Share

Part 6

last update Last Updated: 2025-11-03 15:26:53

Pandangan Shankara membeku saat melihat perempuan yang berdiri beberapa langkah darinya, dengan wajah yang ia kenal, tapi tidak pernah ia sangka akan dilihat lagi setelah bertahun-tahun.

Shankara mematung.

Untuk beberapa detik, ia hanya bisa menatap. Tanpa suara, tanpa bergerak. Senyum bahagianya saat bercengkerama dengan Anindia tadi hilang seketika. Digantikan ekspresi kaku penuh keterkejutan dan gugup yang tidak bisa ia sembunyikan.

Melihat reaksi Shankara, Vanka tidak berani mendekat. Ia ikut membatu di tempatnya. Vanka ragu Shankara akan menyambut dengan baik mengingat kesalahan fatalnya di masa lalu.

"Siapa, Ka?" tanya Anindia pada Shankara sambil mengusap lengannya dengan lembut begitu menyadari perubahan drastis di wajah lelaki itu. Ia mengikuti arah pandang Shankara dan melihat perempuan yang berdiri tidak jauh dari sana.

Shankara mengerjap. Ia seperti baru tersadar dari lamunan panjang. Tenggorokannya terasa kering, tapi ia memaksa diri untuk menjawab. "Itu … t-teman lamaku," ujarnya dengan nada gugup, sedikit terbata.

"Teman lama?" Anindia terlihat penasaran, lalu tersenyum sopan. "Oh, hai! Temannya Shankara ya? Ayo duduk di sini, Mbak."

Vanka kaget Anindia mengajaknya bergabung. Senyum canggung terpaksa ia tunjukkan.

Vanka sempat memandang sekilas ke arah Shankara, seolah meminta persetujuan. Namun, Shankara hanya diam. Ia tidak menolak, tapi juga tidak menyambut.

Akhirnya, Vanka melangkah pelan dan duduk di seberang Shankara. Suasana meja yang tadi hangat kini terasa berubah dingin. Percakapan yang seharusnya penuh tawa dan keakraban mendadak sarat dengan kecanggungan.

Anindia dengan senyum lembutnya mencoba mencairkan suasana. "Siapa namanya, Mbak?"

"Vanka," jawab perempuan yang sedang bersedih itu.

"Hai, Vanka, salam kenal. Aku Anindia, tunangannya Shankara, sebentar lagi bakal jadi istrinya. Eh, udah tahu pasti. Kan, hadir di acara." Anindia tertawa renyah.

Vanka membalas tawa perempuan itu dengan senyum canggung.

Anindia tampak tulus, sama sekali tidak menyadari pusaran perasaan yang sedang bergolak di antara dua orang di dekatnya. Perempuan itu masih tersenyum ramah, gesturnya anggun dan berkelas. Terlihat begitu bahagia.

“Kamu teman Shankara waktu sekolah atau gimana?” tanya Anindia lagi.

Vanka melirik Shankara sebelum menjawab. “Bukan."

"Jadi? Kenalnya sejak kapan?" Anindia terlihat begitu penasaran.

"Kira-kira sejak tujuh tahun yang lalu."

"Oh." Anindia mengangkat alis lalu tersenyum lagi. "Wah, berarti udah lama juga ya? Pasti banyak kenangan lucu waktu masih muda."

Vanka hanya mengangguk. Ia menelan saliva yang terasa semakin pahit. Lucu bukan kata yang tepat untuk menggambarkan masa lalu mereka.

Jari-jarinya saling menggenggam di atas pangkuan. Ada rasa nyeri di dadanya.

Bertemu dengan Shankara di waktu dan tempat seperti ini tidak pernah sekali pun terlintas di pikirannya. Apalagi lelaki itu sudah memiliki pasangan.

'Sudahlah, Vanka. Jangan disesali. Memangnya apa yang kamu harap? Shankara masih sendiri? Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Apa pun bisa terjadi dalam waktu selama itu.'

"Ka, kok diam aja sih? Disapa dong teman lamanya. Tanya kabar kek, apa kek," tegur Anindia melihat Shankara diam membeku.

Shankara tersentak seketika. Bibirnya bergerak, tapi kata-kata seperti tersangkut di tenggorokan. Akhirnya setelah memaksakan diri ia pun bicara.

"Hai, Van, apa kabar? Lama ya kita nggak ketemu?"

"Kabar baik, Bang. Iya, udah lama. Selamat atas pertunangannya ya, Bang." Vanka berusaha tetap terlihat wajar walau saat ini hatinya sangatlah perih.

"Iya, makasih, Van."

Anindia tertawa melihat interaksi mereka. "Kalian berdua kelihatan agak kikuk ya. Udah kayak ketemu mantan aja," candanya ringan.

Ucapan Anindia membuat Shankara dan Vanka sama-sama tersentak dan menatap satu sama lain dengan canggung.

"Efek lama nggak ketemu mungkin," jawab Shankara kemudian.

Anindia tertawa.

Percakapan di meja tetap berlangsung, tapi setiap kata yang keluar terasa canggung. Anindia terus mengajukan pertanyaan ringan, mencoba membuat suasana lebih santai, tapi Shankara dan Vanka sama-sama terlalu sibuk mengendalikan perasaan sendiri untuk benar-benar ikut terlibat.

Beberapa menit kemudian, ponsel Vanka bergetar di dalam tasnya. Ia melihat nama Martha di layar.

[Vanka, cepat pulang. Lengkara nggak berhenti nangis. Katanya sakit! Mama takut dia mati beneran, kelamaan nunggu kamu.]

Vanka hanya bisa mengurut dada. Hanya karena Shankara adalah ayah biologisnya, Martha tidak begitu menyukai Lengkara.

"Aku tinggal dulu ya, itu teman-temanku mau foto bareng," cetus Anindia ketika segerombolan temannya memanggil.

"Hati-hati, Nin," kata Shankara sambil mengusap punggung Anindia saat perempuan itu berdiri lalu pergi.

Tinggal berdua, suasana terasa semakin kikuk.

Vanka duduk dengan gelisah. Ia tahu Shankara sedang menahan sesuatu. Tatapan mata laki-laki itu sudah cukup menjelaskan keterkejutan, ketegangan, dan luka lama di antara mereka.

Tapi Vanka tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Ia harus mengatakan maksud yang sebenarnya sekarang.

"Bang, bisa bicara sebentar? Ada yang mau aku katakan."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
Saulina Simbolon
kak zi kok blm up jg sih. jgn lama² kak nanti shankara dan vanka berkarat kwkwkwk
goodnovel comment avatar
salsabiila syahada
Aku yang berdebar...
goodnovel comment avatar
Santi
belum apa2 aku udh sakit hati............ jangan terlalu remuk ya kak zi...gaji ku gak cukup buat cangkok hati
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 108

    Hari masih pagi ketika Lengkara terjaga dari tidurnya. Matanya yang masih setengah mengantuk bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya membulat penuh kegembiraan. Di sebelahnya, Mama dan papanya ada di sana. Berdekatan dan saling memeluk satu sama lain."Wah, Papa meluk Mama!" serunya ceria. Ini adalah untuk pertama kalinya anak itu melihat orang tuanya tidur bersama.Lengkara memerhatikan keduanya dengan mata berbinar, seolah menemukan pemandangan paling indah pagi itu. Bibir mungilnya tersenyum lebar, lalu ia duduk sambil menepuk-nepuk kasur.“Papa sama Mama tidur bareng.” Anak itu menggumam takjub dengan mata tidak lepas dari keduanya.Tak lama kemudian Vanka terbangun. Ketika kelopak matanya terbuka, ia bertemu dengan wajah penuh binar anaknya. Pipinya seketika memanas. Ia hendak bergerak menjauh, tapi lengan Shankara justru mengerat di perutnya.“Bang, lepasin. Lengkara udah bangun,” bisiknya malu.Shankara membuka mata dengan santai, lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 107

    Vanka sudah berkali-kali memandang jam dinding sejak sore menjadi malam. Tangannya juga tidak berhenti meremas ponsel, membuka, menutup layar, berharap ada pesan masuk atau apa pun dari Shankara. Tapi tidak ada. Lengkara juga sudah berkali-kali menanyakan kenapa papanya masih belum pulang. Tadi Vanka mengatakan padanya bahwa Shankara pergi ke bengkel. Lengkara terus menunggu sampai akhirnya tertidur sendiri. Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai sedikit, lalu kembali duduk. Lalu berdiri lagi. Jantungnya tidak tenang sejak Shankara pergi bertemu Anindia. Vanka tahu pertemuan itu tidak akan sederhana. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuat teh, tapi cangkir itu hanya disentuhnya sekali sebelum diletakkan kembali. Pikirannya terus berkelana pada kemungkinan paling terburuk. Ketika akhirnya suara pintu dibuka terdengar, Vanka hampir berlari. "Abang." Kata itu terhenti di bibirnya. Shankara berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Vanka melangkah mendekat, hendak memeluk

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 106

    Shankara membeku hanya sepersekian detik. Lalu nalurinya mengambil alih segalanya.“Anindia!”Ia menerjang ke depan, menangkap pergelangan tangan Anindia sebelum sayatan itu menjadi lebih dalam. Pecahan vas terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Darah tetap keluar, tapi tidak seperti yang Anindia niatkan. Shankara menggenggam tangannya kuat-kuat, menekan pergelangan itu ke dadanya sendiri, menahan dengan telapak dan lengan bajunya.“Gila kamu! Kamu mau bunuh diri cuma buat maksa aku?!”Anindia memberontak, menangis, menjerit, memukul dada Shankara dengan tangan satunya yang bebas. “Lepasin! Lepasin aku! Aku lebih baik mati daripada kamu tinggalin!”“Diam!” Shankara membentaknya dengan keras, penuh amarah dan panik. “Diam, Nin! Dengar aku!” Ia menyeret Anindia ke sofa, memaksanya duduk. Anindia terisak keras, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu nggak peduli aku mati atau hidup, kan?” suaranya serak, penuh kekecewaan dan luka. “Kamu cuma peduli sama dia.”“Aku peduli sama kamu. M

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 105

    Sedikit pun tidak ada dalam prediksi Shankara mengenai hal yang diinginkan Anindia. Tadi dirinya pikir perempuan itu akan langsung menyerah setelah mengetahui kondisinya. Tapi dugaannya salah."Ayo! Kenapa diam? Kamu takut?" Anindia tersenyum mengejek melihat bungkamnya pria itu."Takut apa?""Takut ketahuan bohong." Anindia mendesis. “Takut ketahuan kamu sebenarnya masih bisa. Takut ketahuan semua omongan kamu cuma alasan murahan biar bisa balik ke dia.”“Aku nggak bohong, Nin. Itu memang kondisiku,” jawab Shankara tanpa nada emosi. “Dan aku nggak akan membuktikan apa pun dengan cara itu.”Anindia mendengkus. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Shankara, menariknya masuk ke dalam rumah. “Ke kamar. Sekarang!”Shankara menghentikan langkahnya. Seketika cengkeraman itu terlepas bukan karena Anindia melepaskan, melainkan karena Shankara mengunci pergelangan tangannya. Cekalannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Anindia terdiam.“Lepasin aku!” Anindia memberontak.“Nin.” Shankar

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 104

    Shankara menutup pintu kamar mandi dengan kakinya. Vanka masih berada dalam gendongannya saat pria itu menurunkannya perlahan. Kala tangan besar itu melucuti pakaian wanitanya, tatapan mereka bertemu, penuh dengan rasa yang tidak perlu diucapkan. Tetes-tetes air yang berjatuhan dari shower membasahi tubuh mereka berdua. Kali ini mereka tidak banyak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbahasa. Vanka diam membisu ketika Shankara menyabuni punggungnya, turun dan semakin turun ke bawah sampai tangan lelaki itu berada di kakinya. Shankara kembali berdiri. Tangannya mencengkeram pinggul Vanka untuk kemudian memasukinya dari belakang. Vanka memejamkan mata, menikmati sensasi itu. Sekujur tubuhnya melemah. Sendi-sendi penyanggahnya seakan goyah mendapat manuver yang sebegitu hebatnya. Shankara menahan tubuh Vanka agar tidak jatuh, dadanya menempel di punggung wanita itu. Napas mereka berbaur di bawah titik-titik air. Air mengalir di bahu Vanka, menyusuri lekuk tubuhnya, seolah i

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 103

    Vanka menarik napas dalam-dalam sebelum ia keluar dari mobil setibanya di Mediora Medika. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah sekian lama hari-harinya dihabiskan untuk sang putri. Beberapa saat kemudian ia keluar dari mobil lalu melangkah memasuki gedung. Ia bertemu Jevan yang sepertinya sudah datang sejak tadi. Lelaki itu memberi senyum pada Vanka."Pagi, dokter Vanka," sapanya hangat."Pagi, dokter Jevan." Vanka membalas senyuman lelaki itu."Ready for new journey?"Vanka tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. “Siap nggak siap harus siap. Deg-degan juga, jujur aja.”Jevan terkekeh pelan. “Wajar. Kamu vakum bukan sebentar. Tapi tenang, kemampuan kamu nggak ke mana-mana.”Mereka berjalan berdampingan menuju lift.“Pagi ini briefing dulu sama manajemen medis. Habis itu kamu ikut aku ke poli umum,” kata Jevan.“Kayak koas lagi ya,” celetuk Vanka setengah bercanda.“Versi lebih dewasa dan lebih capek,” balas Jevan tertawa.Mereka masuk ke ruang briefing. Beberapa dokter d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status