Share

Tak Seindah Malam Pertama
Tak Seindah Malam Pertama
Author: Yulia Cahya

Bab I Kesalahan di Masa Lalu

Bab I

Tak Seindah Malam Pertama

(Kesalahan di Masa Lalu)

"Apa, kabar, May?" Akhirnya Danu bertemu Maya. Binar matanya tak dapat menutupi betapa ia merasa begitu bahagia, pun dengan gerak tubuhnya, tampak begitu merindu.

Maya terdiam, tak pernah menyangka akan bertemu Danu lagi hari ini. Suasana hatinya yang semula bahagia, mendadak sendu saat ia menyadari bahwa Danu masih sama seperti dulu, penuh cinta.

Tak mendapat jawaban dari Maya, Danu kembali berucap. "Aku rindu kamu, May, maafkan aku selama ini tak pernah berkirim kabar."

Maya masih diam. Tetiba hatinya merasa kecewa juga marah dalam waktu bersamaan. "Kenapa baru sekarang? Buat apa? Kemana kamu selama ini, Mas?!" batin Maya berkata.

Masih teringat jelas di benak Maya, bagaimana sulitnya ia menjelaskan pada ibunya tentang bayi yang ada di perutnya. Masih terasa sakitnya, saat ia harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia cinta, hanya untuk menutupi aib. Beruntung masih ada laki-laki yang mau menikahinya.

"May, tolong bicaralah! Aku ingin mendengar suaramu, May … tidakkah kamu merindukan aku?" Danu kembali berucap, suaranya mulai bergetar. Dia menyadari ada sesuatu yang salah, tapi entah apa.

Maya diam seribu bahasa. Matanya memerah, menahan air mata. "Bahkan kamu pergi sebelum aku memberitahumu tentang anak kita, Mas." Rintih Maya dalam hati.

"May …."

"Aku sudah menikah, Mas. Pergilah!" Akhirnya Maya berhasil mengucapkan kalimat itu, kalimat yang sejujurnya sangat ia benci. Bergegas ia menutup pintu, tak mau hatinya semakin terluka melihat Danu terpuruk.

Dari dulu, Maya tak pernah bisa melihat Danu kecewa, apalagi terluka. Setelah apa yang terjadi, ternyata hatinya masih sama. Danu masih saja menempati ruang di hatinya, bahkan ketika ia telah jatuh hati dengan Ibnu, suaminya. Danu masih saja menjadi pemenang di hatinya. 

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Awalnya Maya berniat mengacuhkan ketukan pintu itu, tetapi ketika ia akan melangkahkan kaki, pintu kembali diketuk dengan lebih keras. Akhirnya dengan berat hati, ia membalikkan badan, melangkah mendekati pintu dan membukanya.

"Bukankah tadi aku sudah menyuruhmu pulang, Mas?!" Maya kaget, karena ternyata bukan Danu, melainkan Ibnu, suaminya.

"Ya … ini Mas pulang, Dek? Kenapa? Kok sepertinya kaget liat Mas pulang?" Ibnu bertanya sembari menyerahkan tasnya kepada Maya.

Sejenak Maya limbung, bingung harus menjawab apa. Tetapi semenit kemudian, ia bisa menguasai diri. 

"Nggak, Mas … maksudku, kenapa Mas sudah pulang?" Sambil menerima tas Ibnu, Maya tersenyum manis. Senyum yang selalu bisa membuat Ibnu jatuh cinta padanya. Sayangnya Maya tak merasakan hal yang sama.

"Hari ini apa kabar hatimu, Dek?" Selalu pertanyaan itu yang Ibnu lontarkan ke Maya. Seakan mewakili kegundahan hatinya. Bukan tidak tau, Ibnu tau bahwa sampai hari ini Maya masih mencintai Danu. Tapi siapalah Ibnu, ia sadar bahwa ia belum bisa membahagiakan Maya, bahkan sampai detik ini, Ibnu belum mampu memberikan nafkah batin pada Maya.

Dua tahun sudah mereka resmi menjadi suami istri, tapi keduanya belum pernah melakukan aktifitas ranjang. Penyebabnya adalah kesalahan Maya di masa lalu. Ibnu masih saja enggan. Bukan karena tak cinta, Ibnu sangat mencintai Maya. Tapi ego lelakinya yang masih belum bisa ia kalahkan. Setiap kali mengingat Maya pernah disentuh laki-laki lain, hasrat Ibnu yang semula berkobar tiba-tiba raib. Sedang Maya, ia tak pernah mempermasalahkan hal itu, karena meski ia mulai jatuh hati pada Ibnu, tapi Danu masih menjadi yang utama di hatinya. Ketidakmampuan Ibnu justru menjadi penyelamat baginya.

Maya dan Ibnu berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Tangan kiri Ibnu memegang bahu kiri Maya, sementara tangan kanannya memegang tangan Maya sambil meminta kembali tasnya. “Biarkan mas yang bawa tasnya, Dek. Ini berat, karena mas bawa dua laptop, kebetulan tadi laptop mas habis baterainya, jadi mas pinjam laptopnya Dini, sekretaris mas, untuk meeting di Rumah Makan Kaliwatu bersama klien mas dari Semarang.”

Ibnu selalu seperti itu memperlakukan Maya, penuh perhatian, menjaganya, tidak rela jika Maya kecapekan apalagi kesakitan. 

“Mas, mandi dulu gih, biar segar!” Akhirnya sampailah Ibnu dan Maya di ruang keluarga.

“Mau aku siapin makan malamnya sekarang atau nanti, Mas?” Tanya Maya pada Ibnu.

“Sekarang aja, Dek. Mas dah lapar sangat. Tadi sengaja nggak makan, hanya minum coklat panas saja, karena mas pingin makan malam bareng kamu, Dek.” Jawab Ibnu sambil tangannya menyisir rambut Maya, menyelipkan beberapa helai rambut Maya yang terlihat berantakan ke belakang telinga.

Satu jam kemudian, Ibnu telah keluar dari kamar. Ia mengenakan celana warna hitam selutut dan kaos berwarna abu muda tanpa kerah. Kulit Ibnu yang berwarna sawo matang tampak bersih menggunakan baju warna itu. Model baju yang simpel dengan bahan kaos yang jatuh dan menempel di badan, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh. Menunjukkan bahwa pemiliknya rajin berolahraga. Selain itu, Ibnu menggunakan parfum maskulin yang wanginya elegan. Ibnu memang paling pandai memilih wangi parfum, bahkan Maya kalah wangi dibandingkan ia.

Maya yang sedang menonton TV menoleh ke arah Ibnu saat ia mencium aroma maskulin. “Wangi banget, Mas?” Tanya Maya sambil tersenyum ke arah Ibnu.

“Iya dong, kan mau ketemu istri tercinta.” Kelakar Ibnu sambil mendudukkan bokongnya di sofa sebelah Maya. Tangannya memeluk pinggang ramping Maya.

Maya tersenyum, “Makasih Ya, Mas… sudah sedemikian menyayangiku, padahal aku ini hanyalah perempuan ….”

Mata Maya berembun, rasa bersalah kembali menelusup di hatinya. Kalimatnya terputus karena Ibnu memotong ucapannya. “Dek, bukankah tidak ada manusia yang sempurna? Buat mas, masa lalumu bukanlah hal yang penting, tidak perlu diingat, lupakan! Yang penting adalah masa depan kita, keluarga kita.”

“Apa benar seperti itu yang kamu rasakan, Mas? Kalau memang iya, kenapa sampai saat ini, Mas belum juga menyentuhku? Jijikkah kamu, Mas?!” Batin Maya meronta, tetapi ia tak berani mengutarakan isi hatinya ke Ibnu. Maya tidak memiliki keberanian, ia takut jika apa yang ia duga adalah kenyataan yang Ibnu rasakan saat ini. Lagipula, ia pun tidak bisa membohongi hatinya, bahwa sampai detik ini masih sangat mencintai Danu. Ia ragu, bisakah ia melakukan kewajiban sebagai seorang istri jika saja Ibnu memintanya.

Wajah Maya tampak muram. Ia bingung dengan perasaannya. Satu sisi, ia merasa terselamatkan dengan sikap Ibnu yang sampai saat ini belum mau menyentuhnya, tetapi disisi lain, sebagai wanita, ia merasa belum pantas menyandang status istri karena belum menunaikan kewajibannya. Maya menangis dalam pelukan Ibnu.

“Maafkan aku, Mas … Maafkan, aku! Andai waktu dapat kuulang,” tangis Maya dalam hati. Ia tak pernah berhenti menyalahkan diri sendiri.

Ibnu menyadari apa yang dirasakan Maya. Dua tahun bukanlah waktu sebentar, ia tahu selama ini sudah memperlakukan Maya tidak adil dengan tidak memberikan nafkah batin. Tapi, bukankah selama ini Maya pun tidak pernah menyatakan protes keberatan. Bagi Ibnu, itu merupakan pertanda bahwa sampai detik ini Maya belum bisa mencintainya dan Ibnu tidak mau memaksakan kehendaknya pada Maya.

Tapi malam ini berbeda. Maya tampak begitu cantik dalam balutan piyama berwarna merah maroon. Kulitnya tampak putih berseri, juga terasa begitu lembut saat ia sentuh. Hal ini membuat Ibnu merasakan gelenyar aneh dalam dada. Pelan tapi pasti, sesuatu yang lama tertidur dalam dirinya bangkit, dahaga sebagai laki-laki yang selama ini ia tahan menuntut untuk dipenuhi.

Sedang Maya, ia sadar bahwa Ibnu menginginkannya. Hatinya berkecamuk. Ragu. Haruskah ia menyambut Ibnu. Tapi menolak juga bukan keputusan yang tepat. Sebagai suami, kemana lagi Ibnu melabuhkan dahaganya jika bukan pada Maya. Maya berpikir bahwa mungkin inilah saatnya. Perlahan tubuhnya mulai merespon, Ibnu berhasil membawanya melayang.

Maya dan Ibnu tampak seperti sepasang burung yang sedang dimadu cinta, keduanya berusaha saling membahagiakan. Tapi tak berselang lama, saat hasrat mereka hampir mencapai puncak. Tiba-tiba Ibnu kembali terbayang kesalahan Maya. Bayangan Maya sedang bercumbu dengan laki-laki lain muncul di benaknya. Dahaganya yang hampir purna berganti dengan kemarahan, egonya sebagai laki-laki berontak, Ibnu kalap, ia mendorong tubuh Maya dengan kasar hingga Maya terjatuh, beruntung ada sofa di belakangnya.

Badannya terselamatkan, tapi tidak dengan hatinya. Air mata Maya menetes. Suara isak tangis tak dapat lagi ia sembunyikan, ia merasa seperti perempuan paling hina, hingga suaminya pun enggan untuk menyentuhnya.

“Apa aku semenjijikkan itu, Mas?” Akhirnya Maya berani melontarkan pertanyaan itu ke Ibnu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status