Share

Pemilik Suara

Hembusan angin seakan menyentuhkan nafas Laila secara langsung dengan pemilik suara itu. 

'Apakah ini mimpi?'

Laila memperhatikan wajah kuning langsat pemilik suara itu yang terkena air, peci hitam yang masih menetap dikepalanya. 

Kemeja birunya yang basah kuyub, bahkan cara pemilk suara itu memandangnya dengan senyum ramahnya.

Semua begitu terekam jelas dibenak Laila.

 

Namun Tidak terhitung beberapa selang detik iman Laila mengingatkan. Bahwa apa yang ditatapnya adalah seseorang lawan jenisnya.

'Seharusnya aku tidak menatapmu begitu dalam. Sehingga aku tidak menaruh sedikit rasa padamu. Namun sejujurnya aku mulai mengagumimu, entah kenapa? aku benar-benar tidak tahu.'

"Pergilah ... semoga allah selalu melindungimu di setiap langkah dan setiap detik selangnya waktu!" 

Laila menganggap pemilik suara itu adalah seorang lelaki yang mengerti tentang cara mengahargai seseorang. 

Laila mungkin masih berusah bila melakukan hal yang sama seperti yang tengah dilakukaan pemilik suara yang masih ada didepannya itu.

 

"Terima kasih, wassalamu'alaikum ... semoga allah melindungi Mas juga."

Laila terhenyak, mulutnya yang  berkata menimbulkan sejuta kegugupan. Begitu gorigihnya melantukan kalimat itu. 

"Waalaikum salam, sebentar."

Laila mengehentikan langkah, namun tidak membalik badan. Hanya mencoba menolehkan pandangan ke arah kanan dan sedikit menunduk.

"Ada lagi, Mas?"

"Namamu siapa?"

Laila tersenyum.

"Laila, Mas."

"Iya, kalau aku namanya Hasan."

Diam-diam Laila tersenyum.

Salam itu mengakhiri pertemuan di antara Laila dan pemilik suara itu yang bernama Hasan. 

Sebelum langkah Laila lima langkah hampir menjauh darinya. Hati Laila rasanya ingin menoleh pemillik suara itu kembali, apa mungkin Ia telah pergi bersama keheningan dan guratan air?

Pandangan mata Laila akhirnya, menoleh belakang.  Terlihat pemilik suara itu barusan membalik badan dan melangkah menyelusuri jalan sana, yang harus basah karena Laila.

'Kerinduanku, selain pada kasih sayang Allah dan menginginkan syafaat nabi rosul, sekiranya perlahan juga kerinduanku hadir juga untukmu. Jujur, kamu perlahan masuk dalam kalbku, melukiskan kenangan dibalik wajah solihahmu yang pernah aku lihat.

 Batinku tenang bila rasanya aku menyertakan namamu sekalian, dikala doa mungkin perlahan tanpa sengaja kamu meninggalkan benih-benih kerinduan kamu saat kamu melangkah di tengah hujan di sore tadi.

Hingga aku bisa merasakan rasanya hati bila begitu dekat dan menggenggam erat. Aku rasa sesuatu telah terjadi.

Apa pertemuan antara aku dan kamu di tengah hujan sore waktu tadi direncanakan Allah? Aku tidak menyangka hal itu terjadi.

Sejujurnya dilemanya aku mengingat detik-detik di mana saat dirimu berbicara. Namamu pantas kamu peroleh. 

Wajahmu pun pantas untuk cantik, karena aku tahu allah juga menciptakan hati yang bersih juga untukmu.

 Mulai detik ini entah kenapa dengan perlahan semua berubah. Senja di saat hujan tadi membuat aku terhenyak dalam kemauan dan kenekatanku untuk mendekatimu, rasanya batin ini mendadak ingin menghampiri kamu yang menguasai kedinginan di saat Hujan sederas itu, mungkin kamu juga perlahan merasakannya.

 Bahwa senja di saat hujan tadi membawa aku pada ketenangan dibalik hujan, langit saksi bisu awal perjumpaan denganmu angin menjadi pesan hati yang tergores dalam batin aku yang terpendam. 

Air hujan sesekali membuat irama-irama kecil saat membasahi bagian tubuhmu denganku. Puisi dan syair rasanya ingin aku ucapkan hingga aku bisa yakin kamu bidadari yang sengaja allah ciptakan untukku selama-lamanya. 

Namun benar tidaknya rasa ini, cukup tuhan yang tahu. Tuhan tidaklah mungkin membuat pertemuan tanpa sebab dan pasti alasan dibalik pertemuan itu, bila memang takdir aku mengenal kamu untuk lebih dekat dan melengkapi ceritamu yang kurang lengkap, maka suatu saat allah pasti akan membuat pertemuan aku dengan kamu berarti hingga menuju jalan pernikahan. 

Aku berharap kamu sosok wanita solihah dari sejuta ribu banyaknya wanita yang hanya kaulah yang bisa memperbaiki  kerinduan menjadi unsur iman dan mengokohkan cinta dengan ketaqwaan.

 Batin aku tadi sempat bertanya tentang apa rasa kerinduan yang terkapar selayaknya daun. Namun allah ternyata adil membuat aku harus melakukan menitan bersama denganmu tanpa kesengajaan dan tanpa hasrat.

Aku mampumenahan basah, namun aku pula sadar saat kerinduan terkapar aku tak mampu mencegahnya. 

Terima kasih tuhanku. Segalanya yang kamu rencankan begitu indah dan sulit dirasa, tak terbayangkan juga. Kamu buat dingin aku berarti walau aku rasa hanya sekejab.

 Kenikmatan dinginnya hujan saat pertemuan yang membuat nalar aku tak bisa diduga. Dengan beribu kelegahan yang pertama kali aku merasakannya.

    

***

Laila

"Laila, bika kamu baru saja sampai, di mana yang lain?"

 Salah seorang teman Laila yang bernama wichdah mendadak menghampirinya, di tengah Laila menaruh payung pemberian pemilik suara tadi.

Laila sempat tercengang, baru saja Laila tiba di pondok Ia sudah memberinya pertanyaan.

 Laila sengaja menaruh payung itu, di kawat hitam dekat pintu ruangan belakang koridor. Dengan harapan, Laila mungkin kembali bertemu dengannya. 

"Mungkin masih di aula, aku juga belum melihatnya selepas ku beranjak terlebih dahulu."

Laila sedikit tersenyum.

Laila menatap wajah Wichdah yang berdagu dua, mata berlensa biru dan ekspresi wajahnya membuat Laila ingin sekali, mencubit kedua pipinya. 

Wichdah masih terlihat berwajah imut, meski ia hampir mengalahkan postur tubuh Laila yang agak kurus. Tingginya sudah mendahului Laila.

"Oh ... gitu ya ... tunggu, bukankah kamu tadi berangkat tergesah hingga tak membawa payung? bahkan kata Nita kamu lagi sakit, Lantas ini payung siapa?" tanya Wichdah menunjukan wajah.

Rasanya Laila agak sedikit bingung mengatakannya.

 Mulut Laila mendadak membisu, entah kenapa juga tiba-tiba pula Laila memikirkan kembali sosok lelaki itu. 

Bagi Laila biasanya sulit melupakan wajah apalagi keramahan yang selama beberapa menit di senja tadi hilang tanpa bayangan pemilik suara itu. 

Apa mungkin semua ini timbul hanya karena perasaan Laila?

"Payung pemberian dari allah ... yang terdapat anugrah rahmat di dalamnya."

"Maksudmu, Ila? kamu ... kamu ... sungguhan?" tanya Wichdah yang tak sengaja melihat Laila yang berkata tanpa mengedip mata, dengan tatapan melamun. 

Apa Laila baik-baik saja?"

"Maksud aku ... tadi waktu pulang diniah tadi ada pemuda laki-laki memberikan payung ini padaku. Saat aku tanyai alasan apa yang membuat Ia harus memberikan payungnya padaku. Ia hanya menjawab bahwa Ia tak sanggup melihat aku kedinginan. Bahkan Ia sendiri tahu kalau aku lagi sakit. Subnallah, dia begitu perhatian dan tahu keadaanku." 

Laila tersenyum sipu.

"Oh ... gitu apa ceritanya, ya sudah Laila cepat ... kamu ke belakang sana, ganti pakaian kamu yang basah kuyub itu. Kalau ingin makan kamu duluan saja. Aku menunggu anak diniah sore aja di sini."

"Kalau itu keputusanmu ya sudah, kamu sudah makan?"

"Nggak jadi makan di sini, soalnya tadi Ayah Ibuku nyambang ... alhamdulilah, selain membawa kabar baik keluarga, Ayah Ibuku membawa, makanan kecil dan tambahan uang."

"Ya, alhamdulillah. Jadi kamu mau ngapain di sini?"

"Cuman Ingin iseng aja nungguin semua anak yang pulang dari diniah."

"Ya sudah, mari!"

Tangan Laila mulai mendarat di pegangan tangga yang akan dinaikinya.

"Mbak Wichdah."

Laila mendengar suara seseorang dari arah belakang, memanggil hanya satu nama yakni Wichdah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status