Share

Bab 2

Author: Lenka
Aku berulang-ulang membaca pesan itu hingga tiga kali. Sebodoh apa pun, aku tetap bisa menyadari bahwa pesan ini jelas-jelas adalah sebuah provokasi darinya.

Meski aku sudah menduga alasan kenapa Rafli tidak datang, tetap saja, menerima pesan dari Yasmine membuat dadaku terasa sesak. Bisa dibilang, aku dan Rafli adalah teman masa kecil yang tumbuh besar bersama.

Sejak kecil, aku sudah bercita-cita untuk menikah dengannya suatu hari nanti.

Masih ingat saat aku pertama kali mengatakan hal itu, waktu itu aku baru masuk SD. Orang tuaku dan orang tuanya sama-sama tertawa senang mendengarnya. Rafli juga memperlakukanku sebagai orang yang sangat dekat.

Semua itu terus berlanjut sampai kami kuliah. Waktu itu, untuk pertama kalinya, dia membawa seorang teman wanita pulang ke rumah.

Orang itu adalah Yasmine.

Dari cara mereka berinteraksi dan cara mereka saling memandang, aku sadar bahwa mungkin kedekatan Rafli padaku selama ini bukan karena cinta.

Aku pun panik.

Setelah lulus kuliah, aku pernah bilang ingin mengajaknya menikah dengan setengah bercanda.

Meski kedua orang tua kami sama-sama menyetujui, Rafli menolaknya. Selain itu, penolakannya itu sangat tegas.

Selama tujuh atau delapan tahun setelah kejadian itu, mungkin ada belasan kali aku memintanya untuk menikah. Namun, dia hanya pernah menyetujuinya tujuh kali.

Hanya saja, ketujuh kali itu semuanya diingkarinya.

Setiap kali kami batal mendaftarkan pernikahan, Yasmine akan mengirimiku pesan yang penuh provokatif.

Ponselku kembali bergetar.

Kupikir itu pesan dari Yasmine lagi dan aku hampir langsung menolaknya. Namun begitu kulihat keterangan namanya, ternyata itu telepon dari temanku. Katanya, malam ini ada acara perkumpulan dan dia ingin mengundangku datang.

Tanpa sadar, kalimat pertama yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan, "Rafli datang nggak malam ini?"

"Tenang saja, Dinda. Aku tahu hubunganmu sama Rafli. Aku sudah bilang sama dia sebelumnya. Dia pasti datang, kok!"

"Kalau begitu, nggak usah. Kalau dia datang, aku nggak akan ikut. Lain kali saja ya."

Suara temanku yang tadinya terus mengoceh, tiba-tiba terhenti. Seolah-olah kalimatku barusan mengejutkannya.

Semua orang tahu, selama bertahun-tahun ini, akulah yang terus-menerus mengejar Rafli.

Aku yang dengan muka tebal memberikan bunga padanya di hari wisuda, memutar otak memilihkan pekerjaan yang cocok untuknya, bahkan rela mencuci pakaian dan membersihkan rumahnya tanpa pamrih.

Pernah suatu kali di pesta ulang tahun seorang teman, seseorang mengatakan bahwa Rafli pasti mendapat berkah besar dari kehidupan sebelumnya, sehingga ada aku yang begitu tulus mencintainya.

Namun, Rafli hanya mendengus dingin dan mencibir. "Nempel terus kayak perangko. Menyebalkan! Siapa juga yang peduli?"

Dulu, aku tidak peduli pada ucapannya. Aku selalu berpikir bahwa suatu hari dia pasti akan berubah untukku. Namun sekarang, aku peduli.

Setelah menutup telepon, aku mengirim pesan massal ke beberapa grup teman dekat.

[ Mulai sekarang, kalau ada acara kumpul dan Rafli hadir, nggak usah undang aku. ]

Setelah semuanya selesai, aku baru memesan taksi untuk kembali ke kontrakan.

Selesai bersih-bersih diri, aku mulai mengemasi semua barang milik Rafli yang ada di rumah. Kukumpulkan semuanya ke dalam satu koper besar, lalu menelepon jasa kurir untuk mengantarnya ke tempat Rafli.

Saat kurir datang, sahabatku juga tiba-tiba muncul, seakan-akan sudah mencium ada sesuatu yang terjadi.

Begitu melihatku sibuk mengemas banyak barang, dia langsung berseru, "Dinda, jangan bilang kamu mau pergi jauh?"

Aku tertawa dengan heran, lalu membuka koper dan memperlihatkan isinya. "Kamu ngomong apa sih, ini semua barang-barangnya Rafli. Aku mau kirim balik semuanya."

Sahabatku terdiam cukup lama, lalu setelah melihat kurir pergi membawa koper itu, dia menatapku dengan ekspresi tak percaya dan bertanya pelan, "Tapi, katanya kamu mau pergi daftar nikah sama Rafli hari ini? Kenapa tiba-tiba ...."

Ucapannya terhenti di tengah jalan.

Dia juga tahu soal pembatalan itu, sehingga bisa langsung menebaknya. Tatapan matanya pun langsung tampak membara. "Rafli lagi-lagi ninggalin kamu ya? Pantas saja kamu kirim pesan begitu. Ini pasti ulah Yasmine lagi, 'kan? Ayo, kita temui dia sekarang juga dan ngomongin dengan jelas!"
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 8

    Setelah hari itu, aku pun kembali ke kampung halaman.Menjelang tahun baru, ada banyak sekali undangan reuni yang berdatangan. Begitu kabar kepulanganku menyebar, banyak teman lama mulai mengajakku bertemu.Beberapa hari berturut-turut, aku menghadiri beberapa acara reuni. Di reuni terakhir, aku datang terlambat setengah jam. Begitu sampai di depan pintu ruang privat, aku tiba-tiba mendengar seseorang menyebut nama Rafli."Rafli, dulu kamu dan Dinda selalu lengket ke mana-mana, kalian juga teman masa kecil. Kenapa sampai sekarang belum juga nikah?""Iya, kami semua pikir kalian bakal menikah setelah lulus kuliah!"Tanganku yang sudah menyentuh gagang pintu mendadak berhenti.Di dalam, terdengar suara Rafli terdiam cukup lama. Kemudian, dengan nada ragu-ragu, dia menjawab, "Sebentar lagi ... segera ...."Teman-teman langsung ribut menggoda dan bersorak.Aku pun berbalik dan bersiap untuk pergi. Saat itulah, ketua kelas kami membuka pintu. Begitu melihatku, wajahnya langsung berseri-seri

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 7

    Benar saja, keesokan paginya, ibuku kembali meneleponku.Katanya Rafli sakit cukup parah, sementara orang tuanya sibuk bekerja dan tidak sempat merawatnya. Jadi, katanya tugas itu hanya bisa diserahkan padaku, sahabat masa kecil yang katanya selalu menjaganya sejak kecil.Tentu saja aku langsung menolak saat itu juga."Bu, sudahlah, jangan ikut campur urusan begini. Rafli punya pacar, jadi kalau dia dirawat di rumah sakit ya pasti pacarnya yang jaga. Aku ke sana malah jadi ganggu.""Maaf ya, aku juga lagi sibuk. Aku tutup dulu."Selesai bicara dan tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku langsung menutup telepon. Kupikir setelah ini semuanya akan selesai.Namun ternyata, Rafli memang benar-benar nekat. Dia menggunakan segala cara dan memanfaatkan semua orang untuk memaksaku muncul di hadapannya.Baru saja kututup telepon dari Ibu, telepon dari rumah sakit langsung masuk. Yang menelepon adalah dokter penanggung jawab Rafli. Begitu tersambung, dia langsung bertanya apakah aku keluarga dari R

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 6

    Aku sempat melihat sekilas, semua pesan dan panggilan di ponselku berasal dari sahabat dan beberapa teman. Ada juga beberapa pesan dari sebuah nomor asing. Melihat isi pesannya, aku langsung bisa menebak bahwa pasti dari Rafli lagi yang entah mendapatkan nomor dari mana kali ini.Setelah memblokirnya lagi, barulah aku membuka Instagram. Tampilan layar dipenuhi dengan notifikasi tak berujung. Banyak teman yang menanyakan apakah aku baik-baik saja.Aku hanya bisa menghela napas, akhirnya kukirim sebuah status di linimasa.[ Aku baik-baik saja, hanya saja sudah nggak mau lagi berhubungan sama beberapa hal dan orang di masa lalu! ]Baru saja status itu terkirim, Melina langsung memberi like, lalu meneleponku sambil menggerutu."Dinda, akhirnya kamu bangun juga. Kamu nggak tahu, Rafli itu kayaknya sudah gila!"Suaranya lesu sekali sehingga membuatku agak curiga. Namun, begitu mendengar cerita lengkapnya, aku malah tidak tahan tertawa.Rafli sudah menghubungi semua teman yang mengenalku satu

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 5

    Begitu mendengar suara bentakan Rafli, aku langsung berhenti melangkah naik ke tangga secara refleks. Aku takut kalau resepsionis hotel ini akan membocorkan keberadaanku.Untungnya, staf di hotel mewah seperti ini masih punya profesionalisme. Dengan sopan, resepsionis itu menolak permintaan Rafli, "Maaf, Pak. Ini menyangkut privasi tamu kami, jadi kami tidak bisa memberitahukannya."Tak disangka, Rafli yang biasanya tenang, kini malah kehilangan kendali dan berteriak di luar tanpa memedulikan citra dan harga dirinya."Jangan bicara soal privasi! Dia istriku! Aku berhak tahu apakah dia menginap di sini atau nggak !"Mendengar ucapan itu, aku tak kuasa tertawa sinis.Istri? Betapa asingnya kata itu di telingaku.Jangankan menyebutku istri. Selama bertahun-tahun bersamanya, Rafli belum pernah sekali pun mengatakan "aku mencintaimu" dengan tulus."Kalau begitu, silakan hubungi dia langsung, Pak," jawab resepsionis dengan tenang. "Kalau benar dia menginap di sini dan Anda bisa memberitahuka

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 4

    Sejak hari itu, aku benar-benar memutus semua kontak dengan Rafli. Nomor telepon dan akun media sosialnya sudah lama aku hapus.Selama beberapa kali teman-teman mengajakku keluar, aku selalu memastikan terlebih dahulu apakah Rafli akan hadir atau tidak. Lama kelamaan, teman-teman pun jadi tahu diri dan setiap ada acara kumpul-kumpul, mereka hanya akan mengundang salah satu dari kami.Tak terasa, tibalah hari sebelum reuni akbar kampus. Sahabatku sudah lebih dulu menelepon, mengajakku ikut acara reuni itu. Sebagai salah satu alumni berprestasi, aku juga menerima undangan resmi dari pihak kampus.Aku tidak menyangka, Rafli ternyata juga hadir dalam reuni tersebut. Namun ya, wajar saja. Semasa kuliah, nilai-nilainya selalu di peringkat atas. Setelah lulus, dia juga sempat membantu kampus menyediakan program kerja sama lapangan kerja. Mengundangnya menghadiri acara tersebut memang masuk akal.Saat aku dan sahabatku, Melani, tiba di kampus, suasananya sudah sangat ramai. Dalam brosur acara

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 3

    Meskipun sudah berusaha keras menolak, aku tetap diseret oleh sahabatku ke tempat mereka mengadakan acara kumpul malam ini. Baru saja sampai di depan pintu ruang VIP, suara Rafli sudah terdengar jelas dari dalam."Kalian nggak usah ribut. Selama bertahun-tahun ini, Dinda sudah ngomong berapa kali mau ninggalin aku? Tapi pada akhirnya tetap nggak pernah bisa lepas. Hari ini dia cuma lagi emosi. Nanti juga kalau sudah reda, pasti akan kembali cari-cari aku lagi!"Di luar pintu, aku menggigit bibirku dengan kuat, sampai samar-samar terasa rasa darah di mulutku.Selama ini, aku sudah setulus itu merawatnya dan melakukan semua hal demi kebaikannya. Namun ternyata, di mata Rafli, semua itu tidak berarti apa-apa.Sahabatku yang melihat mataku sudah memerah, menggenggam tanganku erat.Saat dia hendak mendorong pintu dan masuk, aku langsung menahannya. Pada titik ini, aku bahkan tidak ingin lagi melihat wajah Rafli. Aku menarik sahabatku pergi, bersiap untuk meninggalkan tempat itu.Baru berjal

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status