LOGINCempaka membuka mata kembali.Kali ini lebih lama.Ia tidak langsung bergerak, hanya duduk di tepi ranjang dengan punggung sedikit membungkuk, kedua telapak tangan menekan seprai seolah mencari pijakan. Pagi masih terlalu muda. Udara masih menyimpan dingin sisa malam. Dan keheningan di kamar itu terasa berbeda—bukan tenang, melainkan berjarak.Ia bangkit perlahan dan meraih mantel tipis yang tergantung di kursi. Gerakannya tenang, nyaris terlatih. Perasaan yang barusan merayap di dadanya tidak berkembang menjadi kepanikan, melainkan kewaspadaan.Cempaka turun ke lantai bawah.Rumah Rembrandt masih terjaga dalam sunyi. Jam dinding di lorong menunjukkan hampir pukul enam. Di dapur, teko air masih di tempatnya, dingin. Tidak ada tanda Pieter sempat sarapan.Para pelayan pun sibuk mengerjakan tugas masing-masing dalam sunyi. Sriah sesekali keluar masuk dapur dari halaman. Mereka hanya sempat berbincang sebentar.Lalu, Cempaka berhenti di meja kecil dekat ruang kerja. Di sana—selembar ker
Pukul dua dini hari. Ketukan itu pelan, tapi teratur—cukup untuk menembus batas tidur seorang prajurit. Pieter membuka mata lebih dulu. Kesadaran datang tanpa sisa kantuk, seperti refleks yang telah diasah bertahun-tahun. Di sisinya, Cempaka masih terlelap. Napasnya teratur, wajahnya damai dengan cara yang jarang ia perlihatkan saat terjaga. Ketukan terdengar lagi. Pieter menggeser tubuhnya perlahan, berhati-hati agar kasur tak berderit. Ia menarik selimut sedikit lebih tinggi menutupi bahu Cempaka, lalu bangkit dan melangkah menuju pintu. Begitu pintu terbuka, Ben berdiri di ambang. Rambutnya sedikit berantakan, seragamnya setengah berantakan—tanda ia datang tanpa banyak pertimbangan selain urgensi. “Ada apa, Ben?” suara Pieter rendah, nyaris berbisik. “Ada panggilan dari kesatuan, Tuan.” Kening Pieter berkerut. “Pagi buta begini?” Ben mengangguk cepat. “Ini tentang Wiratama. Katanya… dia menunjukkan gelagat aneh sejak sore. Terlalu banyak bertanya."Tapi di satu sisi, tamp
Mobil hitam itu melaju meninggalkan halaman rumah Aryotedjo dengan kecepatan sedang. Mesin berdengung halus, nyaris kontras dengan suasana di dalam kabin yang dipenuhi pikiran-pikiran berat. Jalanan menjelang siang itu sedikit lengang, hanya sesekali dilewati pedati atau pejalan kaki yang menepi begitu melihat kendaraan milik keluarga Rembrandt lewat. Cempaka duduk tegak di kursi penumpang depan. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, punggungnya bersandar, namun bahunya tak sepenuhnya rileks. Pandangannya lurus ke depan, menembus kaca mobil, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak benar-benar ada di sana. Pieter menyetir dengan tenang. Satu tangan di kemudi, satu lagi sesekali berpindah ke tuas persneling. Wajahnya tampak fokus, tapi bukan pada jalan—melainkan pada segala kemungkinan yang sedang mereka hadapi. Sementara Bentley sudah lebih dulu pergi. Prajurit yang setia itu ditugaskan Pieter untuk melapor ke kesatuan lebih dulu sebelum Pieter akan menyusul nanti. “Pengumuman it
Ruangan itu kembali sunyi setelah kata perang mengendap di udara.Aryotedjo memejamkan mata beberapa detik, seolah sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya yang tercecer bersama jabatan dan nama baik. Ketika ia membukanya kembali, sorot matanya tak lagi goyah.“Kalau kalian berniat menyusup ke ruang arsip,” ucapnya pelan, “jangan mulai dari gedung utama.”Pieter mengangkat alis sedikit. “Ada lebih dari satu?”Aryotedjo mengangguk. “Arsip pemerintahan tidak disimpan di satu tempat. Yang di gedung utama hanya salinan. Versi yang sudah dipilah. Dibersihkan.”Ia tersenyum pahit. “Yang kotor tidak pernah disimpan di tempat yang mudah dijangkau.”Cempaka melangkah setengah langkah ke depan. “Lalu di mana yang asli?”Aryotedjo menoleh padanya. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab—bukan ragu, melainkan menimbang seberapa banyak kebenaran yang sanggup diterima putrinya.“Di rumah dinas residen lama,” katanya akhirnya. “Gudang administrasi bawah tanah. Dulu dipakai menyimpan laporan sensitif seb
Aryotedjo terdiam cukup lama setelah mengucapkan kesediaannya membantu.Sorot matanya menerawang ke arah jendela kayu yang sedikit terbuka, tempat cahaya pagi menyusup dengan malu-malu. Wajahnya menegang, bukan karena ragu, melainkan karena ia mulai benar-benar memahami konsekuensi dari keputusan yang baru saja ia ambil.“Kalau kalian gagal,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan berat, “bukan hanya namaku yang akan lenyap. Tapi juga nyawa kalian.”Cempaka tidak membantah.“Ayah tahu,” lanjut Aryotedjo, menoleh kembali padanya, “jalan yang kau pilih ini bukan jalan anak bupati. Ini jalan orang yang siap kehilangan segalanya.”Tatapan mereka bertemu. Tak ada lagi jarak emosional yang bisa disangkal—yang tersisa hanyalah dua orang yang berdiri di sisi berlawanan dari masa lalu, tapi kini menghadap musuh yang sama.“Aku sudah kehilangan cukup banyak,” jawab Cempaka tenang. “Yang tersisa hanya kebenaran.”Aryotedjo mengangguk pelan. Ada getir di sana. Ada juga kebanggaan yang tak ingin ia
Ruangan itu seketika diliputi ketegangan yang tebal, seolah udara di dalamnya mengeras dan menekan dada siapa pun yang bernapas terlalu dalam.Aryotedjo terdiam.Benar-benar terdiam.Kata-kata Cempaka barusan seperti memukulnya dari arah yang tak ia duga—bukan dengan kemarahan, bukan pula dengan tangisan, melainkan dengan ketegasan dingin yang lebih menyakitkan daripada tuduhan apa pun. Ia membuka mulut, menutupnya kembali. Lidahnya kelu. Seumur hidupnya sebagai pejabat, sebagai ayah, sebagai laki-laki yang terbiasa memberi perintah, ia tak pernah sesulit ini merangkai kata.Di hadapannya kini berdiri bukan lagi gadis bungsu yang dulu menunduk setiap kali dimarahi. Bukan Cempaka kecil yang bersembunyi di balik pintu saat suara ayahnya meninggi.Perempuan ini… begitu asing. Tegak, tenang, dan berjarak.Mungkin—dan kesadaran itu menghantam Aryotedjo tanpa ampun—dialah yang membuat putrinya menjelma seperti ini. Keputusannya, pengabaiannya, ketakutannya sendiri yang membentuk lapisan ke







