Share

Tak Semanis Madu
Tak Semanis Madu
Author: Novita Sadewa

Bab 1. Kenyataan Pahit

Bab 1

Kenyataan Pahit

"Bell, aku akan menikahi Tari," kata Abi, laki-laki yang mengucap ikrar di depan Papa dan penghulu, sebuah janji suci yang bernama pernikahan satu bulan yang lalu, begitu mantap dia ber-ijab, begitu juga hari ini, begitu mantap dan begitu mudahnya dia berkata akan menikah lagi.

Aku berdiri di depan jendela dan dia di depan pintu. Begitu lantangnya ia mengucapkan sebuah kalimat yang membuat hatiku luluh lantah.

Aku tak menjawab, hanya melirik, dan kembali pada pandanganku ke luar jendela. Rasanya lebih baik melihat hamparan rumput hias yang bergoyang oleh terpaan angin sore dari pada harus memandang wajah itu, wajah rupawan dan bersahaja saat pertama kali aku melihatnya. Namun, mampu menorehkan luka yang amat sangat dalam.

"Aku akan tetap menikahinya walau kamu tidak setuju. Kamu tau, kan? Aku sangat mencintai Tari?" sambungnya.

Kusunggingkan senyumku, senyum yang menyimpan sejuta tangis, sesak, sakit, dan kecewa.

"Kalau kamu tidak membutuhkan ijinku, kenapa mengatakannya padaku?" tanyaku singkat.

"Karena kalian akan tinggal satu atap, bersama," jawabnya lagi, tanpa ada sedikitpun rasa belas kasihan padaku.

Pernikahan kami memanglah tidak berdasarkan cinta, melainkan perjodohan. Papa, yang merupakan seorang dosen fakultas ekonomi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Memaksaku untuk menerima perjodohan ini dihembusan napas terakhirnya.

Papa meninggal akibat kecelakaan. Sebelumnya, aku tinggal di Surabaya bersama Mama. Baru beberapa bulan setelah meninggalnya Mama di Surabaya, Papa memboyongku ke Jakarta, tepatnya setelah aku lulus Sarjana Sastra Inggris di Surabaya. Ya, aku dan Mama tinggal di Surabaya sedangkan Papa selalu pulang ke Surabaya setiap weekend, kecuali jika Papa ada urusan penting.

Nasib membawaku pada seorang pria berparas menawan yang bernama, Abimana Atmajaya. Aku tak tahu, apa yang sudah dilakukan Papa, sehingga dia dengan mudah meng-iyakan keinginan Papa untuk menikahiku dan menjagaku.

Abimana, pria jangkung berumur 28 tahun dan berparas rupawan, saat ini adalah suamiku yang sah, baik secara hukum maupun agama. Tak ada kontak fisik selama satu bulan pernikahan kami berlangsung. Kami pun tidur terpisah, Abi tidur di kamar sebelahku. Menurutku, Abi termasuk pria yang sopan, dia tak pernah menuntut haknya padaku, meski aku adalah istri sahnya. Itu adalah pemikiranku selama ini, namun, hari ini aku tahu kenapa dia tidak meminta haknya, dan jawabannya adalah karena dia mencintai Tari, kekasihnya.

"Ceraikan aku dulu, setelah itu kamu bisa menikahinya!" putusku.

"Jangan mimpi kamu, Bell. Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu!"

"Lalu, bagaimana jika aku tidak mengijinkannya?"

"Aku tidak membutuhkan ijin darimu!" jawabnya lagi yang mampu membuat hatiku serasa tersayat-sayat.

Kuhela napas panjang. Diantara kami mungkin belum ada cinta, tapi belum, belum tentu tidak akan ada bukan?

"Apa kamu lupa? Aku meninggalkan Raka karena perjodohan ini? Dan kamu dengan mudah mengatakan mencintai Tari? Pacarmu?"

"Jangan menyebut Raka di depanku!" sentaknya.

"Baiklah, Bi. Lakukan apa yang kamu mau dan jangan melarangku dengan keinginanku!"

"Oke. Tapi ingat, Bella! Tidak akan ada perceraian dan juga laki- laki lain diantara kita! Camkan itu!" ancamnya lalu meninggalkan kamarku.

"Kenapa kamu begitu egois, Bi!" teriakku.

Ia tak menghiraukan dan bahkan pergi berlalu begitu saja.

Abi, pria seperti apa yang aku nikahi, aku belum tau pasti. Dari apa yang dia miliki dan penampilannya, aku tau dia bukanlah orang sembarangan. Namun, dia begitu tertutup padaku.

Bagaikan hidup dalam sangkar, ruang gerak dibatasi pun tidak tau apa-apa. Hidup penuh tanya dan teka- teki, atas dasar apa aku dinikahi, selalu menjadi pertanyaan yang berkeliaran dalam benakku dan sampai saat ini pun tak bisa aku temukan jawabannya.

Aku bergegas ke Cafe, Cafe yang aku buka dari uang peninggalan Papa satu bulan yang lalu. Walau Abi telah memberiku sebuah kartu sakti, namun aku enggan menggunakannya. Aku akan lebih senang jika bisa menghidupi diriku sendiri. Lagi pula kenapa harus menerima uang dari orang yang terpaksa menikahiku?

"Pagi, Mbak Bella," sapa Lila, karyawan sekaligus teman curhat setiba aku di Cafe.

"Pagi, Lil," jawabku.

"Kenapa pagi-pagi wajah sudah ditekuk gitu? Apa Pak Abi nggak ngasih jatah semalam?" candanya.

"Lila, jaga mulut kamu!" Mendengar kata Abi aku pun murka, masih terngiang jelas di telingaku saat ia berkata akan memberikan madu untukku, betapa jahatnya dia.

Aku masuk ke dalam ruangan. Ruang kecil, namun cukup nyaman untuk meratapi nasibku selama ini.

Tok ... tok ... tok ... pintu diketuk, dengan cepat kuusap air mata yang tak sengaja jatuh mengingat perkataan Abi.

"Bella ...."

"Lila ... hiks ... hiks ...." Tangisku pecah saat Lila menghampiri. Kupeluk erat sahabat sekaligus karyawanku itu, jika aku terlihat kasar tadi, Itu hanya karena aku tidak ingin karyawan yang lain tau tentang kehidupanku, kehidupan yang tak pantas untuk di publikasikan.

"Bella, kenapa?" Ia berdiri di dekat kursi, dengan aku yang masih memeluknya. Saat ini hanya Lila yang aku punya untuk berbagi.

"Abi, Abi akan menikahi Tari, Lil," jawabku di tengah isakanku

"Apa? Sekejam itukah Abi?"

"Sangat_ Lil...," ucapku terbata.

"Lalu, apa rencanamu setelah ini Bell?"

"Aku nggak tau, Lil. Dia juga enggan menceraikanku," jawabku.

"Benar-benar egois! Meskipun aku belum pernah bertemu dengan suamimu itu, aku yakin, pasti dia pria yang sangat keji."

"Kenapa nggak kamu aja yang menggugat cerai?" lanjut Lila.

"Aku? Menggugat? Surat-suratku semua di tangannya. Bahkan KTP, surat nikah, semua. Ia menyembunyikannya, Lil. Nih, aku cuma dikasih SIM doang," kataku mengeluarkan SIM dari dalam tas dan menunjukkannya pada Lila.

"Kok bisa ya? Berarti dia udah niat dari dulu dong?"

"Sementara, aku akan mengikuti apa maunya, hingga aku menemukan cara untuk berpisah dengannya. Aku bisa g*la, Lil. Hidup dengan wanita yang jelas-jelas dicintai oleh suamiku, satu atap," keluhku.

Lila mengambil napas lalu membuangnya kasar. "Ya sudahlah kalau itu keputusanmu. Sementara kamu berpikiran positif aja deh. Setidaknya dia memilih untuk menikah dari pada berzina."

"Lila ... kok gitu, sih!"

"Sudah lah, Bell, yang penting satu, jangan sampe hamil!" pesan Lila penuh penekanan, aku hanya diam sembari tersenyum dalam hati mendengar kata-kata Lila. Bagaimana bisa hamil jika Abi saja tidak pernah menyentuhku. Mudah bagiku untuk tidak hamil.

***

Pukul 7 malam aku pulang, kuparkir mobil Avanza hitam peninggalan Papa yang sekarang kupakai untuk pulang pergi ke Cafe di garasi.

Netraku mengarah pada pemandangan yang tak biasa kulihat sebelumnya. Mobil Mercy warna hitam milik Abi, sudah terparkir cantik di sana. Aneh, tidak biasanya dia pulang sesore ini.

Aku pun masuk melewati pintu belakang, kulihat Abi dan seseorang sedang bercanda gurau di meja makan.

"Bella," panggil Abi saat menyadari kedatanganku.

"Assalamualaikum," sapaku, netraku tak beralih dari wanita yang sekarang duduk di sebelah Abi.

"W*'alaikumsalam," jawabnya.

Abi memang dingin, tapi dia cukup beragama dan menyuruh kami untuk membiasakan salam saat masuk ke dalam rumah.

"Bell, ini Tari," ucapnya.

Deg ... seketika tubuhku lunglai tak berdaya. Dari apa yang mereka kenakan saat ini, Piyama senada. Sudah bisa dipastikan, tanpa menunggu hari berganti atau bulan berganti, hari ini, dan detik ini juga Abi membawanya ke rumah kami. Nyata, mereka sudah meresmikan hubungan mereka.

"O ...."

"Tari." Dengan langkah percaya diri dan tanpa rasa malu Tari menghampiriku, memberiku uluran tangan, dan membuatku tersadar. "Bella!" Kusambut uluran tangannya sambil tersenyum paksa. Satu kata untuk ya, cantik, itu yang kulihat. Sepertinya, dari usia juga sepantaran Abi, jauh lebih dewasa dariku yang baru menginjak 23 tahun.

"Makanlah dengan kami," ajak Tari tersenyum ramah, kenapa dia harus seramah dan sesempurna ini? Akan lebih baik jika mempunyai madu yang kejam dari pada mempunyai madu yang bersikap sok malaikat, padahal sudah jelas dia telah merebut suamiku. Dengan keramahannya itu akan membuatku semakin sulit untuk bersikap.

"Kalian saja, aku sudah makan di Cafe," tolakku.

"Bella!" sentak Abi, kulihat rahangnya mengeras. Perintahnya memang selalu tak mau dibantah.

"Ya," jawabku malas, kulalui Tari dan berjalan menuju meja makan. Jika biasanya aku duduk di sebelah kiri Abi, berbeda dengan hari ini. Hari ini aku duduk di sisi kanan sebelah Abi karena kursi sebelah kiri yang biasa kutempati sudah ditempati oleh istri barunya.

"Makanlah, aku tau kamu hanya beralasan," kata Abi dengan penuh keyakinan. Ya, tapi memang semua itu benar adanya, aku hanya beralasan untuk menghindari mereka.

Tanpa banyak bicara, kuambil piring lalu kuisi dengan nasi dan lauk yang ada di meja saat ini.

"Mas, kamu mau apa?" tanya Tari begitu mesra pada Abi. Mas, bahkan dari awal pernikahan kami, aku tak bisa memanggil Abi dengan sebutan itu meski umur kami terpaut 5 tahun.

"Apa saja," jawab Abi tersenyum manis. Jika biasanya aku dan Abi hanya makan berdua tanpa bicara dan tanpa senyuman, berbeda dengan hari ini. Wajah Abi terlihat begitu berbinar dipenuhi senyuman manis, senyum yang membuatnya semakin indah dipandang. Satu kata, tampan. Mereka memang sangat serasi secara visual.

Asri datang membawa nampan yang berisi sebuah makanan penutup. Jelas, itu adalah puding yang aku buat pagi tadi.

"Ini, dicoba desertnya, Mas." Asri menyuguhkan puding coklat pada Abi dan Tari lalu beralih padaku.

"Asri! Apa- apaan? Itu buat cafe!" bisikku saat Asri, asisten rumah tangga Abi, meletakkan puding bagianku.

"Hah? Maaf, Mbak. Asri nggak tau."

"Kenapa, Bell?" tanya Abi padaku.

"Oh, nggak papa, Bi. Makan!" kataku menyendok puding ke mulut.

"Kok panggil suami sama nama, sih, Bell?" tanya Tari yang membuat tanganku terhenti. Aku tak tahu, apa dia sedang menyindir atau sedang berusaha menjatuhkan aku sekarang.

"Aku ...."

"Nggak papa, Tar. Aku suka setiap Bella memanggilku dengan namaku. Terdengar lebih romantis," sela Abi.

Kubuka mataku lebar- lebar dengan sendok yang masih tertinggal di dalam mulut. Aku tak percaya dengan kata-kata Abi kali ini.

"Makan yang bener, Bell. Jangan sendok kamu makan," kata Abi mengambil sendok dari mulutku dan membuatku tersadar.

"Pudingnya enak, kamu yang buat, Asri?" tanya Tari.

"Bukan sayang, ini pasti Bella yang buat, dia pandai membuat desert. Dia juga pandai menulis, iya kan, Bell?" jawab Abi.

"Wah, ternyata kamu banyak bakat ya, Bell?" puji Tari.

"Hem, hanya satu yang tak pandai aku lakukan."

"Apa?" tanya Tari tak sabar, dia benar- benar membuatku muak dengan sikapnya yang seolah- oleh di buat manis.

"Aku gagal menjaga suamiku dari wanita sepertimu!" ucapku meninggalkan meja makan.

"Bella! Lancang kamu, Bell!" teriak Abi, aku tak menoleh dan terus berlalu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mendy Winona Tiono
mantap..gitu dong bell..jgn mau kalah..pengen banget nonjok di Abi..dgn gampangnya bw madu ke rmh dan mesra2 an..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status