Share

Bab 3. Mertua Julid

BAB 3

Mertua Julid

POV BELLA

Aku terbangun di sepertiga malamku setelah Asri, meninggalkanku saat aku tak sengaja tertidur.

Kupijat kening yang terasa sedikit pusing karena terlalu banyak menangis kemudian kuraih gelas di nakas. "Kosong," gumamku saat kulihat tak ada air di sana, aku pun keluar mengambil air di dapur.

Selang beberapa menit aku pun kembali, kugelengkan kepalaku saat mendengar suara-suara rintihan dan erangan saling bersahutan dari kamar maduku, aku tau mereka sedang memadu kasih di malam pertama yang tak pernah Abi berikan padaku namun sudah diberikan terlebih dahulu pada maduku, menjijikkan.

Kututup pintu kasar hingga menimbulkan getaran dan suara. Seketika suara-suara kenikmatan itu terhenti, mungkin mereka sadar bahwa mereka mengganggu telingaku. "G* la Abi dan Tari, Kamar masih banyak kenapa memilih kamar sebelah? Sengaja!" gerutuku, rasanya saat ini dadaku panas dan sesak. Kuambil headset, kuputar lagu yang berjudul putus atau terus yang dicover oleh Angga Candra lalu kubuka laptop. Kutulis cerbung yang belum sempat kuselesaikan, cerbung yang berjudul Madu Pahit. Meski Viewer dan Followerku sedikit aku tetap bersemangat melakukannya, karena itu adalah salah satu hobi yang bisa menghiburku.

Sesekali kuseka airmata, saat kutulis kalimat-kalimat yang tak jauh beda dengan nasibku saat ini.

"Kenapa jadi Melo gini? Harusnya kan tokohnya bar-bar, pantang menyerah!" gumamku di tengah isakanku.

***

Aku mengerjap, setelah silau matahari mengenai mata. Sepertinya hari ini hatiku sudah mulai membaik, aku akan menghadapi semua yang memang harus aku hadapi.

Aku putuskan, dari pada melarang hal yang sudah terjadi dan memperdebatkannya, lebih baik aku mengurangi rasa peduliku pada Abimana, akan aku tegaskan pada hatiku untuk tidak cemburu.

"Siapa yang membawaku ke sini? Bukannya aku sedang menulis cerbung?" gerutuku lalu kubersihkan kotoran yang mengganjal mata.

"Hah? Cerbungku!" Aku bergegas menuju meja saat kuingat, aku belum menyimpan bab yang baru kutulis semalam.

Ku buka dan ku cari. "Alhamdulillah, nggak hilang. Tapi siapa lagi yang masuk ke sini tanpa ijin? Abi?" gumamku.

Mengingat Abi, darahku pun naik.

Bergegas keluar mencari Abi karena sudah berkali-kali aku bilang untuk tidak mencampuri urusanku, termasuk pekerjaanku.

"Abimana!" teriakku, aku sama sekali tak mengijinkan Abi mengotak-atik isi kamarku setelah apa yang dilakukannya.

Tok!Tok! Tok! Abi! buka pintu, Bi!"

"Bella, cari mas Abi?" tanya Tari yang tiba-tiba berada di belakangku, aku berbalik. Ini kali kedua aku melihat wajah maduku dan kali ini dengan rambut basahnya. "Sengaja, apa Abi tidak membelikannya Hairdryer?" batinku.

"Kemana suamimu?" tanyaku dengan lantang.

"Mas Abi pergi dinas ke Surabaya pagi-pagi tadi, waktu kamu masih tidur," jawab Tari seraya tersenyum, senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya itu membuatku semakin bingung harus memperlakukannya seperti apa.

"O ...." Kalau Abi sudah pergi pagi-pagi dan bahkan tidak berpamitan padaku, mana mungkin Abi yang masuk dan mematikan laptopku? Apa mungkin itu Tari? Ah, sudah lah, Kutinggalkan Tari lalu bergegas mencari Asri.

"Asri ...."

"Iya, Mbak," Jawabnya keluar dari dapur.

"Asri, kamu yang matiin laptopku dan membawaku ke ranjang? Jangan ulangi lagi ya, Sri!" ucapku setengah berteriak, aku sengaja agar Tari mendengarnya. Jika memang Tari pelakunya, setidaknya dia tidak akan mengulanginya lagi, dan semoga saja bisa tersindir lalu tahu diri.

"Iya, Mbak, bukan Asri, Mbak. Mas Abi kali!" Jarak kami yang lumayan jauh mengharuskan Asri juga mengeraskan suaranya.

"Nggak mungkin, Asri. Abi kan lagi bulan madu semalam dan pagi-pagi harus pergi ke luar kota. Mana ada waktu," sindirku.

Kulirik Tari yang terlihat masuk kamar dengan wajah kesal dan menutup pintu kasar.

"Lebih kesal mana coba? Dimadu apa jadi madu yang disayang suami?" gumamku.

Aku pun ke dapur bersama Asri. Seperti biasanya aku dan Asri biasa membuat sarapan untuk Abi sebelum Abi berangkat kerja.

"Masak apa, Sri?" tanyaku. Kuikat rambut asal lalu mencuci tangan sebelum mulai membantu Asri.

"Masak soto sama rendang, seafood juga ada ni, Mbak," jawab Asri bangga.

"Bukannya Abi lagi dinas di luar kota? Kenapa masak banyak?"

"Permintaan Mbak Tari. Nih, ada rujak juga ini, cobain, Mbak Bell," ucapnya menyodorkan satu sendok rujak padaku. Asri memang sangat menyayangiku dan menganggapku seperti saudaranya, usianya yang sepantaran dengan Abi membuatku nyaman menganggapnya seperti kakak.

"Rujak? Nggak ah, Sri. Pagi-pagi makan rujak bisa sakit perut," tolakku menjauhkan sesendok rujak yang Asri sodorkan padaku.

"Lagian Tari, Masak belum apa-apa udah ngidam sih, Sri?" tanyaku jijik.

"Hush ... Mbak Bell boleh saja cemburu, tapi jangan kelewat menuduh. Kalau Mbak Bell ngomong gitu, sama saja Mbak Bell nuduh Mas Abi bertindak diluar batas," jelas Asri mengingatkan.

"Cemburu? Yang bener aja, Sri. Lagi pula cemburu bukan hakku, kamu kan tau sendiri siapa yang dicintai Abi."

"Ah, Mbak Bell, jangan gitu dong, yang dibuatin susu sama Mas Abi seumur-umur ya cuma Mbak Bell aja," kata Asri dengan senyum menggoda.

"Itu kan karena dia salah, Sri. Ya udah,Sri. Karena sepertinya kamu hari ini cepet kerjanya, aku nggak perlu bantu dong. Aku siap-siap ke Cafe."

"Oke, Mbak."

"O iya, Sri, telur ceplok setengah matangnya jangan lupa," pesanku yang sudah dihafal betul oleh Asri.

"Oke, Mbak Bell."

Aku kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke Cafe.

Drrrttt ...

Ponselku bergetar, panggilan masuk dari Abi. Segera kuangkat karena tak mungkin jika tidak ada yang penting dia menghubungi.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Bell, aku di Surabaya sekalian mampir ke rumah Mama, kamu bisa nggak nyusul ke sini?"

"Ke Surabaya?" tanyaku memperjelas.

"Iya, Bell, tetangga kamu bilang kalau harusnya acara 100 hari meninggalnya mama kamu itu malam ini, kenapa nggak bilang?"

"Hah? Astaga ... kenapa bisa lupa."

"Iya, Bell, aku sudah menyiapkan yang perlu disiapkan, dadakan. Semoga saja nggak ada yang salah. Kamu pulang, aku nggak bisa di sini sendiri, nggak ada yang kenal kalau aku saja yang menggelar acaranya," jelasnya.

"Ya udah, aku cari tiket penerbangan sekarang, sekalian kasih tau Tari."

"Tari? Kenapa Tari?"

"Tari juga harus ikut, kan?" tanyaku.

"Nggak usah, kamu aja, nanti biar aku yang kasih tau Tari."

Aku terdiam dan berpikir sejenak,

"Hallo, Bell," panggilnya membuatku tersadar.

"Iya, ya udah aku siap-siap."

"Kalau sudah sampai bandara kasih tau, nanti biar aku jemput."

"Hemmm."

Aku segera memesan tiket penerbangan tercepat, Kumasukkan beberapa baju untuk acara dan yang lain secukupnya. Sepertinya aku akan lebih lama tinggal di sana, menenangkan diri, dan memberi waktu Abi serta Tari untuk bersama sampai mereka bosan dan tak lagi mengganggu telingaku setiap malam, juga menjaga kesehatan mata agar tidak sampai kehabisan cairan karena harus terus mengeluarkan airmata.

"Asri ...," teriakku.

"Iya, Mbak Bell."

"Sri, aku mau ke Surabaya, acara 100 harinya Mama. Abi sudah menungguku di sana," kataku, ku raih satu gelas susu lalu meminumnya.

"Sarapan dulu, Mbak Bell. Telurnya sudah siap, nanti masuk angin."

"Nggak usah, Sri, udah mepet waktunya," tolakku.

"Ada tamu ya, Sri?" tanyaku saat kudengar samar-samar ada yang berbincang di ruang tamu.

"Iya, tamunya Mbak Tari."

"Ya udah, aku lewat pintu belakang aja ya, cepet- cepet soalnya. Kalau lewat sana, nggak enak kalau nggak nyapa."

"Iya, Mbak Bell, hati- hati."

"Assalamualaikum, Sri."

"Waalaikumsalam."

POV TARI

Aku putuskan untuk memilih menjadi istri kedua Abi, laki- laki yang sudah bersamaku 3 tahun dan memupuskan harapanku untuk menjadi istri satu- satunya karena Abi harus menikahi Bella sebelum pernikahannya denganku berlangsung, miris. Abi harus melakukannya hanya karena tanggung jawab dan janji.

Aku tak mampu hidup tanpa Abi, laki- laki yang nyaris sempurna di mata para kaum hawa. Jika aku melepaskannya, seribu wanita akan datang, dan bersedia meski menjadi yang kedua.

Awalnya aku menginginkan perceraiannya dengan Bella. Namun, Abi menolak, kesetiaannya pada Pak Wira yang aku tau dia adalah dosen Abi, membuatku harus menerima semuanya. Tapi aku yakin Abi tidak mencintai Bella, sehingga aku yakin bahwa Abi hanya akan menganggap aku lah istri satu- satunya.

Namun, nyatanya salah. Abi begitu perhatian dan terlihat sangat menyayangi Bella. Mungkin Bella belum menyadarinya, tapi aku yang telah lama mengenal Abi sangat tau sikap dan perilaku Abi pada Bella itu berbeda. Terlebih Bella sangat cantik, kulitnya yang bersih, dan lembut tanpa cacat. Mata dan wajahnya yang memancarkan pesona, membuatku semakin was-was. Umurnya pun jauh lebih muda dibandingkan aku, jika bisa kukatakan, secara fisik dia sangat sempurna. Pantas saja Abi dengan mudah menerima pernikahan ini tanpa berpikir panjang. Siapa yang akan menolak wanita seperti Bella?

Hari ini Mama berkunjung ke rumah dan ingin bertemu dengan Bella. Jika Mama tau Bella seperti apa dia pasti akan sama was-wasnya seperti aku.

"Mana istri Abi?" tanya Mama sinis, saat ini kami sedang duduk di ruang tamu.

"Ada, Ma, masih di dalam. Mungkin sedang siap-siap untuk pergi ke Cafe."

"Cafe?"

"Iya, Ma, dia punya Cafe sendiri."

"Sendiri?"

"Iya, Ma. Dari apa yang Mas Abi ceritakan, Bella membangun Cafenya sendiri dari uang asuransi yang ditinggalkan oleh Papanya, bukan dari Mas Abi," jelasku lalu menyesap teh hangat buatan Asri.

"O ya? Kamu percaya gitu aja, Tar?"

Kuanggukkan kepalaku pelan dan Mama tersenyum miring.

"Ma, aku nggak memikirkan masalah itu. Sekarang yang aku pikirkan hanya Mas Abi."

"Abi? Memangnya kenapa Abi?"

"Perhatiannya pada Bella, Ma. Perhatiannya pada Bella jauh lebih besar dari yang aku bayangkan. Aku kira Bella bukan apa-apa untuknya, tapi ternyata aku salah."

"Mungkin Abi hanya kasihan pada anak itu, Tar. Mama denger kan, mama papanya sudah meninggal dan nggak punya siapa-siapa," kata Mama menenangkanku.

"Ma ... subuh tadi, selepas sholat subuh, dan sebelum Mas Abi berangkat ke luar kota. Aku lihat Mas Abi masuk ke kamar Bella, membawa Bella yang tertidur di meja kerjanya ke ranjang, membelai, dan mengecup pucuk rambut Bella sepenuh hati. Tersenyum sambil memandangi wajah Bella, samar-samar kudengar Mas Abi minta maaf pada Bella, dan berpamitan pada Bella. Aku takut, Ma. Aku takut Mas Abi lama-lama akan mencintai Bella," keluhku pada Mama.

"Abi ...!" ucap Mama yang terlihat begitu marah.

"Mungkin Bella belum menyadarinya sekarang, tapi di belakang Bella nyatanya itu yang terjadi, Ma," sambungku.

Percakapan kami terhenti saat kudengar langkah kaki Asri mendekati kami.

"Mbak Tari, makanannya sudah siap," Pagi ini aku sengaja menyuruh Mama untuk sarapan bersama.

"Kalau gitu ajak Bella sekalian ya, Sri. Kita sarapan bersama, sekalian biar Mama kenal sama Bella," perintahku.

"Tapi Mbak Bell ...."

Kata Asri terhenti. "Kenapa Bella? dia masih di kamar, 'kan?"

"Mbak Bell sudah berangkat lewat pintu belakang, karena nggak mau mengganggu tamu."

"O, ya udah kalau Bella sudah ke Cafe. Ayo, Ma sarapan."

"Bukan, Mbak Bell ke Surabaya, sama Mas Abi."

Degh!

"Apa, Sri?!" sentakku, seketika jantungku berdegup kencang, tubuhku lemah bagai tak berdarah. Nyatanya mereka sudah bertindak jauh dari yang aku kira.

"Ya sudah, kamu boleh pergi," perintah Mama pada Asri.

Mataku pun mulai mengembun "Apa yang aku takutkan terjadi kan, Ma," lirihku.

"Tari, ini bukan saatnya meratapi nasibmu."

"Maksud, Mama?"

"Jika kamu tidak mau kehilangan cinta Abi, jangan biarkan benih-benih cinta tumbuh diantara mereka. Jangan biarkan mereka bersama, hanya berdua. Walau hanya sedetik, ingat Tari! Cinta bisa datang karena terbiasa."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agustina
klau Abi cinta sm Bella nyatany dia hbmo nyentuh Bella,mlh mlm pertama sm tari
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status