LOGINCempaka tertegun. Angin malam meniup lembut helaian rambutnya. Kata-kata itu menggema lama di dalam dadanya, antara ingin dipercaya dan takut terjebak dalam harapan semu. Apa pula maksud ucapan pria itu? Bahwa dia memilihnya? Degup jantung Cempaka tak terkendali. Ia tak tahu perasaan apa itu. Yang jelas, Cempaka mulai menyadari satu hal, bahwa Pieter adalah pria yang berbahaya. Kalau saja ia tak menyadari posisinya saat ini, ia pasti akan percaya begitu saja bahwa dirinya dipilih. Melupakan fakta bahwa Wiratama telah menjualnya pada pria Belanda itu. Hanya demi kedudukan dan kebebasan dari upeti yang harus diserahkan kepada para pendatang berkulit putih. "Pada faktanya aku tidak dipilih oleh siapa pun, Tuan. Tidak juga kamu." Ucapan Cempaka cukup tegas saat mengatakannya. Pieter hanya menghela napas. Mungkin memang belum saatnya bagi perempuan itu menatapnya tanpa rasa curiga. "Kalau itu yang kau yakini, Mevrouw." Keheningan menyelimuti keduanya. Cukup lama. Hingga keduanya ter
Cempaka menoleh. Di sampingnya, Pieter tetap duduk sambil menyetir dengan santai. Tak ada senyum ataupun sorot mata yang menggoda seperti biasa. Hanya tatapan dingin yang fokus pada jalan di depannya. "Kau mengajak kencan seorang perempuan sudah seperti memintanya kerja paksa saja, Tuan," sindir Cempaka sama sekali tak mengusik konsentrasi Pieter. "Lalu aku harus bagaimana, Mevrouw? Kalau aku bersikap sebagaimana selayaknya seorang gentleman, kau pasti menolak ajakanku dengan tegas." Bilah bibir Cempaka terbuka. Perempuan itu hendak membantah ucapan sang pria ketika ia tiba-tiba kehilangan suara. Sekejap, Cempaka tak tahu mesti bagaimana menanggapi ucapan pria yang duduk di belakang kemudi itu. "Benar bukan? Ini satu-satunya cara agar kau menerima ajakanku, Mevrouw." Cempaka benar-benar kehilangan kata sekarang. Tebakan Pieter memang terlalu tepat sasaran hingga membuat Cempaka tak lagi berkutik. Demi menghindari rasa malu, perempuan itu menoleh ke kiri. Kembali memperhati
Hari pesta itu akhirnya tiba lebih cepat dari dugaan Cempaka. Sejak pagi, ia sudah disibukkan dengan persiapan pesta yang masih menjelang malam. Sriah membantunya bersiap. Mulai dari memakai lulur, ratus, sampai mandi kembang setaman. Cempaka benar-benar diperlakukan selayaknya tuan putri. Meski gelar itu tak lagi ia sandang sejak keluar dari rumah orang tuanya. "Anda harus terlihat cantik dibandingkan para nyonya berkulit putih itu, Mevrouw." Sriah kini mengikuti cara Pieter memanggil Cempaka. "Apa gunanya aku tampil paling cantik, Mbak?" "Ya biar harga diri kita sebagai rakyat pribumi tidak semakin diinjak-injak oleh mereka." "Tapi kamu sendiri memilih bekerja di bawah perintah kompeni." "Itu beda cerita, Mevrouw. Saya berutang nyawa pada Tuan Rembrandt sebelumnya. Tuan William Rembrandt. Jadi, sudah sewajarnya kalau saya mengabdi pada beliau." Cempaka tak bertanya lebih lanjut. Ia menoleh keluar melalui jendela kamarnya. Langit Yogyakarta tampak bersih setelah semalam
Hari itu berlalu begitu saja. Hanya suara jam dinding tua yang menggema di ruang tengah rumah besar itu. Seakan menghitung detik yang menandai jarak di antara mereka semakin menjauh.Sejak hari itu pula, Pieter tidak lagi tidur di kamar yang sama. Setelah malam pertama yang mereka lalui dengan penuh gairah, kini pria itu memilih kamar di sayap timur rumah. Kamar yang dulu digunakan oleh mendiang sang ayah.Tidak ada penjelasan apa pun dari Pieter. Juga tidak ada alasan yang terucap. Mereka kini seakan menjadi orang asing yang tinggal dalam satu rumah.Anehnya, sikap Pieter yang demikian justru membuat Cempaka merasa ... kehilangan? Atau justru ... penasaran? Di antara kedua perasaan itu, ia memilih untuk abai sementara waktu. Lagipula, bukan hanya urusan pria itu yang harus ia pikirkan."Tuan tidak tidur di sini lagi, Nyonya?" tanya Sriah yang pagi itu membawakan baju bersih ke kamar Cempaka.Lastri jauh lebih baik. Namun, untuk sementara ia diperbolehkan beristirahat lebih panjang sa
Raut muka Pieter tampak kaget saat mendengar pengakuan Cempaka. Perempuan itu begitu mudahnya mengucapkan kalimat yang tak pernah ia duga. Hanya untuk menggantikan orang kepercayaannya membalas dendam ia rela merendahkan dirinya di depan Pieter. Padahal sebelum ini, ia begitu tinggi menjunjung harga dirinya yang bahkan telah jatuh diinjak-injak orang tua serta calon suaminya. "Kau yakin dengan ucapanmu, Mevrouw?" tanya Pieter setelah sanggup menguasai keterkejutannya. "Ya, asalkan kau bisa mengabulkan permintaanku, Tuan." "Hanya demi seorang pelayan, kau rela menjadikan dirimu sebagai tumbal?" Sorot mata Cempaka tampak semakin tajam. Ia menatap lurus ke arah Pieter yang sama tajamnya menatap perempuan itu. "Dia bukan hanya seorang pelayan bagiku, Tuan. Dia teman, sahabat, bahkan kuanggap sebagai saudara perempuanku. Dia rela menutupi aibku dan menjadikan dirinya menerima hukuman atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan. "Lantas menurutmu, apa aku harus diam saja ketika harga d
Sriah menyambut Cempaka di depan pintu begitu dirinya meninggalkan perpustakaan. Wajah pelayan itu terlihat tegang sekaligus antusias."Ini sudah sore?" tanya Cempaka saat tak menyadari jam berapa sekarang.Ia terlalu fokus membaca sampai saat Pieter tiba-tiba datang. Cempaka berasumsi bahwa ini sudah sore hari."Baru lewat tengah hari, Nyonya.""Lewat tengah hari? Kenapa Tuan sudah datang?""Nyonya akan tahu saat tiba di ruang tamu."Kening Cempaka berkerut heran. Ucapan Sriah terdengar penuh teka-teki. Namun, ia tak membantah ataupun mengatakan apa pun. Langkahnya ringan mengikuti Sriah yang membawanya ke ruang tamu.Tak lama, mereka sampai di ruang tamu yang tampak sunyi dan lengang. Hanya ada sisa hujan dari luar yang terdengar. Juga seseorang yang duduk sambil menundukkan kepala. Dari postur tubuhnya, Cempaka tahu betul siapa orang itu."Lastri!" serunya antusias.Perempuan muda itu mengangkat wajah. Menatap s







