Share

Hari Pernikahan

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2025-09-29 11:03:45

Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt.

Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras.

“Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?”

Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak.

Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu.

Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.”

Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersuara.

Sementara itu, hati Cempaka seakan hancur berkeping-keping. Malam tadi, Wiratama sendiri yang meyakinkannya—tapi kini ia tidak ada. Digantikan sosok asing yang justru membawa dosa masa lalu ke hadapan semua orang.

Letnan Rembrandt kini berdiri tepat di hadapannya. Ia menunduk sedikit, lalu mengulurkan tangan, sorot matanya berkilat penuh arti. Senyum sinisnya hanya bisa terbaca jelas oleh Cempaka: Aku telah menunggumu.

Pendapa yang semula riuh dengan suara gamelan mendadak terasa sunyi dan sesak. Dunia seolah berhenti berputar ketika Cempaka menatap lelaki berseragam itu berdiri di hadapannya—bukan Raden Wiratama, bukan lelaki yang dijanjikan kepadanya sejak kecil, melainkan sosok yang selama berminggu-minggu ia coba lupakan.

Napasnya tercekat. Jemarinya bergetar hebat saat perlahan ia menoleh ke arah kursi kehormatan tempat sang ayah duduk.

Raden Aryotedjo—laki-laki yang selama hidupnya ia anggap sebagai panutan, pelindung, dan sosok paling ia percaya—balas menatapnya. Namun tatapan itu bukan lagi pancaran wibawa seorang bangsawan yang teguh seperti biasanya.

Kini, mata sang ayah dipenuhi oleh sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya: penyesalan yang dalam, kelelahan, dan rasa bersalah yang teramat nyata.

Cempaka merasa seluruh tubuhnya lunglai.

“Ayah…” bibirnya bergerak tanpa suara.

Raden Aryotedjo tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengalihkan pandangan ke lantai, seolah tak sanggup menahan sorot mata putrinya yang penuh pertanyaan dan luka.

Di tengah kekacauan batinnya, suara berat namun tenang menyelinap di telinganya.

“Apa yang kau khawatirkan, Raden Ayu?” bisiknya pelan, nyaris terdengar seperti godaan.

“Bukankah memang seharusnya begini? Mengingat apa yang sudah pernah kita lakukan.”

Urat leher Cempaka menegang. Darahnya mendidih. Ia memandangnya dengan tatapan tajam penuh kemarahan.

“Jaga bicaramu, Letnan!” desisnya tertahan di sela napas yang tersengal. “Pernikahan ini… justru tak boleh terjadi!”

Rembrandt tidak tampak terkejut. Ia bahkan menyeringai tipis, seperti menikmati kepanikan yang tergambar jelas di wajah Cempaka.

“Kenapa?” ujarnya santai, langkahnya sedikit maju mendekat. “Ah… apa kau berpikir kau masih bisa memilih, Raden Ayu?”

Cempaka mengerutkan kening, hatinya diliputi kegelisahan yang kian menjadi-jadi. “Apa maksudmu?”

“Melihat reaksimu,” ucap Rembrandt pelan namun tajam, “sepertinya kamu belum tahu apa yang terjadi, ya?”

Cempaka menggigit bibir bawahnya, jemarinya mengepal kuat di atas pangkuan.

“Katakan dengan jelas, apa maksud ucapanmu?” suaranya bergetar, antara kemarahan dan ketakutan.

Rembrandt menatapnya lama, lalu perlahan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia mendekat begitu dekat hingga Cempaka dapat merasakan hangat napasnya di sisi telinga.

“Wiratama,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh siapa pun selain dirinya,"dia sudah menjualmu padaku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Kau Istriku Sekarang!

    Pernikahan tetap berlangsung. Meski tanpa persetujuan mempelai wanita. Tapi, apa gunanya Cempaka bersuara? Keputusan tetap berada di tangan kedua pria yang kini berhadapan dengan penghulu. Gamelan kembali ditabuh meski iramanya terdengar hambar, seperti sekadar mengugurkan kewajiban. Para tamu bangsawan duduk kaku di kursi kehormatan. Sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi berbisik di balik kipas tangan. Tak pelak, setelah hari ini gunjingan pasti dengan cepat menyebar di kalangan pergaulan kelas atas. Satu-satunya orang yang tampak gelisah hanyalah sang pengantin perempuan. Wajah perempuan itu lesu. Bahkan ketika Cempaka didudukkan kembali di pelaminan. Wajahnya basah oleh air mata yang sudah dikeringkan buru-buru oleh para pelayan. Senyum yang seharusnya memancar di wajah pengantin wanita tidak pernah muncul. "Tersenyumlah, setidaknya jangan biarkan dirimu terlihat terpaksa di depan banyak orang." "Saya memang dipaksa oleh keadaan, Tuan. Kenapa saya harus berpura-p

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Terima Takdirmu

    “Cukup!” Suara berat penuh wibawa memotong suasana. Membuat suasana kian tegang. Raden Aryotedjo berdiri dari kursi kehormatan. Sorot matanya tajam menyapu seluruh pendapa, membuat para tamu spontan terdiam. Ia lalu menoleh ke putrinya. “Cempaka.” Suaranya bergetar, setengah ancaman, setengah memohon. “Jaga bicaramu. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jangan mempermalukan keluarga di hadapan para tamu, apalagi di hadapan bangsa asing.” Cempaka menoleh, menatap ayahnya dengan mata basah. “Ayah… apa itu lebih penting ketimbang kehormatan putrimu?” suaranya lirih, nyaris tenggelam. “Tidak, yang lebih ingin kudengar sekarang, apa benar Wira… menjualku?” Raden Aryotedjo terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menjawab. Keheningan itulah yang justru menampar Cempaka paling keras. Letnan Rembrandt menyeringai tipis, jelas puas melihat kebimbangan sang adipati. Ia melipat tangan di dada, seolah yakin kebenaran akhirnya akan menampakkan dirinya tanpa perlu ia tambahkan kata apa pun.

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Fakta atau Tipuan?!

    Darah Cempaka seakan berhenti mengalir. Dunia kembali membisu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menembus lebih dalam daripada pisau. Menjualmu. Tidak mungkin. Tidak mungkin lelaki yang malam itu datang ke kamarnya, memegang tangannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja… akan melakukan ini. Tidak mungkin lelaki yang akan menjadi suaminya tega menukar kehormatannya dengan kekuasaan atau kekayaan. Namun ketika ia kembali menatap ke arah sang ayah—dan mendapati Raden Aryotedjo kembali menghindari pandangannya—Cempaka mulai mengerti. Segalanya bukan lagi miliknya. Tidak kehormatannya. Tidak masa depannya. Bahkan mungkin tidak pula tubuhnya. Semuanya telah diperjualbelikan. Dan hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan barunya… kini berubah menjadi penjara yang tak mungkin ia lepaskan. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri? Apa Anda yakin masih memiliki pilihan sekarang?" Kepala Cempaka terasa berat. Ia tak sanggup menjawab. Namun, ia juga tetap berusaha berd

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Hari Pernikahan

    Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt. Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras. “Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?” Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu. Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.” Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersu

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Menjelang Hari Pernikahan

    Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya. Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul. Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra. “Wira…” bisiknya terperangah. Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa. “Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini,

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Persiapan Pernikahan

    Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada baya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status