Share

Takdir Cinta Dokter Jiwa
Takdir Cinta Dokter Jiwa
Author: Sugar Crush

Penyesalan Selalu Diakhir

“Dokter Bella! Pak Andri mengamuk kembali! Saya dan Rio sudah mengisolasinya di kamar B sebab beliau mencelakai salah satu teman sekamarnya!”

Merasa namanya dipanggil, Arabella Jennie Manuel, atau kerap disapa Bella pun menoleh. Tahun ini, Bella baru saja selesai menjalani Pendidikan Program Dokter Spesialis di RS Jiwa Provinsi dan resmi bergabung sebagai dokter spesialis Jiwa dan Psikiater di ruang Merpati. Kamar rawat inap bagi pasien yang telah tak mengalami gejala gangguan jiwa dan bersiap akan pulang ke rumah. Atau, istilahnya yaitu pasien sudah normal.

Kepala cantiknya menoleh sambil memberikan senyuman tipis, mengapresiasi kinerja rekan perawatnya yang juga merupakan kenalan Bella. Lantas, suara indahnya pun terdengar ketika menjawab, “Ada apa? Mengapa dia mengamuk? Apakah halusinasinya kembali ketika senam barusan?”

Perawat ruangan Merpati sekaligus teman SMA Bella yakni Adrian pun duduk di hadapan Bella. Saat ini, mereka berada di ruang perawat yang terletak di tengah-tengah ruangan besar dan berhadapan langsung dengan pintu utama. “Sepertinya iya, Dok. Kata Pak Adi, sejak semalam dia selalu gelisah dan bising sekali. Mengganggu tidur pasien yang lain,” jawab Adrian amat formal sebab ada beberapa perawat senior di sana.

“Hm, setelah Pak Andri tenang nanti, observasi kembali keadaannya, ya.” Kemudian, Bella berdiri dari duduknya dan pamit untuk ke ruangannya sendiri yang berbeda tempat.

Namun, baru saja masuk ke dalam ruangannya sendiri, helaan napas kasar lolos dari bibir Bella ketika dia tidak menemukan ponselnya di tas ataupun kantung celananya. Bella berdecak pelan sebelum mengembalikan tubuh dan kembali berjalan dengan pelan ke ruang perawat. Tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar pembicaraan yang membuat tubuhnya menegang.

“Lo pasti tahu lah, Dri. Lo teman SMA nya Dokter Bella, kan? Apa benar kalau 3 tahun yang lalu, adiknya Dokter Bella meninggal dan itu meninggalkan trauma besar di hidup Dokter Bella?”

Sekujur tubuh Bella kaku, seakan telah terlaminasi oleh lem super kuat yang membuatnya tidak bisa menggerakkan tulang seinci pun. Kalimat itu membuat ingatan Bella kembali pada saat dulu. Masa tahun ke-2 ketika dirinya menjadi Dokter Residen di ruang Merpati ini.

***

3 tahun yang lalu, tepatnya pada pertengahan tahun 2022.

Hari ini bertepatan dengan Profesor yang dulu merupakan konsulen Bella saat perkuliahan datang berkunjung ke ruang Merpati. Beliau menawarkan Bella sebuah penelitian mengenai kejiwaan manusia dan tentu saja hal itu dapat membantu portofolio dia ke depannya.

“Gimana PPDS Anda, Mbak? Lancar?” Profesor Budi melayangkan pertanyaan ketika matanya berkeliaran ke penjuru ruangan Bella yang nyaman di ruang Merpati ini. “Berapa lama lagi, Mbak?”

Senyuman manis Bella semakin mengembang saat mendengar tutur kata Profesor Budi yang tidak pernah berubah sejak 7 tahun mereka mengenal. Deheman halus dilayangkan oleh wanita paruh baya tersebut yang sukses menarik Bella kembali ke kenyataan. Cengiran khas bersalah terpatri di wajahnya, lantas, dia pun menjawab, “Sudah setengah jalan, Prof. Ini masuk tahun ke-2.”

“Syukur, 3 tahun itu terasa seperti sekejap mata saja, Mbak. Anda sering pindah ke stase UGD juga OK, tidak?” Profesor Budi kembali melayangkan pertanyaan. Beliau begitu menyayangi Bella sebab ketika menjadi mahasiswa kedokteran dulu, Bella amat cerdas saat pembelajaran teori.

“Tentu, Prof. Jika di UGD dan ruang OK membutuhkan bantuan, Bella akan membantu ke sana,” kata Bella sembari mengambil dua minuman dari kulkas mini di sudut ruangan. Lalu memberikan salah satu kepada pembimbingnya.

Profesor Budi mengeluarkan sebuah proposal dan memberikan kepada Bella yang menyambut dengan senang hati. “Ini, Mbak. Semua rincian yang saya beritahu di telepon W******p kemarin. Rancangan masalah kian hari semakin bertambah, hingga kini, terdapat 10 ODGJ yang dibuang oleh keluarga di pinggir jalan,” ujar Profesor Budi dengan miris.

Ekspresi bahagia yang terpancarkan pada wajah Bella pun padam dan digantikan oleh kesedihan saat membaca kata demi kata pada proposal tersebut. “Penelitian ini dipacu karena kan, 1 minggu lalu, ditemukan 20 ODGJ yang terlantar. Beberapa saksi mengatakan jika ada sebuah ambulans menurunkan mereka semua saat dini hari. Hingga kini, sudah bertambah 10 pasien kembali,” gumam Bella sambil membaca kejadian perkara.

Ketika Profesor Budi ingin menyetujui akan hal itu, dering ponsel Bella berbunyi nyaring di sudut ruangan. Membuat sang pemilik segera menghampiri benda elektronik tersebut.

Sebelah alisnya menukik tajam ketika membaca si penelepon saat ini. Azura Jennifer Manuel, adik kandungnya yang baru tadi pagi menyulut pertengkaran sebelum mereka beraktivitas.

“Mau apa lagi nih, Bocah?” Bella hanya bisa membatin sembari menolak panggilan itu. Lantas, dia mengubah mode ponsel menjadi senyap dan kembali bergabung dengan pembimbingnya.

Mereka berbincang serius nan santai, dikarenakan waktu tidak memburu-buru keduanya. Hingga, tanpa sadar satu jam berlalu tak terasa. Perbincangan diakhiri sebab adzan Dzuhur berkumandang kuat. Menghentikan segala aktivitas yang ada.

“Kalau begitu, saya pamit ya, Mbak. Besok, kita sama-sama ke tempat untuk mengobservasi,” pamit Profesor Budi. Kemudian, beliau meninggalkan ruangan Bella.

Sejujurnya, Bella merasakan kegelisahan menghantam hati dan jantungnya sejak tadi. Benaknya pun tidak memiliki asumsi apapun akan hal itu.

“Oh ya, Azura! Nih anak sudah pulang atau belum, ya?” Jari jemari lentik Bella yang dihiasi oleh motif bunga-bunga pada kukunya tersebut mengambil ponsel dan menghidupkannya.

“Loh, ada apa ini?” Keheranan menyelimuti benak Bella ketika mendapati puluhan panggilan tidak terjawab dari keluarganya. Tetapi, dia hiraukan. Bella memilih tuk membuka pesan panjang dari sang adik.

[Azura Jennifer Manuel]

‘Kakak, hari ini aku lulus, loh! Dan juga, adik bontot kakak ini ... besok adalah pengumuman jalur undangan prestasi kampus terbaik di Indonesia, Kak! Hueu, Azura pasti bisa masuk dan menjadi dokter juga kan, Kak? Azura tidak mau mengecewakan mama dan papa.’

‘Kak ... Kakak tahu kan kalau kita dan mama itu bagaikan pinang di belah dua? Gengsi nya tidak tertolong! Maka dari itu, Azura mau bicara di pesan saja dan nanti jangan dibahas ya, Kak!!’

‘Pertama, kakak kenapa tidak jemput Azura, hm?! Hari ini kan hari spesial Azura, Kak! Ya, walaupun kita akan bertemu di rumah pada pukul 13.00 sih, hihi.’

‘Terus, yang kedua. Kakak adalah kakak terbaik di dunia. Kakak memang galak, menyebalkan, suka buat aku kena omel mama, egonya selangit kalau sama aku ... tapi, aku sayang kakak! Aku tidak pernah malu untuk mengungkapkan betapa hebatnya Arabella Jennie Manuel, kakak tercintaku ini di depan seluruh orang.’

‘Ketiga, Kak ... di kehidupan selanjutnya, tetap jadi kakak aku ya? Di Surga nanti, cari aku ya, Kak? Aku rindu kakak. Nama kakak selalu terselip di doaku.’

‘Huh! Tapi, kakak ini jahat deh sama aku. Awas loh, kalau aku pergi selamanya, jangan nangis ya! Aaa, tidak tahu kenapa, aku mau ketemu kakak. Minimal, dengar suaranya deh, Kak!’

Pesan teks berarti, digantikan dengan rekaman suara berdurasi 01.00 menit yang direkam oleh Azura. Membaca teks yang dikirimkan oleh adiknya sukses mengundang air mata Bella untuk terjun pada kebebasan. Dengan derai air mata, dia pun segera memutar rekaman suara tersebut.

Suara lalu lintas yang bising lah pertama kali menyapa indera telinga Bella. Tetapi, dia tetap memfokuskan pikiran agar bisa mendengar jelas suara Azura.

‘Kakak! Dengar aku?!’

Sontak, kepala yang menampung pikiran berat tersebut mengangguk. Menyahuti pekikan Azura. Bella lantas berdehem, suara seraknya pun membalas, “Iya, kakak dengar, Dek.”

‘Kakak, aku sayang Kak Bella! Heii ... kalian tahu tidak, kakak gue itu dokter hebat! Otaknya jenius dan selalu dapat nilai A+. Kalian punya kakak kayak gue, tidak?!’

Mendengar kalimat sombong yang Azura teriaki entah kepada siapa, berhasil mengundang kekehan terperangah Bella. “Tidak ada, kakak dilahirkan limited edition khusus untuk Azura,” sahut Bella membalas walaupun sia-sia.

‘Kakak, aku pulang naik angkot! Ini mau menyeberang, hehe. Aku mau ngomong sesuatu, kakak jaga kesehatan ya. Jangan lembur terus, ok? Pasien kakak lebih terjaga dibanding dokternya—BRAK!’

Kedua mata Bella melebar sempurna saat mendengar benturan amat kuat pada akhir kalimat Azura yang belum selesai. Tangan tremor Bella bergegas melihat kembali layar ponsel yang tidak menampilkan pesan apapun. Pikiran cemas kembali melanda benak gadis itu.

“A-da apa ini? Dek, kamu kenapa?!” Jari lentiknya membuka pesan dari sang ibu. Isi kalimat yang membuat kedua tungkai kakinya melemah dan terjatuh tanpa mampu bangkit kembali.

“Dek, mengapa kamu pergi secepat ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status