Share

Bab 4. Surabaya

BAB 4

Surabaya

POV BELLA

Satu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.

Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel.

"Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku.

"Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.

Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan.

"Kak Raka, kok ada disini?"

"Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sana."

"Wah, selamat, Kak. Aku ikut senang."

"Kamu sendiri? Aku dengar sekarang kamu sudah tinggal di Jakarta."

"Iya, Kak, kebetulan nanti malam acara 100 hari mamaku, jadi aku pulang."

"Oh, maaf," Kak Raka memang orang yang paling sopan dan pintar menjaga perasaan orang lain.

Drrrt ... ponselku bergetar, panggilan masuk dari Abi. "Halo!" jawabku malas.

"Sudah sampe, Bell?"

"Iya, sudah, tidak usah menjemputku aku akan naik taksi."

"Kenapa?"

"Pulang bareng aja,Bell. Nggak usah naik taksi," sela Kak Raka.

"Sama siapa kamu, Bell?"

Kututup telepon dari Abi sebelum Abi mendengar percakapan kami lebih lanjut. Abi sangat tidak suka dengan Kak Raka.

"Nggak usah, Kak. Aku udah pesan taksi. Tuh," kataku menunjuk ke arah taksi yang memang sudah kupesan sesuai aplikasi.

"Tapi, Bell, kamu pucat. Maaf, apa kamu sakit?"

"Oh, nggak. Masuk angin aja. Karena takut ketinggalan pesawat aku nggak sempat sarapan." jawabku.

"Aku duluan ya, Kak. Dah ...." pamitku melambaikan tangan.

Kutinggalkan Kak Raka, tak seharusnya aku mengharapkannya walau jauh dari dalam lubuk hatiku masih menyimpan rasa itu. Tapi sekarang aku sudah menjadi istri Abi, terlepas dari kami yang tidak saling mencintai, tetap saja kami sudah berada dalam satu ikatan yang bernama pernikahan. Aku tak ingin menjadi seperti Abi, meski ada pepatah yang mengatakan cinta datang karena terbiasa namun, nyatanya Abi memilih untuk mendua dari pada bersabar memupuk cinta. Karena aku sadar betapa sakitnya di duakan maka aku tak akan mendua selama aku masih menjadi istri Abi.

"Kiri, Pak," Aku turun tepat di depan rumah Mama.

Kupandangi rumah yang begitu banyak menyimpan kenangan antara aku, Mama, dan Papa. Tak terasa air mataku pun jatuh.

"Bella," panggil Abi yang berlari menghampiriku, kuusap airmataku dengan cepat lalu berjalan menuju rumah.

"Bell," kata Abi mengulurkan tangannya. Terlihat Abi sedikit lusuh dengan lengan kemeja yang dilipat dan terlihat berantakan, juga sepatu yang diganti dengan sendal jepit bekas almarhum Papa. Tampak seperti sedang melakukan pekerjaan berat. Aku tak mau banyak bertanya, perutku sudah mulai mual. Kutepis tangan Abi dan aku berlalu.

"Bella!" kata Abi mengikutiku.

Setelah masuk rumah aku pun menghentikan langkahku sejenak.

"Bell, kamu lupa kewajibanmu?!" protesnya.

Kuraih tangan Abi dan kukecup punggung tangannya. "Udah, jangan di luar, nggak enak sama tetangga."

"Kenapa?"

"Kamu tanya saja pada dirimu sendiri. Pernahkah kamu memperkenalkan bahwa aku adalah istrimu?" ucapku, itulah kenyataannya. Aku dan Abi tak seperti suami istri pada umumnya, pernah sekali aku bertemu dengannya di sebuah pusat perbelanjaan, saat aku hendak menyapanya, dia justru menghindariku. Setelahnya aku cukup tahu diri dan tidak menyapanya lagi jika kami saling berpapasan. Abimana, aku tak pernah tahu dan tak ingin lagi tahu, siapa dan apa pun tentangnya sekarang, sakit hatiku sudah terlalu dalam.

"Aku tidak bermaksud seperti itu, Bell, aku hanya tak ingin kamu dalam masalah jika mereka tau kamu adalah istriku," jelasnya.

"Ya, terserah lah, Bi." Kutinggalkan Abi, aku tak mau berdebat lagi.

Kupandangi sekeliling ruangan yang terlihat begitu bersih dan rapi, bukan seperti rumah yang sudah lama aku tinggalkan."Apa Abi? Melakukannya sendiri?" gumamku.

Netraku pun tertuju pada foto yang berjejer di dinding ruang keluarga, foto yang menyimpan begitu banyak kenangan. Foto Mama dan Papa, membuatku semakin teringat akan hari-hari indah yang aku lalui bersama dulu.

"Papa, Mama, aku merindukan kalian," lirihku, kuusap airmata kesendirian.

"Bell, udah ya, nggak usah nangis. Aku ada di sini," kata Abi yang tiba-tiba berdiri di sampingku dan ikut memandang foto-foto keluargaku.

"Aku merindukan mereka, Bi."

"Mereka, papa sama mama kamu sudah bersama-sama, Bell."

"Tapi aku sendiri, Bi," lirihku.

POV ABI

Deg ....

Kata-kata Bella sukses membuatku merasa sebagai suami yang gagal, aku sudah sangat mengecewakan Bella.

Kutarik tangan Bella dan kubawa dia dalam dekapanku. "Bella, jangan berkata seperti itu. Maaf ...."

Bella tak menjawab tak ada suara sedikitpun keluar, tapi aku tahu benar dia sedang sekuat tenaga menahan airmatanya. Airmata yang mampu ia tumpahkan di depan Asri nyatanya tak mampu ia tumpahkan di hadapanku

Sebegitu tidak nyamankah ia bersamaku? Melihat matanya yang sembab subuh tadi sudah cukup membuatku merasa bersalah, sekarang aku harus kembali melihat kesedihan itu, dan aku tak mampu membantu menguranginya.

Bella mengurai pelukanku, seolah tak mau aku menyentuhnya. "Aku ke kamar,"Pamitnya.

"Bella, kamu terlihat pucat, apa kamu sehat?"

"Sehat," jawabnya singkat.

"Aku ada urusan sebentar, Bell. Kerjaan, istirahatlah. Aku akan pulang sebelum Maghrib, akan aku kirim orang untuk membantumu bersiap-siap."

Dia mengangguk pelan. Lalu meninggalkanku. "Kuncilah pintu sebelum pergi." Hanya itu yang di katakan.

Aku pun bergegas, tujuanku kemari adalah untuk meninjau proyek baru.

Kubuka pintu lalu menguncinya seperti apa pesan Bella.

"Permisi, Pak," sapa seorang laki-laki muda padaku saat aku berbalik setelah mengunci pintu.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.

"Bella nya ada, Pak?"

"Pak?" Batinku bertanya setua itukan aku?

"Ehem, kamu siapa?"

"Saya Raka, temannya Bella."

Degh ... bak dihantam bongkahan batu tepat di kepalaku saat aku mendengar namanya, walaupun aku belum pernah bertemu Raka, tapi aku tau benar Raka adalah laki-laki yang pernah ada di hati Bella, bukan pernah, tapi mungkin sekarang masih ada di hati Bella.

"Bella sedang istirahat, ada perlu apa?" tanyaku sinis.

"Ini Pak, mau mengembalikan barang Bella, tadi terjatuh di bandara," kata Raka memberikan jepit rambut, kecil, dan tak berarti. Pikiranku mulai curiga, Raka sengaja memakai jepit rambut ini sebagai alasan agar dapat bertemu dengan Bella.

Lagi-lagi aku harus merasakan senam jantung saat aku ingat kembali apa yang terjadi di bandara, rupanya suara laki-laki yang aku dengar tadi adalah Raka, apa mungkin Bella dan Raka sengaja bertemu di belakangku?

"Pak, Bapak siapanya Bella ya?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Saya su ...."

"Mas Abi!" seru Tari yang terlihat turun dari taksi saat aku hendak memperkenalkan diri membuatku kaget.

"Tari? Kenapa Tari bisa kesini? Aduh, pake lupa lagi ngasih tau Tari untuk tetap tinggal di Jakarta." gumamku.

"Tari, ngapain kamu kesini?" tanyaku setelah Tari mendekat.

"Aku kangen sama kamu, Mas," katanya manja seraya memelukku, membuatku tak nyaman karena saat ini Raka menatapku tak biasa.

Kuurai pelukan Tari. "Kamu masuk dulu aja ya, Tar," kataku.

"Pak, gimana? Saya bisa ketemu Bella? Tadi Bella masuk angin, katanya belum makan. Ini saya bawakan makanan kesukaannya dan teh hangat. Saya pikir di rumah nggak ada orang tadi," jelasnya seraya menunjukkan sebuah kotak dan cup minuman yang ada di tangannya.

Kembali, aku serasa menjadi seorang suami yang tidak berguna, bahkan dia sakit pun tidak berkata apa-apa padaku tapi malah mengatakannya pada Raka.

"Bella sedang istirahat, dia tidak bisa diganggu," tegasku.

"Kalau gitu ini saya titip untuk Bella," katanya memberikan kotak nasi dan minuman itu padaku.

"Terimakasih, Permisi, dan ini jepitnya juga. Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam."

Kubuka isi kotak makan dan kuambil gambarnya lalu ku buang ke tempat sampah.

"Loh, Mas, kenapa dibuang?" tanya Tari, aku tak menjawab.

Kuhubungi segera Meta yang saat ini juga berada di Surabaya dan menginap di hotel.

"Halo, Pak," jawabnya dari seberang telepon.

"Meta, kamu sudah terima gambar dari saya?"

"Iya, Pak. Maksudnya apa, ya?"

"Meta, saya mau, kamu pesen makanan, cari yang sama dengan gambar. Kalau bisa tempatnya juga sama, secepatnya! Kirim ke rumah Bella. Nggak pake lama ya, Met!" Perintahku.

"Oh, siap, Pak."

"Satu lagi, kamu ke proyek sendiri aja. Saya nggak ikut hari ini. Kamu aja, Bella sedang sakit soalnya."

"Oh, Mbak Bella sakit? Apa perlu kirim dokter sekalian, Pak?"

"Nggak usah, saya bisa sendiri."

"Maksudnya bisa apa?"

"Ya bisa ngerawat istri saya lah, Meta!"

"Udah, nanti saya hubungi lagi, jangan lupa pesenan saya!" tutupku.

Kulihat Tari terperangah di sampingku. Aku tak sadar dengan keberadaan Tari, mungkin dia tidak suka atau terkejut dengan sikapku pada Bella. Sepertinya, emosiku pada Raka membuatku tak memikirkan perasaan Tari, tapi ya sudah lah, aku rasa dia juga harus mengerti bahwa Bella adalah istriku juga.

"Tunggu, Mas" cegah tari mencekal tanganku saat aku hendak masuk ke dalam rumah.

"Iya, kenapa, Tar?"

"Kamu cinta sama Bella?"

Kulipat dahiku mendengar pertanyaan dari Tari.

"Ini bukan masalah cinta atau nggak Tar, masuklah, tidak baik berdebat di sini. Ini bukan tempat kita." Kuajak Tari masuk saat kulihat beberapa tetangga melihat ke arah kami lalu kutup pintu agar tidak ada yang mendengar perbincangan kami.

"Katakan, Mas. Jawab pertanyaanku!" ucap Tari cemberut.

"Pelankan suaramu, Tar. Kamu tau, kan? Aku tidak suka pertengkaran?" lembutku.

"Jawab, Mas!"

Kuambil napas panjang lalu ku buang perlahan. "Tari, kamu tau kan, Bella juga istriku, aku hanya berusaha untuk adil. Asal kamu tau, Tar, bahkan aku belum memberikan nafkah yang sempurna untuknya. Nafkah yang sudah kuberikan terlebih dahulu padamu meski Bella istri pertamaku. Bella nggak ngeluh meski aku yakin dia tau. Kamu ngerti, kan? Apa maksudku?"

"Belum? Apa itu berarti kamu berniat untuk memberikanya? Apa kamu juga akan memberikan hatimu padanya, Mas? Ingat, Hati itu milikku, tidak ada yang bisa merampasnya dariku," ucapnya penuh penekanan, Tari memang lebih manja dibandingkan Bella. Keluarga Tari yang juga dari kalangan atas membuat Tari selalu ingin dimanja dan menjadi nomer satu.

"Tari, aku tidak bisa berjanji."

"Mas!"

"Tapi aku akan berusaha. Istirahatlah, aku harus membicarakan sesuatu dengan Bella," tutupku, berdebat dengan Tari tidak akan ada habisnya karena dia selalu ingin diutamakan dan menang. Dulu sikapnya yang manjalah yang membuatku suka karena sebagai laki-laki aku merasa dibutuhkan. Namun, lama-lam jadi berlebihan.

"Apa kamu akan membicarakan tentang laki-laki yang tadi? Kamu cemburu?"

"Tari! Sejak kapan kamu jadi senang menuduh?"

"Sejak aku mulai merasa kehilangan kamu, Mas."

"Tari! Masuklah sebelum aku kehilangan kesabaran!" sentakku seraya menunjuk ke kamar yang berada di sebelah kamar Bella.

Ia terlihat kesal dan masuk ke kamar yang aku tunjukkan.

"Astaga, nggak mudah ternyata punya dua istri," gerutuku.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mendy Winona Tiono
makanya lepas aja Bella..dia berhak bahagia..emang enak hidup seatap sama madu..coba kalau dibalik..sanggup ga jg.br jg Raka dtg kasih makanan aja udah marah
goodnovel comment avatar
Cuco Caci
cciihhh ... lagian siapa suruh punya 2 istri, yg 1 aja ngurusnya blm bener udah pengen 2 makan nya jadi cowo jangan Maruk udah tau mau bls Budi BKN NY di bls malah di sakitin cowo yg kaya gini yg bisa negerubah sikap seorang istri yang tdi nya baik dll bisa menjadi diam & menjadi dingin...... ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status