Share

Tentang Cinta

Hanyalah ada cahaya kilat yang memancarkan kekhawatiran, menyambar kesegala arah dari atas langit yang kali ini dilihat Laila.

"Hai ... hujan ... hujan deras, cepat masuk aula!" teriak santriwati yang kerap tertimbun kerisauan.

Laila setengah berlari kecil, meninggalkan cara berjalannya yang begitu pelan. Demi mempercepat langkah, Seakan Laila mendadak di kejar-kejar oleh derasnya air hujan yang ingin menuju ke arahnya dari arah belakang.

"Alhamdulilah, sekiranya allah menyelamatkannku dari derasnya hujan. Bila tidak, mungkin seragam diniahku akan basah kuyup saat memasuki aula."

Nafas Laila seperti tersengal-sengal dan ada juga beribu kelegahan. Laila terdiam sejenak. Menghentikan langkah untuk segera mengambil posisi duduk.

Ia berdiri membelakangi pintu, di samping pula gorden jendela aula yang masih terikat. Tiada kaca putih ataupun hitam yang mampu menutupi lukisan-lukisan alam tiga dimensi itu.

Jendela hijau itu, hanya ada kawatan yang tersusun secara rapi berbentuk belah ketupat berukuran kecil. 

Hal itulah yang sesekali membuat Laila tertarik untuk tidak mengambil posisi duduk dahulu. 

Namun, memilih untuk berdiri dan terpaku dalam diam tanpa suara. Hanya dengan melihat dan mengamati lambaian daun hijau yang agak jauh dari pohon jambu dekat aula, yang bila mana daun itu tersentuh oleh tetesan hujan. 

Agak dekat dari pintu masuk aula yang kini Laila tempati, air hujan yang turun deras di atas genteng-genteng bangunan, kini menuruni pipa-pipa besar. 

Sehingga kini terbentuklah air terjun kecil, yang membasahi keramik-keramik putih di sepanjang jalan mendekati pintu masuk.

Dalam sekejab Laila lupakan tentang badannya yang setengah sakit.

***

 Saat hari telah semakin gelap, di mana di kala hawa dingin telah mengalahkan kehangatan ruang.

 Diam Hasan yang disanding menempatkan badannya, di atas kursi lipat. Membuat Hasan harus mengingat kegiatannya dalam aula luas tadi. 

Aula luas yang sengaja disinggahi oleh angkatan Hasan yang berjumlah 32 anggota. khusunya di hari rabu ini, banyak menyisahkan tempat kosong. Bukan hanya di sebelah pojok dinding ataupun bagian yang tengah.

 Hasan sangka hujan lebat telah membuat Ustad Irwan malas untuk mengajar. Namun nyatanya sebaliknya beliau malah bersemangat, menerangkan beth-beth alfiyah yang sudah hampir delapan ratus lima puluhan itu. 

Syukurlah, setidaknya materi Alfiyah tidak jadi ketinggalan jauh dari yang lain.

Ustad Irwan memasuki kelas, tepat di saat semua kelas lain bersamaan jam kosong yang hampir membuat semua kelas diniah dari angkatan kelas 1 hingga kelas 5 ramai.

 Mungkin ada juga yang tidak ramai, merekalah yang biasanya berilmu tinggi. 

Hasan dan seangkatanya merasa beruntung, setidaknya masih bisa menerima ilmu di dalam keadaan dingin seperti ini.

 Dibandingkan kelas lain yang bisanya ramai, atau mungkin penghuni kelasnya tidak tidur. 

Ustad Irwan memang orangnya disiplin, namun di samping mengajar Alfiyah, Ia selalu menerangkan tentang penyelesaian masalah meski tidak ada dalam kitab Alfiyah itu. 

Atau, paling tidak caranya untuk membangunkan semangat santri yang ia ajar, dengan cerita. Atau, bagi yang pandainya tidur di kelas melulu, ia menyuruhnya membaca puisi.

 Entah puisi itu tentang cinta atau mendeskripsikan alam. Semua hal itulah, membuat mood para Santri yang di aula kembali fresh.

Ustad Irwan barusan 10 menit yang lalu keluar, sebelum bel tepatnya. Hal itulah mungkin membuat santri yang di aula putra mengawali pulang sebelum waktunya. Meski ada juga yang terpaku di ambang pintu, sambil menikmati keadaan.

 Hasan  melangkah selekas cukup berteduh di bawah payonan asbes, yang baru terpasang seminggu lalu.

 Payonan asbes itu, sengaja dibuat oleh Kepala Madrasah Diniah saat waktu kelas 5 semester lalu, memang pemasangan asbes itu, sudah direncanakan. Namun sehubungan dana baru ada sewaktu Hasan telah menginjak kelas 6 ini, barulah dibangun. 

Mega merah mulai terlihat lebih jelas, dibandingkan yang sebelumnya. Namun sudah terlihat  cahaya senja menyorot sekaligus membias halaman-halaman kelas yang bersinggah, dan sebagian cahayanya terperangkap masuk ke dalam. 

Hujan deras masih mengguyur lebat, merisaukan hati yang awalnya tenang.

Tumpukan sampah depan aula yang belum sempat dibuang oleh sang pembersih sampah. Membuat pandangan Hasan setengah terganggu, melihat lalat-lalat dengan nyamuk berkrumun di atas tumpukan sampah itu.

Hasan bangkit dari duduk. Melangkah menuju Ismail yang berdiri tegak, di ambang pintu aula. 

Ia adalah salah satu teman kamar Hasan yang juga mengikuti Diniah sore ini dengan istiqomah. Meski Ismail tidak terlalu serius, saat mempelajari pelajaran yang diajarkan lebih lanjut.

Mulut Ismail terdiam, Hasan lihat tangannya sibuk menyentuh air yang jatuh di sekitarnya. 

Seakan Ia tiada mengenal rasa dingin.

Hasan berfikiran, bila Ia menuruti hujan deras dan tidak segera pulang. 

Bisa-bisa maghrib sudah mendahuluinya sebelum masuk pondok. Hasan menyentuh pundak kiri Ismail, dan berdiri langsung di belakang Ismail.

"Dirimu ini tidak mau balik ke pondok, keburu adzan maghrib. Jalanan nanti malah nambah gelap."

Ismail tidak tersentak ataupun menjawab pertanyaan yang Hasan lontarkan. 

Hasan tidak tahu, di mana fikiran Ismail saat ini, tatapannya memang fokus memandangi lingkungan diniah yang lagi terpampang jelas di depannya. 

Terlihat dari ekspresi wajah nya sepertinya sedang risau atau mungkin penuh tekanan.

 Pamit Hasan saja, rasanya setengah direspon oleh Ismail, bukan hanya setengah. Namun hampir seratus persen bagi ismail adalah tidak merespons, alias tidak diperdulikan.

 Entah Ismail  sibuk memandang hal apa, Hasan rasa hanya ada air yang jatuh. 

Apa melihat hal itu lebih penting, sehingga Ia hanya perlu berkata dengan tanpa memandangi teman yang mengajak Ia berbicara?

Secara terang-terangan Hasan menatap wajah coklat sawonya yang terutama dari arah samping, Ismail  hampir terkena guratan air, namun Ismail tidak memperdulikan hal itu.

Tangan bagian kanan Ismail, memegang pecinya yang telah basah sehabis salah seorang temannya tadi, menjatuhkan peci miliknya di air yang menggenang diam di depannya. 

Kini hanya seragamnya yang masih kering. Seakan wajahnya terlukiskan isakan kerinduan, namun sepertinya di balik rindu dalam hujan di senja ini masih belum ada balasan. 

Mungkin seseorang yang dirindukannya tidak merasa bila telah dirindukan.

 Selang dua hari sore itu, usai taqror. Ismail tiba-tiba menceritakan pada Hasan tentang rasanya  mencintai namun Ia masih belum merasakan manisnya bila dicintai.

 Entah harapannya apa mencertikan hal itu pada Hasan, sejujurnya Hasanpun masih belum bisa merasakan kenikmatan dari keduanya. 

Dulunya pernah,  Hasan mencintai seorang gadis. Namun, mungkin cinta monyet. Karena Hasan juga lupa tentang nama dan wajah gadis itu, semenjak berapa lama Hasan dan dia pisah.

 Ismail, sekiranya dia sudah dua tahun mengagumi gadis pilihannya, namun belum mampu untuk mengatakan tentang perasaannya. 

Selain itu Ia merasa berkali-kali ingin menyapa gadis itu, justru gadis itu selalu menundukkan kepala. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status