Hari ketiga. Sua berdiri di depan potongan logam usang yang dulunya adalah kaki meja, kini menjadi cermin tipis buram yang dipasang miring di salah satu pilar. Pantulannya tak utuh, tapi cukup.Dan untuk pertama kalinya sejak jiwanya mendiami tubuh ini … Sua melihat wajah itu dengan sepenuh kesadaran.Wajah Sua Linjin.Mata bening sedikit lebar dengan garis lembut seperti lukisan tinta, hidung mungil yang anggun, dan bibir yang tidak terlalu tipis, tapi teratur indah. Tulang pipinya tinggi namun feminin. Kulitnya yang sebelumnya rusak oleh krim beracun Cai Ji … kini telah benar-benar pulih. Tidak ada bekas. Bahkan tampak lebih bersinar, seolah telah tumbuh dari luka.Sempurna. Wajah dan tubuh yang selama ini hanya bisa dibenci atau direndahkan, ternyata menyimpan potensi yang tak terbantahkan.Sua menyentuh pipinya perlahan. “Jadi ini yang mereka takutkan darimu, Linjin … Kecantikan, dan keberanian yang terlambat dikenali.”Ia menunduk.Hari ini adalah hari yang mereka rancang untuk
Dua pengawal mendekat, tangan mereka terulur ke arah lengan Sua, bersiap menggiringnya keluar dari kamar seperti tahanan rendahan.Namun sebelum mereka sempat menyentuhnya, Sua melangkah mundur setengah langkah dan bersuara, tenang namun tajam:"Aku bisa jalan sendiri!"Langkahnya tegas, meski pipinya masih merah, meski seluruh dunia terasa seperti mengamati dan menunggu ia jatuh.Han Feng menatapnya, rahangnya mengeras. Tapi ia memberi isyarat agar para pengawal membiarkannya. Sua berjalan sendiri melewati lorong yang sunyi, menuju Paviliun Barat, tempat yang kini disiapkan menjadi kurungannya.Langkah-langkahnya menggema, satu demi satu, menandai awal babak baru yang sunyi … namun tidak menyerah.Di sisi lain, salah satu pengawal pribadi Han Feng datang tergesa dari sisi pekarangan timur. Napasnya memburu, wajahnya pucat.Han Feng masih berdiri di kamar Sua, memandangi jendela yang terbuka setengah. Ketika melihat prajuritnya datang, ia menoleh.“Lapor!” ujar sang prajurit, suaranya
Cahaya lentera dari dalam kamar bergoyang.Beberapa detik kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Lalu dari dalam kamar, muncullah Han Feng, sosoknya tegak dengan mata tajam penuh kemarahan yang tak tertahankan. Di belakangnya, empat pengawal kepercayaannya berdiri kaku, siap menerima perintah apa pun.Han Feng menghampiri Sua tanpa berkata sepatah kata pun.Lalu—PLAK!Tamparan itu datang cepat dan keras, mengayun dari sisi kanan dan menghantam pipi Sua hingga wajahnya menoleh. Rambutnya terayun pelan, dan dunia sempat terasa hening beberapa detik.Namun Sua tidak jatuh.Ia berdiri tegak. Hanya pipinya yang kini memerah, dan matanya yang menatap lurus, seperti baja yang baru ditempa.Han Feng mendekat lebih lagi. Napasnya cepat, seperti api yang belum padam.“Dari mana kau?” desisnya. “Menghilang semalaman, tanpa kabar, menyuruh pelayan menyamar, memalukan!”Sua membalas tatapan ayahnya tanpa gentar. “Aku hanya pergi untuk mengenang Ibu.”Han Feng menyipitkan mata. Pria itu menden
Udara fajar begitu dingin ketika Rai dan Sua akhirnya sampai di tepi barat Kediaman Perdana Menteri. Mereka bergerak diam-diam melalui jalur tersembunyi, melompati tembok samping tempat pohon plum tua menjulur seperti lengkungan pelindung dari langit.Sua hampir kehilangan keseimbangan karena tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tapi Rai menopangnya tanpa suara. Napas mereka berembus cepat, mengembun di udara pagi yang masih kelabu.Mereka baru saja mencapai lorong belakang tempat jendela kamar Sua menghadap ke taman kecil, ketika sebuah bayangan melintas cepat dari arah timur, diikuti suara langkah terburu-buru.Chunying muncul, rambutnya sedikit acak, dan wajahnya gelap oleh kecemasan.Di belakangnya, Bae Ya menggenggam erat lengan Chunying, matanya penuh ketakutan.Begitu melihat Sua, Bae Ya nyaris berlari.“Nona!” serunya tertahan, lalu menutup mulutnya sendiri sambil menahan air mata.Chunying langsung bicara, napasnya masih berat. “Kita tidak punya waktu. Perdana Menteri ... telah m
Akhirnya, Su Ying bergerak. Ia menarik Sua perlahan ke pelukannya, lebih lemah dari sebelumnya, tapi terasa lebih dalam.“Kalaupun kau bukan anak yang kulahirkan … tapi kau menyelamatkan hidupku,” bisiknya. “Dan di mataku, tak ada cinta yang lebih tulus dari itu.”Sua menggigit bibirnya.Air matanya akhirnya jatuh. Diam-diam, tanpa suara.Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya sebagai Sua Luqi, atau Linjin yang baru, ia merasa bahwa tempat ini … bukan hanya tempat pelarian jiwa. Tapi tempat untuk kembali.Pelukan itu bertahan beberapa saat. Tak ada yang berbicara. Hanya kehangatan di antara dua jiwa yang tidak lahir dari darah yang sama, tapi dipertemukan oleh nasib dan perjuangan.Namun, waktu tak memberi jeda lama.Dari celah pintu bawah tanah, seberkas cahaya samar mulai menyusup. Langit di luar sudah mulai berubah warna. Fajar hampir menyingsing.Sua menyadari itu. Ia menarik diri perlahan dari pelukan Su Ying, lalu mengecek sabuknya. Kotak jarum akupuntur, kantong sisa herbal,
Su Ying menyentuh pipi Sua, menatapnya dengan tatapan yang samar tidak asing, tapi juga tidak benar-benar mengenali. Sentuhan ibu itu membuat dada Sua berguncang. Dalam sejenak, semua keheningan seolah memaksa sebuah kebenaran keluar dari mulutnya.Sua menunduk.Tangannya menggenggam jari-jari ibunya, lembut tapi erat, seperti seseorang yang hendak melepaskan beban yang sudah terlalu lama dipanggul sendiri.“Ibu …” ucap Sua, suaranya pelan tapi tegas. “Aku bukan … Linjin.”Su Ying mengerjap. “Apa maksudmu?”Sua menarik napas. Lalu, dengan suara yang nyaris tak bergetar, ia mulai mengungkapkan kebenaran yang telah ia simpan sendirian selama ini.“Aku … bernama Sua Luqi. Aku berasal dari masa yang jauh ke depan. Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa bisa berada di sini. Terakhir kali, aku sedang berjuang di medan perang mengobati orang-orang yang terluka. Tiba-tiba, sebuah senjata api menghantam tubuhku, dan saat aku terbangun, aku sudah berada di tubuh Sua Linjin, di dunia ini.”Su Ying