Share

Nada Hujan

 Sebenarnya Hasan agak penasaran dengan nama gadis yang Ismail cintai itu, namun Ismail tidak mengatakan siapakah nama gadis itu. 

Saat Hasan tanya selalu hanya menginisialkan namanya. Semoga saja gadis yang Ia cintai memiliki perasaan yang sama seperti Ismail.

 Harapan Hasan cukup itu saja.

"Tidak ah, hawa dingin membuatku masih ingin berteduh, hujan masih deras. Angin juga masih terlalu kencang rasanya malas menerobos rasa dingin, kalau mau ke pondok, pergi saja dulu, nanti ujung-ujungnya aku akan nyusul!"

Tatapannya seakan tiada berpalingnya melihat gemericik air yang menyentuh tanah itu, Ia pun tidak membalas tatapan mata Hasan, bahkan tidak menolehkan wajahnya.

Mungkin mata berselaput hitamnya ingin mengamati angin kencang yang masih berkali-kali menggugurkan daun dan Ia masih ingin merasakan, antara pahit dan manis segala kerinduannya yang terkapar.

"Assalamu'alaikum."

Separuh rasa kesal agak menyelimuti Hasan, namun syukurlah Hasan  masih bisa mengendalikan. Namun entah, bila wajah Hasan tidak bisa tertutupi.

Suara Hasan seakan telah memecah keheningan yang menyeruap di antara dirinya  dan Ismail. Namun tetap pandangannya tidak juga belum berarsir, walau hanya memandang kepergian hasan sejenak saja.

Hasan terdiam, sambil berfikir mengenai Ismail mungkin Ia perlu sedikit sedikit waktu, seakan antara hujan lebat dan angin kencang membuat Ismail lupa tentang siapa yang tengah lama berdiri di sisinya. 

Sehingga saat Hasan berada di sampingnya tadi, melambutkan nada bicara, namun Ismail tak lekas memahami tentang apa arti dari semua itu.

Hasan  melangkah mulai mencoba menerobos dinding-dinding kedinginan. 

Meninggalkan kehangatan ruangan aula putra yang tersedia, selekas menaruh kitab Alfiyah kembali, ke dalam almari yang telah disediakan pendiri dan pemimpin diniah.

 Hanya dengan tujuan, kitab itu tidak basah bersamaan dengan derasnya hujan. Cukup hanya sebagian tubuhnya saja.

Payung Hasan yang sengaja digantungkan di paku aula dua hari yang lalu, kini Ia ambil. 

Hasan keluar ruangan, saat lekas dengar bel diniah berbunyi. 

Hasan melihat jelas, di sebuah lapangan yang berjajar ruang-ruang lokal diniah. Banyak terlihat santri-santri baik putra maupun putri.

 Berlari kencang tanpa berangan untuk nantinya bisa jatuh terpeleset.

Di sanding melangkah, payung itu membuat teduhan kecil, yang hanya bisa melindungi kemeja biru Hasan yang barusan sore tadi Ia perjuankan untuk disetrika agar tidak terlalu basah kuyub bersamaan dengan peci hitam. 

Namun jelas-jelas masih membuat sarung hitam Hasan kebasahan. 

Air hujan deras cukup membuat pasir di sepanjang jalan, mengenai sarung bagian bawahnya sekaligus.

Senja seakan membuat Hasan harus mempercepat langkah, selain hanya sekedar membawa kedinginan berselimut.

 Seperti biasa,  jalan kecil wilayah barat kini Hasan lalui. Mungkin dengan melewati jalan itu, salah satu cara untuknya mempersingkat waktu untuk kembali ke pondok.

Allah, aku menyebutmu.

Saat sebuah senja mengusikku yang tengah melamun.

Sesaknya rindu yang tertahan rasanya membuat teriakan keras dalam batin ini yang rapuh.

Allah.

Di mana sosok itu, sang biadari penghapus senja yang memberi secercah cahaya saat Ia tersenyum.

Bidadari itu tersenyum dalam bahasa bahagianya.

Namun bila kan badai datang Ia bagai terhantam dalam rintik mata mengarumi lukanya.

Tuhan.

pertemukanku dengan biadari itu

Kan kurampas senja yang menggelapkan batinnya.

Aku akan datang sebagai awal lembaran surga ke tiganya 

***

Bel pulang diniah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sepertinya agak lambat dari biasanya.

 KBM diniah memang sengaja diatur kepala sekolah menurut periode musim, bila periode musimnya adalah peride musim kemarau maka pulang jadwal pulang lebih cepat, lalu sebaliknya.

 Sebelum keluar aula, sempat Laila lirik jam dinding coklat tua yang berada di pertengahan sudut bercat hijau daun. Ia sadar Ia harus secepatnya kembali ke pondok.

Hujan masih belum saja redah, lama makin lama bertambah deras. 

Bagi Laila sore sudah mulai beranjak pada suatu malam yang dingin akan hawanya dan gelap tanpa sinar bulan dan tanpa juga kemerlipnya ribuan bintang.

Angin lewat terdengar bersemringah masuk ke dalam telinga Laila. 

Dingin serasa menggigit. Sepanjang jalan yang kini di lalui Laila, seakan bertambah gelap tanpa sedikitpun celah akan cahaya meskipun hanya pelita jalan.

Jarak antara lokasi diniah sore,  dengan pondoknya masih begitu jauh. Hingga sempat Laila rasa jarak untuk itu membuat kakinya, telah sampai pada tingkatnya kelelahan.

Tidak hanya saja itu, tadi di aula sempat Laila rasakan kesal soal diniahnya di hari ini. Hatinya yang telah berniat untuk mencari ilmu namun niat itu seakan telah terhapus dan sirna seketika dalam waktu sekejab. Karena Ustad Faqih tidak hadir.

 Di aula tadi telinganya hanya mampu mendengar bunyi rintikan air hujan. 

Kipas angin yang berputar dan tentunya suara pembicaraan para santri putri yang seangkatan dengan Laila. 

Semua itu terasa seperti mengusik. Bahkan rasanya ingin pergi dari aula tersebut secepatnya.

Kitab akhiyak mapel pelajaran diniah di hari ini sengaja Laila tinggalkan di aula agar kitab itu tidak basah bersaaman dengan dirinya yang terkena guyuran hujan. 

Laila tidak akan pernah bisa mencegah hujan turun. Sehingga soal mau dan tidak maunya Laila tetap harus menerobos dinginnya air hujan ini,  dengan menguatkan diri untuk tetap melangkah. Meski Ia agak setengah sakit, semenjak pulang kuliahnya tadi.

Laila menjalani langkah perlangkah, menyelusuri jalan yang hanya mampu dilalui kendaraan bermotor dan tidak mampu bila untuk dilalui kendaraan yang sekiranya Besar, alias lebih dari beroda tiga.

Entah apa yang membuat jalanan-Jalanan di kawasan itu, mendadak begitu sepi. Bagai berubah karena suatu hal.

Sepanjang  jalanan yang terihat, hanya satu dua orang berjalan, dan tidak ada satupun kendaraan bermotor yang lewat,  baik sebuah becak maupun sepeda motor tentunya.

 Anak-anak kecil berumuran lima tahunan yang biasanya menikmati titik- titik air hujan ini dengan penuh keriangan kini sudah tidak terlihat lagi di jalanan yang aku lalui, mungkin karena hari yang mengimpit pada senja yang akan berujung pada maghrib ini, membuat para orang tua mereka harus mengajak anak-anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah. 

Hingga suatu kawasan yang hampir setiap harinya ramai kunjung seakan terubah menjadi kawasan yang lenyap tanpa suara. 

Kali ini anak pondoknya, yang ikut diniah banyak yang sakit.

 Aslinya sama sepertinya sakit panas, namun tidak cukup tegar seperti Laila.

 Semisal saja Zizi dan Mifta. Gadis yang umurnya kurang dari dua tahunan darinya itu, juga  panas. Meski, biasanya tetap masuk walau berbagai keadaan. Yang ikut hanya yang tidak Laila kenal dekat.

Seperti angkatan bawahannya, Itupun rasanya tidak bisa seakrap yang diharap. Namun beda lagi bila rasanya diniah sore, tanpa ada Zizi dan Mifta, membuatnya harus berjalan sendiri tanpa bersamaan.

Apalagi Mbak Harvey yang sukanya ngerjain fisika meski waktunya nalar nadhom. 

Ia juga tidak ikut masuk, karena sakit entah sakit apa. Laila masih belum mengetahui hal itu secara jelas dari santri yang sepondok dengannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status