Home / Zaman Kuno / Tahanan di Ranjang Sang Letnan / Menjelang Hari Pernikahan

Share

Menjelang Hari Pernikahan

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2025-09-29 11:03:42

Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya.

Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul.

Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra.

“Wira…” bisiknya terperangah.

Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa.

“Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini, sebelum semuanya berubah.”

Cempaka mundur selangkah, menahan debar yang mengguncang dadanya.

“Wira… ini berbahaya. Jika ayah atau Nyai Rengganis tahu…”

Wiratama tersenyum tipis, menatapnya dalam-dalam.

“Aku tidak peduli. Yang penting, aku harus meyakinkanmu. Kau terlihat gelisah akhir-akhir ini. Ada apa, Cempaka?”

Pertanyaan itu bagaikan pisau menembus jantungnya. Cempaka menunduk, bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar.

“Aku… aku hanya takut,” jawabnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Wiratama mendekat, menggenggam tangannya dengan hangat.

“Jangan takut. Besok semuanya akan baik-baik saja. Kau akan menjadi istriku, dan aku akan menjagamu. Tak ada yang bisa mengganggu kita.”

Cempaka memejamkan mata. Kata-kata itu seharusnya menenangkan, namun justru menambah beban di dadanya.

'Aku telah berkhianat padamu… aku tidak pantas…'

Wiratama mengusap jemarinya, lalu menunduk sedikit, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sorot matanya.

“Percayalah, Cempaka. Bahkan jika ada hal yang ingin kau sembunyikan dariku… aku akan tetap menerimamu. Semua akan baik-baik saja.”

Cempaka menatapnya dengan kaget. Kata-kata itu begitu menusuk. Apakah Wiratama tahu sesuatu? Atau hanya firasat? Senyumnya terlihat tulus, namun ada keteduhan aneh yang justru membuat hatinya makin tak tenang.

“Wira…” suaranya pecah. “Aku…”

Namun Wiratama menempelkan jari di bibirnya, menghentikan pengakuan yang nyaris meluncur.

“Ssst… tidak perlu berkata apa-apa malam ini. Simpanlah tenagamu untuk esok. Itu hari kita.”

Lalu ia melepaskan genggaman, mundur ke arah jendela.

“Aku akan menunggumu di pelaminan. Ingatlah, Cempaka. Apa pun yang terjadi, aku ada di pihakmu.”

*/*/

Keesokan harinya, pagi di kediaman Adipati Aryotedjo diselimuti kesibukan yang gegap gempita.

Sejak fajar, para abdi dalem dan perias mondar-mandir membawa baki berisi bunga, minyak wangi, kain panjang, dan perhiasan. Suara gamelan sudah bergema di pendapa, menyambut para tamu yang mulai berdatangan.

Di kamar pengantin, Cempaka duduk di kursi rias. Tubuhnya dipenuhi wewangian, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dirias dengan teliti.

Para perias bekerja dengan penuh konsentrasi, menambahkan bedak halus, menyapukan pemerah bibir, dan menyematkan hiasan emas di sanggulnya.

Namun di balik kecantikan yang terpancar, hati Cempaka dilanda badai. Setiap tarikan napas terasa berat. Matanya sesekali menatap bayangannya di cermin perunggu. Wajah yang tersenyum itu seperti milik orang asing.

Di luar, terdengar suara gong besar ditabuh—pertanda bahwa pesta akan segera dimulai. Sorak sorai tamu menggema, bercampur dengan suara gamelan yang semakin meriah.

Lastri berdiri di belakangnya, menggenggam tangan tuannya dengan erat.

“Den Ayu… jangan takut. Semuanya akan berjalan lancar.”

Cempaka hanya tersenyum tipis. Namun dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini bukan sekadar pernikahan.

Hari ini adalah pengadilan—antara kehormatan yang ia kenakan di wajahnya, dan aib yang tersembunyi jauh di hatinya.

"Permisi Den Ayu, prosesi pernikahan akan dilangsungkan sebentar lagi. Harap menuju pendapa sekarang." Seorang pelayan yang lain memberikan pengumuman.

Cempaka hanya mengangguk sesaat. Dibantu Lastri, ia menuju pendapa kediaman Adipati Aryotedjo.

Para tamu dari kalangan bangsawan, pejabat kolonial, hingga tetua desa sudah memenuhi bangku panjang yang disediakan. Mereka berbisik-bisik sembari menunggu prosesi dimulai.

Gamelan ditabuh riang, suara gong menggelegar, dan sinden melantunkan tembang Jawa penuh sukacita. Dari kursi pengantin yang ditinggikan, Cempaka duduk anggun, tubuhnya tegap namun jemari bergetar di atas pangkuan.

Kebaya putih keemasan membalut tubuhnya, sanggul tinggi berhias roncean melati memancarkan keanggunan, tetapi wajahnya pucat seperti kertas.

Lastri berdiri di samping, sesekali membetulkan kain panjang tuannya.

“Den Ayu, sebentar lagi. Bersabarlah…” bisiknya lirih.

Cempaka menelan ludah. Dadanya sesak. Ia menunggu saat pintu gerbang dibuka dan calon suaminya masuk. Bayangan Raden Wiratama muncul dalam benaknya: lelaki gagah berwibawa, wajahnya kaku namun dihormati semua orang.

Namun ketika gamelan berhenti sejenak, gong dipukul panjang, dan suara juru caraka menggema. Sosok yang muncul membuat darah Cempaka serasa berhenti mengalir seketika.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Kau Istriku Sekarang!

    Pernikahan tetap berlangsung. Meski tanpa persetujuan mempelai wanita. Tapi, apa gunanya Cempaka bersuara? Keputusan tetap berada di tangan kedua pria yang kini berhadapan dengan penghulu. Gamelan kembali ditabuh meski iramanya terdengar hambar, seperti sekadar mengugurkan kewajiban. Para tamu bangsawan duduk kaku di kursi kehormatan. Sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi berbisik di balik kipas tangan. Tak pelak, setelah hari ini gunjingan pasti dengan cepat menyebar di kalangan pergaulan kelas atas. Satu-satunya orang yang tampak gelisah hanyalah sang pengantin perempuan. Wajah perempuan itu lesu. Bahkan ketika Cempaka didudukkan kembali di pelaminan. Wajahnya basah oleh air mata yang sudah dikeringkan buru-buru oleh para pelayan. Senyum yang seharusnya memancar di wajah pengantin wanita tidak pernah muncul. "Tersenyumlah, setidaknya jangan biarkan dirimu terlihat terpaksa di depan banyak orang." "Saya memang dipaksa oleh keadaan, Tuan. Kenapa saya harus berpura-p

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Terima Takdirmu

    “Cukup!” Suara berat penuh wibawa memotong suasana. Membuat suasana kian tegang. Raden Aryotedjo berdiri dari kursi kehormatan. Sorot matanya tajam menyapu seluruh pendapa, membuat para tamu spontan terdiam. Ia lalu menoleh ke putrinya. “Cempaka.” Suaranya bergetar, setengah ancaman, setengah memohon. “Jaga bicaramu. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jangan mempermalukan keluarga di hadapan para tamu, apalagi di hadapan bangsa asing.” Cempaka menoleh, menatap ayahnya dengan mata basah. “Ayah… apa itu lebih penting ketimbang kehormatan putrimu?” suaranya lirih, nyaris tenggelam. “Tidak, yang lebih ingin kudengar sekarang, apa benar Wira… menjualku?” Raden Aryotedjo terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menjawab. Keheningan itulah yang justru menampar Cempaka paling keras. Letnan Rembrandt menyeringai tipis, jelas puas melihat kebimbangan sang adipati. Ia melipat tangan di dada, seolah yakin kebenaran akhirnya akan menampakkan dirinya tanpa perlu ia tambahkan kata apa pun.

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Fakta atau Tipuan?!

    Darah Cempaka seakan berhenti mengalir. Dunia kembali membisu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menembus lebih dalam daripada pisau. Menjualmu. Tidak mungkin. Tidak mungkin lelaki yang malam itu datang ke kamarnya, memegang tangannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja… akan melakukan ini. Tidak mungkin lelaki yang akan menjadi suaminya tega menukar kehormatannya dengan kekuasaan atau kekayaan. Namun ketika ia kembali menatap ke arah sang ayah—dan mendapati Raden Aryotedjo kembali menghindari pandangannya—Cempaka mulai mengerti. Segalanya bukan lagi miliknya. Tidak kehormatannya. Tidak masa depannya. Bahkan mungkin tidak pula tubuhnya. Semuanya telah diperjualbelikan. Dan hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan barunya… kini berubah menjadi penjara yang tak mungkin ia lepaskan. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri? Apa Anda yakin masih memiliki pilihan sekarang?" Kepala Cempaka terasa berat. Ia tak sanggup menjawab. Namun, ia juga tetap berusaha berd

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Hari Pernikahan

    Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt. Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras. “Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?” Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu. Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.” Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersu

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Menjelang Hari Pernikahan

    Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya. Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul. Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra. “Wira…” bisiknya terperangah. Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa. “Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini,

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Persiapan Pernikahan

    Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada baya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status