Saat suamiku sedang ikut acara berkemah dari kantor, asisten perempuannya tiba-tiba mengunggah sebuah postingan: "Pembagian tenda lewat undian, siapa sangka aku malah setenda dengan bosku yang tampan!" Dalam foto itu, dia sedang berswafoto menghadap kamera, sementara di belakangnya ada seorang pria yang sedang melepas bajunya— dan itu adalah suamiku. Ada yang berkomentar: "Hati-hati ya, cowok dan cewek berduaan di satu tenda, bisa berbahaya ...." Asisten itu langsung membalas dengan emoji tertawa jahil sambil menulis: "Memang aku suka yang menantang." Aku sempat memberikan 'like', tetapi tidak lama kemudian, postingan itu dihapus. Tak lama, suamiku menelepon lewat panggilan video. Di depan asisten perempuan yang sedang menangis dan beberapa rekan kerja lainnya, dia langsung marah padaku: "Kamu kok suka lebay sih? Ini 'kan cuma permainan sederhana, nggak bisa santai saja?" Melihat dia memeluk asisten itu sambil menenangkannya dengan lembut, aku pun menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Ini sudah tahun ke-10 aku mencintai Kemal Sentanu. Namun, saat ini juga, aku memutuskan untuk melepaskannya.
View MoreThe grand chandelier cast a golden glow over the expansive ballroom, its glittering light reflecting off the rows of expensive champagne glasses clutched in manicured hands. The air smelled of wealth—French perfumes, aged whiskey, and the unmistakable arrogance of high society. Conversations buzzed through the hall, a mixture of hushed whispers and boisterous laughter, each exchange laced with hidden agendas and veiled mockery.
Natalie Evans stood near the edge of the room, a glass of untouched champagne in her hand. Her posture was straight, her lips curved into a practiced smile—neither too warm nor too cold. She had perfected this expression over the years, a mask carefully crafted for moments like this. It was easier that way—to pretend, to smile, to act like she belonged in this ruthless world of power and wealth.
To the world, she was Mrs. Sinclair, the wife of Adrian Sinclair, CEO of Sinclair Enterprises. But in reality, she was nothing more than a ghost in his world—a convenient accessory for appearances and nothing more.
Across the ballroom, laughter erupted. She turned her gaze toward the source of the noise, and her heart clenched in a way she despised.
Adrian stood in the center of a small group, his tall frame impossible to miss. His black suit was perfectly tailored, his sharp jawline tense as he smirked at something the woman beside him had whispered.
The woman—Madeline.
It was always Madeline.
With sleek brunette hair that framed her delicate features, Madeline clung to Adrian’s arm as if she had every right to. Her manicured nails trailed over his sleeve, her red lips curved into a flirtatious smile as she whispered in his ear.
Natalie had seen this play out so many times before that she no longer flinched. No longer gasped in horror or excused herself from the room to hide the sting of humiliation. No, she merely lifted her champagne glass to her lips and took a slow, deliberate sip.
The liquid was crisp against her tongue, but it did nothing to dull the bitterness that swirled inside her. She had become immune to the pain, her heart nothing more than a withered, unfeeling organ encased in ice. She had once loved Adrian, once worshipped the ground he walked on. But love meant nothing when the person you cherished saw you as nothing more than an obligation.
She clenched the glass tighter, feeling the cold stem press against her fingers. She remembered the first time she had met Adrian, how his gaze had smoldered with intensity, how he had made her believe in fairytales. He had whispered sweet nothings in her ear, spun dreams around her like a silken cocoon, only to unravel them thread by thread.
Now, she was nothing more than a piece of furniture in his life—unseen, unheard, unnecessary.
“Mrs. Sinclair,” a voice drawled beside her.
She turned her head slightly, meeting the amused gaze of Victor Langley, a well-known investment mogul. He was in his late forties, with graying temples and sharp eyes that missed nothing.
“What a picture of elegance you make,” he continued, swirling the whiskey in his glass. “Watching your husband flaunt another woman in public, yet standing here as if it doesn’t concern you. A woman of rare patience, indeed.”
Natalie didn’t rise to the bait. She had grown accustomed to the whispered mockery, the backhanded compliments, and the pitying glances disguised as admiration.
She tilted her head, her expression neutral. “Patience is a virtue, Mr. Langley.”
He chuckled. “Or a curse, depending on how you look at it.”
She turned away from him, unwilling to waste another moment on idle conversation. Her gaze drifted back to Adrian, but he still hadn’t looked in her direction all night. Not once. It was as if she were invisible to him, a mere shadow standing in the background of his life.
It hadn’t always been like this.
There was a time—years ago—when she had been the center of his world. When his gaze had burned for her, when his touch had felt like fire against her skin. When he had whispered promises of forever in the stillness of the night.
But that time was long gone.
Now, all that remained was a brittle, hollow shell of a marriage that had become nothing more than a contract neither of them had cared to break.
Until now.
Natalie set her glass down on the marble table beside her. The decision had been made long ago, but standing here now, watching him with her, something inside her settled.
She was done.
For years, she had endured the cold indifference, the public humiliation, the whispered gossip behind her back. She had played the role of the dutiful wife, pretending not to care, pretending she wasn’t breaking a little more each day.
But pretending had never changed anything.
She walked out of the ballroom with measured steps, the train of her dress sweeping the marble floor as she left behind the whispers, the stares, the lies. As she stepped into the corridor, the quiet solitude was a stark contrast to the glittering nightmare inside.
A deep breath filled her lungs.
She would no longer be Natalie Sinclair—the discarded wife, the woman pitied by the masses. She would reclaim herself, piece by piece.
Tomorrow, she would file for divorce.
She would take back her dignity, her freedom, her life.
It was time to leave Adrian Sinclair behind.
Forever.
Aku tidak peduli lagi dengan urusan Kemal.Aku mengganti jadwal penerbanganku dan tetap pergi ke luar negeri.Hari ketiga di Jerman, aku menjalani operasi.Operasinya berjalan lancar. Asalkan aku berusaha untuk sehat, aku akan segera bisa berjalan seperti orang normal lagi.Mungkin dalam waktu dekat, aku bisa mulai mendaki dan berkemah lagi.Sementara itu, peristiwa di bandara itu ramai dibicarakan di dalam negeri.Bagi perusahaan Kemal, ini menjadi pukulan besar lagi.Tindakannya yang dengan sengaja melukai orang di tempat umum memiliki bukti kuat, dan Yessy mengancam akan menuntutnya sampai hancur jika tidak diberi kompensasi.Namun, enam miliar, Kemal benar-benar tidak bisa menyediakannya.Jadi, dia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dia akan berakhir di penjara.Katanya, dia sudah berkali-kali meminta kepada Sandy, memaksa ingin bertemu denganku.Namun, setiap kali, yang dia dapatkan hanyalah makian pedas dari Sandy.Dia dimaki karena memang pantas mendapatkan itu semua.Dia ju
Yessy memegang wajahnya, memandang Kemal dengan ekspresi tidak percaya.Tiba-tiba, sebuah kabar mengejutkan terungkap."Kemal, di saat seperti ini, kamu masih juga melindungi wanita ini!""Lalu, bagaimana dengan anak yang ada di perutku ini? Apa kamu nggak peduli lagi?"Mendengar perkataan Yessy, mata Kemal terbelalak, wajahnya bingung.Dia segera menggelengkan kepala dan membantah."Nggak mungkin, sama sekali nggak mungkin!"Kemal menoleh ke arahku, matanya penuh dengan kesungguhan."Nissa, aku nggak melakukan itu!"Mendengar penjelasannya yang lemah dan tidak meyakinkan, aku sama sekali tidak terpengaruh.Bahkan aku hampir ingin mengucapkan selamat.Terikat dengan orang seperti Yessy, itu bisa dianggap sebagai hukuman bagi Kemal.Melihat Kemal seperti tidak percaya, Yessy buru-buru mengeluarkan hasil tes kehamilan dari tasnya dan melemparkannya ke depan Kemal."Kemal, buka matamu dan lihat dengan jelas!""Kamu pilih wanita cacat itu, atau kami berdua, ibu dan anak ini!"Dengan tekana
Melihat aku muncul, dia segera berlari mendekat dan menarik pergelangan tanganku, mengajakku bicara."Nissa, masalah antara kita belum selesai. Mana bisa kamu pergi begitu saja? Kamu nggak bisa begini padaku!""Perusahaan ini adalah hasil kerja keras kita berdua. Apa kamu tega melihatnya hancur begitu saja?"Kemal terlihat sangat lelah, sampai urat-urat di matanya terlihat jelas.Sudah pasti, dia tidak cukup istirahat belakangan ini.Aku menatapnya, dan berkata sambil tersenyum sinis."Ternyata kamu sadar juga kalau kamu nggak bisa hidup tanpa aku, ya? Tapi bukankah kamu selalu meremehkan aku dan ingin menggantiku?""Kenapa? Asisten kecilmu nggak bisa membantumu?""Oh ya, aku ingatkan, sekarang kita sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku juga nggak punya niat untuk menyelamatkan orang yang nggak ada hubungannya denganku."Kemal memandangku dengan tatapan sangat putus asa.Aku melepaskan tangannya dan berbalik pergi.Namun, Kemal mengejar dan memelukku, tidak mau menyerah."Nissa, a
Beberapa hari kemudian, aku menghubungi seorang ahli tulang terkenal di luar negeri, dan aku berencana pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan.Di saat aku baru saja cedera, sebenarnya itulah peluang terbaik untuk menjalani pengobatan.Namun, inilah yang dikatakan Kemal."Nissa, apa pun yang terjadi padamu, cintaku padamu nggak akan berubah."Namun seiring waktu berjalan, dia mulai muak dengan pembicaraan orang-orang di sekitarku."Istri Kemal itu cacat kaki."Kalimat ini menjadi duri yang menancap dalam di hati Kemal.Ketika aku kembali mengajukan untuk pergi ke luar negeri untuk pengobatan, tiba-tiba dia marah besar."Nissa, aku sudah bilang apa pun yang terjadi padamu, aku akan tetap mencintaimu. Jadi, kenapa kamu harus menghabiskan uang untuk hal yang nggak perlu?""Dan, bisakah kamu nggak egois? Kalau kamu pergi ke luar negeri, siapa yang akan merawatku?"Saat itulah aku baru menyadari, bahwa janji seorang pria adalah hal yang paling tidak bisa diprediksi.Berita tentang a
Selama aku dirawat di rumah sakit, Kemal menunjukkan perhatian dan perawatan yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Namun, aku sangat tahu, semua itu hanya usaha sia-sia yang tidak akan mengubah apa-apa.Dia melihat reaksiku yang dingin, lalu mulai mengingatkan kembali masa lalu kami.Meski begitu, apa pun yang dia katakan, aku hanya diam.Semua hal yang ingin aku katakan, sudah lama hilang dalam lima tahun pernikahan ini.Pada hari aku keluar dari rumah sakit, pengacara mengetuk pintu kamar rawat.Dia menyerahkan surat perjanjian perceraian yang telah disiapkan.Begitu Kemal menerimanya, wajahnya langsung berubah, dan dia berteriak marah pada pengacara itu."Keluar! Aku nggak butuh kamu di sini!"Tak lama kemudian, hanya tinggal kami berdua di kamar itu.Aku lihat dia sama sekali tidak berniat menandatangani, lalu aku berkata dengan dingin."Kemal, kamu yang pertama kali mengajukan perceraian. Kamu juga yang berteriak di kamar rumah sakit akan melepaskanku. Sekarang perjanjian pe
Kemal masuk dengan marah, matanya melirik ke sekeliling ruang rawat, kemudian dia tertawa sinis."Nissa, kamu benar-benar sudah berani! Bahkan sampai mengumpulkan banyak orang untuk membohongiku!""Katanya mau cerai! Kenapa sekarang malah mencariku! Aku kasih tahu ya, kata-kata yang sudah diucapkan oleh Kemal itu nggak bisa dicabut! Kalau sekarang kamu menyesal, nggak ada lagi kesempatan!"Setelah itu, dia belum merasa puas, langsung mengambil air di atas meja dan menyiramkannya ke wajahku.Ayah Kemal langsung berteriak untuk menghentikan."Berhenti! Nissa, dia ...."Namun, sebelum ayahnya selesai berbicara, Kemal dengan sinis memotong."Ayah, jangan pura-pura lagi! Kalau dia sudah nggak tahu berterima kasih dan ingin cerai, aku akan mengabulkannya!"Namun, sesaat kemudian, aku tiba-tiba mulai batuk hebat.Air itu mengalir melalui saluran pernapasan dan masuk ke hidungku, membuatku tercekik dan tidak bisa bernapas.Batukku makin keras, tabung pernapasan transparan itu juga mulai dipenu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments