilau seperti emas basah, menjerat altar dan menyelimuti tubuh anak itu.Salah satu penyihir terlonjak. “Itu... segel Xiang! Mustahil!”Tapi sebelum mereka sempat menyesuaikan formasi, Sua sudah menerjang penyihir pertama — satu hentakan telapak ke dada, tepat di atas simpul jiwa, membuat tubuhnya terlempar mundur dan formasinya retak. Ia tahu titik vital manusia — bukan hanya tubuh, tapi juga titik pusat aliran napas jiwa.Penyihir kedua melempar mantra cahaya merah. Sua berbalik, melompat ke sisi lain formasi dan berputar, membiarkan energi melewatinya. Dengan satu gerak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status