Share

Bab 5. Tetangga Julid.

BAB 5

TETANGGA JULID

POV BELLA

Aku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.

Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.

Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku.

"Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.

Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah.

"Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku.

"Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku.

"Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung.

"Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.

Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit.

"Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan teh pahit itu.

"Apa aku tidak meninggalkan gula saat aku pergi ke Jakarta?" gumamku.

"Kamu buat tehnya sendiri, Bi?" tanyaku.

"Iya, kenapa?"

"Apa gula habis?"

"Ya ampun, aku lupa kasih gula, Bell. Sini biar aku kasih. Makanlah dulu," ucap Abi mengambil gelas dari tanganku.

"Nggak usah, Bi, aku bisa sendiri, dan aku akan makan setelah sholat dhuhur," tolakku.

Aku berdiri dan bergegas menuju dapur, berada dalam satu ruangan dengan Abi membuat jantungku sedikit kurang sehat, berdebar, dan berdegup kencang. Mungkin karena jantungku terlalu sering dibuat terkejut olehnya dengan perbuatan yang menimbulkan luka.

Langkahku terhenti saat menuju dapur dan kulihat Tari keluar dari kamar sebelah.

"Tari, kamu?!"

"Eh, Bella, Asri bilang kalian ke Surabaya jadi aku putuskan untuk menyusul, lagi pula aku juga ingin tau kampung halamanmu, Bell," jelasnya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajahnya, sepertinya dia selalu bahagia setelah menjadi istri kesayangan Abi.

Aku pun paham sekarang kenapa Abi batal pergi, rupanya karena Tari datang.

"O iya, Bell, tadi ada teman kamu, laki-laki, sepertinya dia perhatian sekali sama kamu ya, Bell?"

"Temanku? Laki-laki? Siapa?"

"Orangnya sih lumayan ganteng, rambutnya lurus, masih muda, pake motor lumayan besar. Kamu tanya aja sama ...."

"TARI!" Sentak Abi yang tiba-tiba keluar dari kamar mengikutiku.

"Sudah-sudah nggak usah ribut di rumahku dan kamu Tari, kamu bisa tidur di kamar itu, tapi jangan otak-atik benda yang ada disana. Semua benda itu milik Almarhum orang tuaku. Aku sadar kalian pengantin baru, tak seharusnya berjauhan!" tutupku lalu kutinggalkan kedua orang yang sangat mengganggu itu.

Bersikap sebagaimana aku bisa, terlihat kuat dan tegar meski hatiku terasa sakit dan sesak. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang yang menyakitiku. Aku tak mau mereka merasa menang dengan kelemahanku.

Usai sholat aku kembali ke dapur, kupanasi kuah rawon pemberian Abi. Lalu kumakan dengan lahap.

Ketukan pintu kembali terdengar, kali ini Tari yang membukanya.

"Lancang sekali si Tari!" gumamku tak terima. Aku pun keluar dan Abi yang baru keluar dari kamar mengikuti langkahku.

"Siapa, Bell?" tanya Abi padaku.

"Nggak tau" jawabku menuju pintu.

"Siapa, Tar?" tanyaku pada Tari yang membuka pintu.

"Tetangga, Bell."

Deg ... Bu Ning, tetangga sebelahku yang super duper julid sedang berdiri di depan pintu.

"Bu Ning? Ada apa, Bu?" tanyaku menghampiri, sedangkan Tari memilih menghampiri Abi yang ada di belakangku, dengan manja dia bergelayut di lengan Abi.

"Hemm, Mbak Bella ini ada sesuatu dari kami untuk Mbak Bella dan Pak Abimana."

"Abimana?" Kulirik Abi yang tengah berdiri bersama Tari. Batinku bertanya bagaimana Bu Ning bisa tau nama Abi.

"Perkenalkan, Pak Abimana. Saya Bu Ning, tetangganya Mbak Bella," katanya mengulurkan tangan. Kulipat dahiku, Aku yakin kedatangan Bu Ning kemari tidak semata-mata untuk memberikan kue ini pada kami, namun, juga berusaha mengorek informasi yang kemudian akan dijadikan bahan gosip di kampung ini. Aku tahu benar sifat dari Bu Ning selama ini.

"Abimana," ucap Abi membalas uluran tangan Bu Ning seraya tersenyum ramah.

"Saya Tari, istri Mas Abi," sela Tari, dengan begitu mudah dan entengnya Tari memperkenalkan diri di hadapanku dengan menyebut dirinya adalah istri Abimana.

"Jadi, Pak Abi dan Bu Tari ini Bosnya Mbak Bella?"

Deg ... lagi-lagi aku harus menelan pahit, Abi nyatanya sudah memperkenalkan diri pada tetangga bahwa dia adalah Bosku, bukan suamiku.

"Wah, Mbak Bella beruntung sekali punya Bos seperti Pak Abi, baik, pengusaha terkenal," sambungnya, kulirik Abi, dia bergeming.

Meski memperkenalkan diri sebagai bos dan istrinya itu lebih baik. Namun, tetap saja menyakitkan jika Abi sendiri yang mengatakan.

Pengusaha terkenal? Bos?Aku bahkan tak tau siapa Abi, kesibukanku di dunia literasi dan Cafe tidak memberiku waktu untuk mengikuti gosip dan dunia luar.

"Iya, Pak Abi ini Bos saya," kataku, mengalah akan lebih baik, toh Tari sudah memperkenalkan diri sebagai istri Abimana terlebih dahulu dan lagi pula warga kampungku termasuk suka bergosip, mereka akan berpikiran buruk jika tau aku punya madu.

"Bella ...!" lirih Abi.

"Bu Ning ..., Bu Ning, saya lagi sibuk persiapan nanti malam. Maaf, ya. Makasih kuenya." Kututup pintu setelah mengusir Bu Ning dari rumah.

"Bell ... aku mau ngomong," kata Abi setelah Bu Ning pergi.

"Nih, kue. Makan!" ucapku memberikan kue pemberian Bu Ning di tangan Tari.

"Bell, ijinkan aku menjelaskan."

"Abi, cukup, kalau kamu pikir aku marah, kamu salah, aku justru nerterimakasih. Kamu tau kan warga kampung seperti apa? Aku nggak mau menambah masalah, mereka itu julid. Aku akan habis oleh mereka kalau tau aku dimadu, media sosial akan penuh dengan beritaku. Karena mereka baru mengenalnya, lagi seneng-senengnya bermain media sosial. Apapun akan mereka masukkan. Jadi, aku ucapkan terimakasih!" jelasku, meski hati pilu karena tidak diakui tapi aku harus tetap bersikap seolah aku sedang baik- baik saja. Aku tak mau terlihat merana di hadapan Abi, terutama di hadapan maduku.

"Bukannya kamu juga nggak mau kalau publik tau aku istrimu?" sindirku lagi.

Abi hanya diam, entah apa yang ada di pikirannya saat ini, pembawaannya yang selalu tenang dan teduh membuat ku bingung mengartikan apa maksud dari kediamannya itu. Apakah ia merasa bersalah atau justru bahagia karena tidak harus pusing memikirkan keberatanku? Hanya dia yang tahu.

Aku bergegas ke kamar meninggalkan pengantin baru yang sedang kasmaran itu. Kubuka gawai lalu kuketik nama Abimana Atmajaya di aplikasi pencarian.

Jujur, aku tidak menyukai dunia gosip dan tidak mengikuti media sosial kecuali untuk promosi cerbung.

Keluarlah semua berita tentang Abimana Atmajaya yang membuatku terperangah. Menurut g*ogle Abimana merupakan pengusaha muda, peraih berbagai penghargaan, dan proyek besar. Ada pula yang menarik perhatianku, yaitu berita tentang pernikahannya dengan Tari, bahkan, saat ini menjadi trending, terpampang nyata dalam berita. Sakit? Jangan ditanya lagi.

Rasa penasaranku kembali muncul, kucari berita tentang aku dan Abi. Bukannya terlalu percaya diri, tapi apa salahnya ingin tahu.

Nihil, hanya ada nama Hastari Priawan di sana yang berkedudukan sebagai istri Abimana. Tertulis juga bahwa Tari adalah anak pengusaha yang saat ini bekerjasama dengan Bimantara Group yang merupakan perusahaan milik Abimana.

Lagi-lagi aku harus menelan pahitnya kenyataan bahwa Abi memang tak pernah menganggap ku. "B*doh sekali kamu, Bell," batinku.

"Pantas saja Abi dengan mudah menutup semua akses-aksesku ke pengadilan, rupanya dia bukan orang sembarangan!"

"Harus lebih cerdas mengahadapi Abi."

Kusunggingkan senyum keterpaksaan. Kuusap airmata yang mengalir sempurna tanpa jeda, tak ada gunanya lagi menangisi hal yang jelas-jelas bukan milikku. Mengalah, atau lebih tepatnya tau diri akan lebih terhormat dari pada harus mengemis pada seseorang yang tidak pernah mengakui keberadaanku.

"Papa ... Bella sakit, Pa? Kenapa, Pa?" lirihku memandang foto Papa yang terpajang di dinding kamar. Bagiku Papa yang paling bijaksana, tapi kenapa Papa menyerahkan aku pada orang seperti Abi. Awalnya aku mengira akan ada sisi Abi, sisi baik yang membuat Papa memilih Abi untukku, sehingga aku berusaha untuk sabar menerima pernikahan ini. Namun, nyatanya semua itu salah.

Seandainya waktu bisa aku putar, aku akan lebih memilih hidup sendiri dan menolak perjodohan ini dari pada harus dimadu dan terluka.

Tok ... tok ... tok ... Terdengar suara pintu diketuk.

Kuhapus airmata yang tak bisa berhenti meski aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Kuambil napas panjang lalu kubuang perlahan untuk menetralkan suasana hati yang sedang gamang.

Kubuka pintu, melihat siapa yang mengetuknya. "Ya," jawabku.

Jantungku kembali bergetar hebat kala Abi, dengan baju Koko warna hijau, beserta sarung , dan pecinya berdiri di depan pintu. Satu kata, sempurna.

Aku akui Abi memang tampan. Kulitnya bersih dan matanya indah. Meski tak begitu berotot namun, perawakannya terbilang sempurna, dengan tinggi badan yang cukup tinggi menurutku. Begitu juga wajahnya yang selalu tampak muda, tak terlihat bahwa umurnya sudah menginjak 28 tahun. Sifat dan perilakunya yang pendiam sering membuat orang penasaran, namun, justru itu yang menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang belum mengenalnya.

"Bell," panggilnya.

Segera, kupalingkan wajahku yang terkesima sesaat saat menatap Abi yang bukan milikku seutuhnya. Karena sekarang aku paham, bahwa dia hanya menjalankan amanah dari Papa tanpa ada niat menjadikan aku istri. "Astaghfirullah," batinku.

"Iya, Bi, kenapa?"

"Kue dan makanan catering sudah datang, acaranya sebentar lagi."

"Iya, aku siap-siap dulu."

"Bell," cegahnya saat aku memegang daun pintu untuk menutupnya.

"Ya ...."

"Agak cepat, aku bingung kalau tamu datang dan kamu belum ada."

"Ya." Kututup pintu dan berbalik, lalu kupukul pelan dadaku yang sudah tidak beres setiap melihat Abi. "Nggak beres ni dada," gerutuku seraya mencari baju gamis yang sudah kusiapkan sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status