Share

Bab 3

Author: Lenka
Meskipun sudah berusaha keras menolak, aku tetap diseret oleh sahabatku ke tempat mereka mengadakan acara kumpul malam ini. Baru saja sampai di depan pintu ruang VIP, suara Rafli sudah terdengar jelas dari dalam.

"Kalian nggak usah ribut. Selama bertahun-tahun ini, Dinda sudah ngomong berapa kali mau ninggalin aku? Tapi pada akhirnya tetap nggak pernah bisa lepas. Hari ini dia cuma lagi emosi. Nanti juga kalau sudah reda, pasti akan kembali cari-cari aku lagi!"

Di luar pintu, aku menggigit bibirku dengan kuat, sampai samar-samar terasa rasa darah di mulutku.

Selama ini, aku sudah setulus itu merawatnya dan melakukan semua hal demi kebaikannya. Namun ternyata, di mata Rafli, semua itu tidak berarti apa-apa.

Sahabatku yang melihat mataku sudah memerah, menggenggam tanganku erat.

Saat dia hendak mendorong pintu dan masuk, aku langsung menahannya. Pada titik ini, aku bahkan tidak ingin lagi melihat wajah Rafli. Aku menarik sahabatku pergi, bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

Baru berjalan dua langkah dan sampai di tikungan lorong, pintu ruang VIP terbuka dan Rafli keluar bersama Yasmine.

Tak lama kemudian, Yasmine mulai bicara, "Rafli, kamu sudah mabuk. Jangan ngomong terus. Nanti kalau Dinda dengar, bisa sakit hati, lho."

"Bukannya itu yang kamu mau? Setiap kali kamu minta aku untuk setuju menikah sama dia, lalu di detik-detik terakhir suruh aku batalin. Kamu memang jahat, Yas."

Begitu kalimat itu keluar dari mulut Rafli, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Ternyata, aku cuma badut bagi mereka selama ini. Aku hanya bagian dari permainan dan olok-olokan bagi mereka berdua!

Pantas saja ... waktu Rafli setuju menikah denganku untuk pertama kalinya, dia sama sekali tidak terlihat bahagia. Aku yang sedang hanyut dalam kegembiraan saat itu, tidak pernah menyadari kesinisan di balik matanya.

Yasmine lalu bersandar manja di dada Rafli dan meninju-ninju dadanya sambil bercanda, "Apa-apaan sih, jahat gimana? Bukannya kamu yang pertama kali ngusulin ide ini!"

"Aku cuma mau buat kamu senang, makanya aku ngasih ide itu."

Keduanya semakin asyik mengobrol. Lalu tanpa memedulikan sekitar, mereka mulai berciuman mesra.

Sekujur tubuhku seolah-olah telah kehilangan jiwa. Aku menyeret sahabatku keluar dengan perasaan linglung.

Angin malam yang dingin menerpa wajahku, seakan ikut membekukan hatiku.

"Dinda, kamu itu terlalu baik, makanya dua manusia berengsek itu semena-mena mempermainkan kamu!" Yasmine terus mengomel dengan penuh amarah, sementara aku hanya tersenyum tipis.

Baru saja hendak membuka mulut, mulutku merasakan bau anyir darah yang pekat.

"Semuanya sudah berlalu. Mulai sekarang, aku dan Rafli nggaka akan ada hubungan apa-apa lagi!"

Setelah bersusah payah membujuk Yasmine pulang, aku kembali ke rumah kontrakan.

Begitu tiba di rumah, aku menerima telepon dari kurir. Katanya dia sudah tiba di lokasi, tetapi tidak bisa menghubungi penerima.

Aku baru teringat, Rafli memang selalu menolak panggilan dari nomor tak dikenal. Aku meminta kurir untuk menunggu sejenak, lalu menutup telepon dan menghubungi Rafli sendiri. Sepertinya dia sedang di bar. Suasananya bising, tetapi suara sombongnya tetap jelas terdengar.

"Cepat sekali telepon aku. Mana keberanianmu waktu ninggalin aku sendirian di tepi jalan seperti tadi siang?"

Dulu, aku pasti sudah meminta maaf dengan segala cara. Namun sekarang, aku hanya berkata dengan datar, "Barangmu sudah kutitipkan di depan pintu rumah. Nanti ambil saja waktu pulang."

Rafli semakin besar kepala.

"Dinda ... kamu belikan aku apa lagi? Mau bujuk-bujuk aku lagi ya? Bukannya kamu sudah sekeras itu sampai ngirim pesan seperti itu ke semua teman-teman? Bukannya kamu bilang nggak mau hadir di semua acara yang ada aku? Kenapa sekarang malah mau bujuk aku lagi?"

Aku tidak berkata apa-apa lagi, melainkan langsung menutup telepon. Sebelum panggilan itu terputus, sepertinya aku sempat mendengar dia menanyakan barang apa yang kubelikan. Dia masih harus melihat apakah dia menyukai barang itu atau tidak sebelum mempertimbangkan untuk memaafkanku.

Aku tertawa getir.

Sudah bertahun-tahun jadi "anjing penjilat", di matanya aku bahkan tidak punya harga diri sedikit pun.

Namun, semua itu tidak masalah lagi. Suatu hari dia akan sadar sendiri.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 8

    Setelah hari itu, aku pun kembali ke kampung halaman.Menjelang tahun baru, ada banyak sekali undangan reuni yang berdatangan. Begitu kabar kepulanganku menyebar, banyak teman lama mulai mengajakku bertemu.Beberapa hari berturut-turut, aku menghadiri beberapa acara reuni. Di reuni terakhir, aku datang terlambat setengah jam. Begitu sampai di depan pintu ruang privat, aku tiba-tiba mendengar seseorang menyebut nama Rafli."Rafli, dulu kamu dan Dinda selalu lengket ke mana-mana, kalian juga teman masa kecil. Kenapa sampai sekarang belum juga nikah?""Iya, kami semua pikir kalian bakal menikah setelah lulus kuliah!"Tanganku yang sudah menyentuh gagang pintu mendadak berhenti.Di dalam, terdengar suara Rafli terdiam cukup lama. Kemudian, dengan nada ragu-ragu, dia menjawab, "Sebentar lagi ... segera ...."Teman-teman langsung ribut menggoda dan bersorak.Aku pun berbalik dan bersiap untuk pergi. Saat itulah, ketua kelas kami membuka pintu. Begitu melihatku, wajahnya langsung berseri-seri

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 7

    Benar saja, keesokan paginya, ibuku kembali meneleponku.Katanya Rafli sakit cukup parah, sementara orang tuanya sibuk bekerja dan tidak sempat merawatnya. Jadi, katanya tugas itu hanya bisa diserahkan padaku, sahabat masa kecil yang katanya selalu menjaganya sejak kecil.Tentu saja aku langsung menolak saat itu juga."Bu, sudahlah, jangan ikut campur urusan begini. Rafli punya pacar, jadi kalau dia dirawat di rumah sakit ya pasti pacarnya yang jaga. Aku ke sana malah jadi ganggu.""Maaf ya, aku juga lagi sibuk. Aku tutup dulu."Selesai bicara dan tanpa menunggu jawaban dari Ibu, aku langsung menutup telepon. Kupikir setelah ini semuanya akan selesai.Namun ternyata, Rafli memang benar-benar nekat. Dia menggunakan segala cara dan memanfaatkan semua orang untuk memaksaku muncul di hadapannya.Baru saja kututup telepon dari Ibu, telepon dari rumah sakit langsung masuk. Yang menelepon adalah dokter penanggung jawab Rafli. Begitu tersambung, dia langsung bertanya apakah aku keluarga dari R

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 6

    Aku sempat melihat sekilas, semua pesan dan panggilan di ponselku berasal dari sahabat dan beberapa teman. Ada juga beberapa pesan dari sebuah nomor asing. Melihat isi pesannya, aku langsung bisa menebak bahwa pasti dari Rafli lagi yang entah mendapatkan nomor dari mana kali ini.Setelah memblokirnya lagi, barulah aku membuka Instagram. Tampilan layar dipenuhi dengan notifikasi tak berujung. Banyak teman yang menanyakan apakah aku baik-baik saja.Aku hanya bisa menghela napas, akhirnya kukirim sebuah status di linimasa.[ Aku baik-baik saja, hanya saja sudah nggak mau lagi berhubungan sama beberapa hal dan orang di masa lalu! ]Baru saja status itu terkirim, Melina langsung memberi like, lalu meneleponku sambil menggerutu."Dinda, akhirnya kamu bangun juga. Kamu nggak tahu, Rafli itu kayaknya sudah gila!"Suaranya lesu sekali sehingga membuatku agak curiga. Namun, begitu mendengar cerita lengkapnya, aku malah tidak tahan tertawa.Rafli sudah menghubungi semua teman yang mengenalku satu

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 5

    Begitu mendengar suara bentakan Rafli, aku langsung berhenti melangkah naik ke tangga secara refleks. Aku takut kalau resepsionis hotel ini akan membocorkan keberadaanku.Untungnya, staf di hotel mewah seperti ini masih punya profesionalisme. Dengan sopan, resepsionis itu menolak permintaan Rafli, "Maaf, Pak. Ini menyangkut privasi tamu kami, jadi kami tidak bisa memberitahukannya."Tak disangka, Rafli yang biasanya tenang, kini malah kehilangan kendali dan berteriak di luar tanpa memedulikan citra dan harga dirinya."Jangan bicara soal privasi! Dia istriku! Aku berhak tahu apakah dia menginap di sini atau nggak !"Mendengar ucapan itu, aku tak kuasa tertawa sinis.Istri? Betapa asingnya kata itu di telingaku.Jangankan menyebutku istri. Selama bertahun-tahun bersamanya, Rafli belum pernah sekali pun mengatakan "aku mencintaimu" dengan tulus."Kalau begitu, silakan hubungi dia langsung, Pak," jawab resepsionis dengan tenang. "Kalau benar dia menginap di sini dan Anda bisa memberitahuka

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 4

    Sejak hari itu, aku benar-benar memutus semua kontak dengan Rafli. Nomor telepon dan akun media sosialnya sudah lama aku hapus.Selama beberapa kali teman-teman mengajakku keluar, aku selalu memastikan terlebih dahulu apakah Rafli akan hadir atau tidak. Lama kelamaan, teman-teman pun jadi tahu diri dan setiap ada acara kumpul-kumpul, mereka hanya akan mengundang salah satu dari kami.Tak terasa, tibalah hari sebelum reuni akbar kampus. Sahabatku sudah lebih dulu menelepon, mengajakku ikut acara reuni itu. Sebagai salah satu alumni berprestasi, aku juga menerima undangan resmi dari pihak kampus.Aku tidak menyangka, Rafli ternyata juga hadir dalam reuni tersebut. Namun ya, wajar saja. Semasa kuliah, nilai-nilainya selalu di peringkat atas. Setelah lulus, dia juga sempat membantu kampus menyediakan program kerja sama lapangan kerja. Mengundangnya menghadiri acara tersebut memang masuk akal.Saat aku dan sahabatku, Melani, tiba di kampus, suasananya sudah sangat ramai. Dalam brosur acara

  • Tak Kunjung Dinikahi, Aku Memilih Pergi   Bab 3

    Meskipun sudah berusaha keras menolak, aku tetap diseret oleh sahabatku ke tempat mereka mengadakan acara kumpul malam ini. Baru saja sampai di depan pintu ruang VIP, suara Rafli sudah terdengar jelas dari dalam."Kalian nggak usah ribut. Selama bertahun-tahun ini, Dinda sudah ngomong berapa kali mau ninggalin aku? Tapi pada akhirnya tetap nggak pernah bisa lepas. Hari ini dia cuma lagi emosi. Nanti juga kalau sudah reda, pasti akan kembali cari-cari aku lagi!"Di luar pintu, aku menggigit bibirku dengan kuat, sampai samar-samar terasa rasa darah di mulutku.Selama ini, aku sudah setulus itu merawatnya dan melakukan semua hal demi kebaikannya. Namun ternyata, di mata Rafli, semua itu tidak berarti apa-apa.Sahabatku yang melihat mataku sudah memerah, menggenggam tanganku erat.Saat dia hendak mendorong pintu dan masuk, aku langsung menahannya. Pada titik ini, aku bahkan tidak ingin lagi melihat wajah Rafli. Aku menarik sahabatku pergi, bersiap untuk meninggalkan tempat itu.Baru berjal

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status