Home / Zaman Kuno / Tahanan di Ranjang Sang Letnan / Mungkin ... Tak Seburuk yang Kupikirkan!

Share

Mungkin ... Tak Seburuk yang Kupikirkan!

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2025-11-06 18:47:34

Cempaka memutuskan berjalan ke arah dermaga. Dari tempat mereka saat ini memang cukup dekat menuju ke arah dermaga yang hanya berjarak beberapa meter saja.

Perempuan itu berdiri di tebing pemecah ombak. Sebagian anak rambut yang terlepas dari sanggul terbang tertiup angin. Menutup sebagian waja ayunya.

Ombak sedang berdebur keras. Sementara angin mendesau kencang dari Samudra Hindia. Kapal-kapal besar bersandar di pelabuhan.

Sebagian besar milik pedagang Cina, armada militer Belanda, dan hanya beberapa di antaranya milik bangsawan pribumi. Selebihnya hanya perahu kecil penangkap ikan milik nelayan setempat.

Cempaka mengenali salah satu kapal besar dengan panji-panji merah-putih yang berkibar. Kapal besar itu milik keluarga Wiratama yang berfungsi sebagai angkutan pengangkut hasil bumi ke wilayah seberang.

Selain secara turun-temurun keluarga pria itu menjabat sebagai bupati, mereka juga saudagar yang kaya-raya. Tidak banyak yang tahu, keluarga mereka juga mendanai gerakan b
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Jangan Pernah Sentuh Istriku!

    Van der Wijck terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. Seolah tak percaya ada seseorang yang berani menyentuhnya—bahkan mendorongnya—dengan cara sebrutal itu. Cempaka langsung menjauh dua langkah, napasnya terputus-putus, bahunya naik turun dengan cepat. Ada bekas cengkeraman merah di lengannya. Matanya membelalak—antara lega dan ngeri. Dan di hadapan mereka berdiri Pieter. Mantelnya masih tertutup debu perjalanan, rambutnya acak, napasnya berat seolah ia berlari dari gerbang hingga halaman. Namun yang paling mencolok adalah sorot mata itu. Pekat. Membunuh. Seperti bara hitam yang siap meledak. “Cukup,” ulangnya, lebih pelan… lebih berbahaya. “Jangan pernah sentuh istriku! Aku sudah muak melihat kau menyentuh orang yang tidak ingin disentuh.” Van der Wijck menyipitkan mata, tapi angkuhnya belum hilang. Tak ada lagi tatapan segan yang ditunjukkan terakhir kali ketika mereka bertemu di restoran.Ia merapikan mantel, menc

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Tamu yang Tak Diharapkan

    Nama itu. Begitu Aryo menyebutnya—pelan, seperti takut ada sesuatu yang ikut merayap keluar dari kegelapan—Cempaka merasa seluruh lantai bergeser dari bawah telapak kakinya.Ia tidak menjawab apa pun. Tidak bereaksi. Tidak memprotes.Ia hanya berdiri terpaku, memandang Aryo, namun tatapannya kosong. Jauh. Terseret pada masa yang seharusnya tak perlu ia ingat lagi. Faktanya tidak semudah itu bagi Cempaka.Lastri sempat memanggil namanya dua kali. Sriah memegang lengannya, khawatir Cempaka akan jatuh.Namun Cempaka hanya mengucapkan satu kalimat, sangat pelan, “Aku harus bicara dengan Pieter.”Tidak ada yang bisa menahannya ketika ia melangkah keluar dari ruang penahan belakang itu. Napasnya cepat, langkahnya panjang, hampir terburu-buru melewati halaman. Sore menjelang, cahaya matahari redup jatuh di wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak yang bergemuruh di dadanya.Ia tahu nama itu. Semua orang mungkin tidak. Bahkan Lastri, atau Pieter sekalipun. Sebab, ia sendiri yan

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Pengakuan Sang Tahanan

    Hari-hari setelah malam itu berlalu begitu saja—tanpa kejadian besar, tanpa percakapan yang mengungkap luka lama, tetapi juga tanpa menjauhkan apa pun yang sudah sempat mendekat.Rumah Rembrandt kembali seperti semula. Tidak dingin. Tapi juga… tidak sepenuhnya hangat.Cempaka menjalani rutinitasnya dengan cara yang membuat para pelayan hampir bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Terutama Lastri.Perempuan muda itu tahu, tak mudah bagi Cempaka setelah kemunculan Aryotedjo. Apalagi namanya sempat dibawa-bawa dan membuat suasana makin tegang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Lastri. Cempaka menolak bercerita padanya."Den Ayu, butuh teman bercerita?" tanya Lastri pada suatu sore setelah Aryotedjo muncul di rumah keluarga Rembrandt.Cempaka hanya tersenyum. Menggeleng singkat, lantas menepuk pundak perempuan yang sudah bersamanya sejak usia belia itu."Jika Den Ayu, tidak mengatakan apa pun, itu membuat saya menjadi gusar." Lastri menambahkan. Namun, Cempaka han

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Kehangatan yang Hanya Milikmu

    Pieter kembali ke kamar ketika malam sudah turun sepenuhnya. Menyisakan hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang ia biarkan menyala sebelum pergi tadi. Pria itu membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara, tak ingin mengganggu tidur Cempaka. Namun begitu ia masuk, Pieter mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Cempaka tidak lagi tidur setenang sebelumnya. Perempuan itu meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gelisah. Alisnya mengernyit, bibirnya bergerak seakan memanggil seseorang dalam mimpi yang tidak menyenangkan. “Ayah.…” gumamnya kecil, nyaris tak terdengar. Pieter langsung mendekat. Ia menunduk, memperhatikan napas Cempaka yang mulai tersengal—bukan karena sakit, tapi gelombang kecemasan yang muncul begitu ia tak lagi disandari oleh kehangatan seseorang. “Cempaka,” bisiknya lembut sambil duduk di tepi ranjang. “Aku di sini.” Perempuan itu tampak tersiksa dalam tidurnya, jemarinya mencengkeram bagian selimut seolah sedang memohon perlindungan dari sesuatu yang t

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Demi Cempaka

    Pieter terbangun ketika cahaya senja menyelinap melalui celah tirai. Cahaya lembut itu jatuh tepat pada wajah Cempaka yang masih bersandar di dadanya.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti—hanya ada embusan napas teratur Cempaka, hangat dan lembut di atas kemeja Pieter.Pria itu menunduk sedikit, memperhatikan perempuan itu dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.Cempaka tertidur pulas. Damai. Seolah kelelahan hari ini perlahan ditelan ketenangan.Senyum halus muncul di bibir Pieter—senyum yang hanya muncul ketika ia melihat sesuatu yang sungguh ia jaga.Pelan, ia mengangkat tangan dan mengusap rambut Cempaka. Gerakannya hampir seperti doa yang diucapkan tanpa suara. Istrinya bergumam kecil, meringkuk sedikit, tetapi tetap terlelap.Pieter menunggu beberapa detik sebelum bergerak hati-hati. Lengan yang memeluk Cempaka ia lepaskan perlahan. Ketika kepala perempuan itu terjatuh tanpa sandaran, Pieter cepat menahan dengan telapak tangan. Memastikan tidak ada sentak

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Istirahatlah, Aku di Sini!

    Mereka berjalan menuju lantai dua tanpa banyak kata. Langkah Cempaka berat, tetapi tidak lagi terasa sendirian. Pieter tetap menggenggam jemarinya—erat, namun tidak pernah memaksa.Setibanya di kamar, Pieter lebih dulu membuka pintu. Mengizinkan Cempaka masuk, lalu menutupnya perlahan. Seolah menutup seluruh kegaduhan dunia di balik daun pintu itu.Cempaka berdiri di tengah ruangan, matanya menyisir sekeliling tanpa fokus. Napasnya masih tersengal, sisa dari pecahan tangis yang tadi belum benar-benar surut.Pieter mendekat secukupnya, tidak terburu-buru.“Duduklah,” ucapnya lembut.Cempaka menurut. Ia duduk di tepi ranjang besar itu, jemarinya saling meremas satu sama lain. Pieter mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.Cempaka menerimanya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. “Terima kasih…”Air itu diminumnya perlahan. Satu tegukan. Dua. Hingga dadanya terasa sedikit longgar.Pieter berdiri di depannya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kekhawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status