Share

Takdir Cinta Kita
Takdir Cinta Kita
Penulis: Pena_Malam71

Layaknya Bidadari

"Assalamu'alaikum, Mas."

Suara lembut itu tiba-tiba terdengar di telinga Hasan.

"Siapa pemilik suara itu? Aku belum pernah mengenalnya, apa orang lain? Tidak mungkin kalau itu suara Ibu, bukankah suara Ibu tidak seperti itu?"

 Hasan beranjak. 

Sekaligus Ia mengehentikan kedua tangannya, yang tengah menyapu teras rumahnya yang berserak dedaunan di antara tiang-tiang kokoh yang mengapit rumah. 

Nampaklah sosok gadis cantik berwajah seri, dengan riasan ala pengantin Kota Yaman melangkah di antara hembusan angin lalu.

"Subhanallah ... gadis itu begitu cantik. Namun aku tiada pernah mengenalnya."

Cahaya mentari siang itu, sebagian membias wajah gadis cantik itu. 

Seakan gadis cantik itu, menguasai sinar yang jatuh menerpanya.

Seketika Hasan tiada bisa berpaling. Justru Ia tidak akan pernah menghentikan tatapannya. 

Karena di balik tatapan itu, seperti tersembunyi suatu kesyahduan yang tiada pernah Hasan temukan.

Hasan mencoba mengfokuskan pandangan pada gadis cantik yang tengah menuju ke tempat Ia berdiri.

Gadis itu, memakai baju khas pengantin ala Yaman. Dengan hijab yang tertata rapi lengkap hiasan mahkota putih permata dan selendang panjang yang tergerai di bagian belakang kepala.

Gadis itu menempati posisi persis di depan Hasan. Hanya saja berjarak beberapa centi, dari tempat Hasan berdiri.

Hasan mengukur tinggi gadis cantik itu kira-kira, tingginya sebahunya. Bila gadis itu mendekat sedikit saja, pasti Hasan sudah bertemu dengan kening harum gadis itu.

"Kenapa gadis ini berada di depanku? Apa Ia akan menanyakan sesuatu? Ah, tidak mungkin. Mungkin akulah yang akan bertanya siapakah dirinya? Memangnya mau ngapain jam segini ke rumahku?"

"Wa'alaikumsalam. Mbak siapa?" 

Hasan menatap tajam.

Balasan gadis itu, mula-mula tersenyum teduh. Tangannya perlahan meraih tangan kanan Hasan yang telah berubah menjadi sedingin suhu es. 

Sebenarnya suhu ruangan tidak terlalu dingin, tidak juga terlalu panas.

"Aku adalah hasil doamu, pelengkap  kekuranganmu. Tujuanku menemuimu, aku ingin menitipkan tasbih suci ini kepadamu. Bila Mas, menayakan tentang aku. Cari petunjuk pada tuhanmu. Karena sesungguhnya dia-lah yang menciptakanku."

Gadis itu memberikan tasbih.

"Ya Allah, siapakah gadis ini? Aku tidak pernah kenal sama dirinya! Tapi kenapa dia datang dan langsung memberikan sebuah tasbih? Haruskah aku terima tasbih itu? Aku hanya melihat, wajahnya begitu lalu lembut. Wataknya pun sopan. Tidak mungkin dia gadis jahat. Bismillahirrahmanirrahim, aku mengambil saja tasbih itu. Aku yakin ini suatu petunjuk, mungkin aku harus lebih banyak berdzikir dengan tasbih pemberian gadis ini."

Hasan menerima tasbih itu. 

Hasan melihat sosok gadis di depannya itu telah tersenyum puas, seperti telah menemukan kebahagiaan di balik kesemuan yang pernah ada. 

"Tetaplah menjadi pelita kesejukanku. Kamu ialah bentuk cinta terbaik yang allah berikan padaku. Suatu saat kamu akan temukanku kembali di antara alam yang bertasbih, wasasalamu'alaikum."

Gadis itu dengan pelan mengambil langkah mundur ke arah belakang. Meninggalkan senyum dan salam saat mulai menghilang dari arah belokan rumah Hasan.

Hasan hanya bisa menatap dan membalas lirih salam itu.

"Wa'alaikumsalam ... kamu sekalian!"

Gadis itu memang telah pergi, seperti terbawa sinar mentari. Namun siapakah gadis itu? Yang pergi meninggalkan senyum dengan bau harum bak kasturi yang bukan hanya sekedar minyak wangi biasa.

"Gadis ini begitu aneh, Ia tiba-tiba datang menemuiku, lalu hanya memberikan sebuah tasbih. Apa dia bidadari? Ataukah makhluk biasa yang sering aku temui? Perilakunya berbeda dari semua gadis yang ada. Ia cukup berakhlak."

***

"Mimpi apa barusan? Siapa gadis itu?" ujar Hasan merenung sejenak di atas kasur lantai yang Ia tempati.

Tanpa disangka Ismail, salah seorang teman yang di sampingnya mendengar suara Hasan tersebut.

"Kamu mengatakan sesuatu?" tanya Ismail menyeka keheningan malam.

"Ya ... tapi sudahlah. Tidak sepenuhnya penting. Ayo tidur lagi!" jawab Hasan sambil kembali menarik selimut dengan langsung berbaring diri.       

Hasan mencoba menyamankan diri. Fikirannya masih melayang kisah mimpi yang barusan Ia rajut. Sedangkan hatinya masih separuh tanya mengenai gadis cantik yang mendatanginya. 

Apakah mimpi itu suatu petunjuk? Ataukah hanya sekedar mimpi biasa?

"Aku tidur." 

Hasan bersuara kembali.

Wajah Ismail setengah melongo. Melihat tingkah laku Hasan. Namun Hasan malah memilih tidur dibanding merespons pertanyaan Ismail lebih lanjut. Meski Hasan tahu kalau Ismail masih memperhatikannya. 

"Silahkan tidur ... aku ke hamam dulu!" jawaban Ismail disanding beranjak dari kasur lantai yang ia tempati.

"Ya ...."

***

"kapankah saatnya aku temukan sosok yang layak dirindukan dan layak didoakan selain keluarga?"

Laila  sempat menulis pertanyaan kecil itu di halaman buku harian kecilnya. Tepat saat dosen kuliahnya keluar ruangan. 

Pukul 14.00 

Jalanan Yaman terpadati banyak kendaraan lewat. Jadwal kuliah Laila terlaksana. 

Laila letih, kali ini Ia begitu menguras banyak tenaga untuk segala aktivitasnya, belum lagi sepulang kuliah Ia harus menjalani rutinitas diniah sorenya, yang dilaksanakan di aula yang jauh dari singgah pondoknya.

Usai melipat mukenah, Laila langsung dengan cepatnya mengambil hijab almater diniahnya yang masih nyangkut di gantungan samping almari.

Dengan tergesah, Ia mengahampiri kaca berukuran besar dekat sudut kamar. Ia tahu, Nita lagi ada di sampingnya sambil makan ala khas pondok.

"Wajahmu kenapa pucat. Kamu lelah? apa kamu sakit?" 

Nita menatap Laila dengan wajah serius. Setelah Ia menelan nasi yang barusan Ia makan. Laila sekejab menoleh. Meski tangannya lagi sibuk menata rambutnya yang Ia kuncir.

"Mungkin aku lelah saja. Karena habis kuliah tadi habis ngejar angkot yang ketinggalan."

"Ya sudah, soalnya wajahmu terlihat pucat banget. Seperti orang yang kurang darah."

"Iyakah?"

Laila  kembali memandangi bayangan dirinya yang terpantul di kaca yang ada di depannya. Tangannya menyentuh dahinya. 

"Dahiku panas." lirihnya sambil menatap dan mendeteksi wajahnya lebih rinci.

Hatinya bertanya-tanya, apa benar dirinya lagi sakit? Tidak mungkin. Ia sadar wajahnya memamg pucat. Tapi Ia tidak bisa cukup merasakan lebih lanjut apakah Ia lagi sakit ataukah tidak.

"Dahimu panas ya ... kalau panas di pondok saja, istirahat dulu!" 

Nita kembali mengingatkan.

Laila diam sejenak. Ia mencoba membuat dirinya kuat. Ia hanya ingin diniah, bila mana di pondok mungkin yang Ia lakukan hanya bisa berbaring badan.

"Iya ... sepertinya memang aku agak sakit. Tapi bismillah aku akan tetap berangkat, demi mencari ridho guru.-" ujar Laila mantap hati.

"Ya sudah, kalau memang itu keputusanmu."

Nita tidak bisa mencegah kemauan Laila. Karena Ia tahu, kalau bila Laila sudah mengambil keputusan bakal tidak ada yang bisa mencegah.

"Aku berangkat, doain aku sembuh. Kamu masuk diniah tidak?"  lanjut Laila, sambil tangan menenteng kitab.

"Izinin saja, aku dah penat nih ... kalau aku ngikutin KBM diniah mungkin tidak ada yang keserap ke otakku ini."

"Ya sudah. Tyas mana?"

"Tadi dah berangkat sama nila. Salamnya tadi, kalau kamu nyari ... aku suruh ngejawab kalau dia sudah berangkat duluan."

"Oh. Iya sudah, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status