Khairul tengah asyik menikmati makan siangnya. Nasi putih dengan lauk kepala patin gangan asam dan segelas es teh yang melengkapi makan siangnya dengan begitu sempurna. Meskipun menu masakan ini adalah khas Banjar, tetapi dia berusaha menikmatinya dengan sepenuh hati.
Sebagai orang proyek, dia sudah terbiasa menikmati masakan di luar dari masakan daerahnya. Lidahnya sudah terbiasa beradaptasi dengan aneka macam rasa masakan.
Terkadang ia merindukan masakan dari daerahnya. Gulai ikan patin dan asam pedas ikan baung. Bahkan setiap kali ia pulang ke Pekanbaru, ibunya selalu memasak masakan itu dan ia sangat menyukainya. Akan tetapi, di daerah ini mungkin tidak pernah ia temukan, karena tidak ada warung makan yang menjual masakan khas Pekanbaru di sini.
Laki-laki muda itu tersenyum. Tiba-tiba ia merindukan orang tuanya dan kampung halamannya nun jauh di pulau Sumatera sana.
Drrtt..
Khairu
Drrtt drrtt .... Sebuah notifikasi pesan dari aplikasi hijau bergambar telepon di ponselnya membuyarkan lamunan Naila. Dia meraih ponselnya dan tertera nama Khairul di layar. Wanita itu tersenyum simpul. [Met malam, Ade. Lagi apa?] [Lagi berbaring, Bang. Ini mau siap-siap tidur] [Berarti Abang mengganggu dong?] Naila menggelengkan kepala sambil terus memainkan jarinya untuk mengetik pesan buat Khairul. [Tidak, Bang. Nai belum ngantuk kok. Santai aja] [Oh,ya? Makasih ya, Nai. Udah menemani Abang ngobrol malam ini] [Nai, boleh Abang tanya nggak?] [[Boleh, Bang. Mau tanya apa?] [Apa makanan kesukaan Nayra?] [Ayam goreng] [Kayak Upin dan Ipin saja] Naila tersenyum membaca chat laki-laki itu. [Emang dia pengikut Upin dan Ip
Pagi bersemi dengan indah. Matahari tampak malu-malu muncul di ufuk timur. Sinarnya belum begitu terasa menghangatkan mayapada. Naila baru saja selesai menerima setoran hafalan dari Nayra. Dia menutup Al Qur'an tikrar nya dan meletakkannya kembali di atas meja "Mama," ucap Nayra Naila menoleh. Dia menatap lekat wajah putrinya. "Ada apa, Nak?" "Om Ammad ke sini lagi nggak ya, Ma? Nayra pengen sarapan bersama om Ammad lagi," ucap gadis kecil itu. Nayla tersenyum. Dia mengusap kepala putrinya. "Om Ammad tidak bisa sering-sering ke sini, Nak. Om Ammad kan kerja. Nanti kalau om terlambat kerja karena sarapan bersama Nayra, gimana? Kan kasihan," ucap Naila menjelaskan. "Andaikan tempat kerja om Ammad itu dekat dengan rumah kita, mungkin Mama bisa bantu Nayra untuk meminta tolong om agar setiap hari sarapan di rumah kita, tapi tempat kerja om Ammad kan jauh dari rumah kita.
Tepat pukul delapan pagi, Naila sampai di warung ibu Diana. Setelah memarkir sepedanya di tempat biasa, ia bergegas melangkah memasuki ruangan warung yang masih tampak sepi. Kepalanya masih berdenyut ingat insiden tadi pagi saat Khairul datang dan mengajak sarapan putrinya. Khairul. Tiba-tiba melintas nama itu dibenaknya. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba laki-laki itu datang ke rumah. Bahkan tanpa mengajak Ammad yang merupakan sahabat dan juga bosnya. Dia datang sendiri dengan membawa sarapan buat mereka. "Nai." Sebuah suara mengagetkannya. Dia tertunduk menyaksikan sosok ibu Diana yang berdiri tak jauh dari dirinya. "Pagi-pagi sudah bengong. Ada apa, Nai?" tanya ibu Diana. Naila menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya masalah Nayra. Biasa itu. Maklumlah," sahut Naila. "Kenapa lagi dengan Nayra? Merengek minta ketemuan sama si Ammad?" "Iya. Tadi temannya Bang Ammad berkunjung ke rumah, tapi Bang Ammad tak ikut. Na
Khairul mengusap wajahnya dengan kasar seraya mengucapkan istighfar berkali-kali. Baru saja ia memulai, ia sudah mendapat batu sandungan. Tak main-main. Justru dari atasannya sendiri. Dia heran, kenapa Nayra begitu lengket dengan Ammad. Gadis kecil itu bahkan menangis saat tahu bahwa om Ammad-nya tidak ikut saat dia berkunjung ke rumahnya tadi pagi. Khairul menggelengkan kepala. Apa istimewanya laki-laki itu? Jangan pernah bilang kalau laki-laki yang merupakan atasannya itu tulus. Toh pada hakekatnya, mereka sama saja. Mendekati anaknya buat mengambil hati ibunya yang konon sangat susah untuk di sentuh. Sudah tujuh tahun Naila menjanda dan begitu banyak laki-laki yang tertarik padanya. Naila tak juga bergeming. Entah laki-laki seperti apa yang di carinya. "Resiko mau menjalin hubungan dengan seorang janda," keluh pemuda itu dalam hati. Dia harus menaklukkan dua hati sekaligus! Drrtt... Khairul meraih ponsel yang terletak di
Suara azan magrib baru saja menghilang, berganti dengan suasana sunyi dan disertai angin yang merekam gema takbiratul ihram dan memulai sebuah ritual penyembahan. Ammad khusyu dengan shalatnya. Dia memasrahkan semuanya kepada Allah. Hidup dan matinya, gerak dan diamnya, semua dalam kehendakNya. Gerakan shalat dia lakukan dengan sebaik-baiknya, agar semua amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Selesai shalat Ammad bergegas keluar dari masjid itu. Dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman masjid. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. Lelah fisik dan juga hati, karena mengendalikan rasa cemburu bukan perkara mudah baginya. Sembari terus melangkah, ia menatap sekeliling langit malam yang gelap dan hanya dipenuhi oleh titik-titik bintang yang gemerlapan. Sementara sang rembulan justru tak terlihat dalam pandangannya. Selamanya kita akan di sini, menjaga kitab rahasia yang bertahan hidup dari melukis awan di antara derai hujan. Tampak
Malam semakin larut. Naila yang tak bisa tidur beranjak bangkit dari tempat tidurnya kemudian melangkah keluar kamar. Keningnya berkerut ketika mendapati lampu di dapur masih menyala terang. "Abang,"tegur Naila. Dia mendapati laki-laki itu sendirian di dapur. Di tangannya ada secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. "Minum,Dek," katanya.Dia menyerahkan cangkir berisi teh itu kepada Naila. Naila menggelengkan kepala. "Ade tidak haus, Bang. Tehnya buat Abang saja." "Naila hanya tidak bisa tidur malam ini," keluhnya.Wanita itu menarik kursi dan duduk di atasnya. "Abang juga tidak bisa tidur, De," sahutnya. Mereka duduk berhadap-hadapan. Laki-laki itu menyeruput teh yang tadi dibuatnya sedikit demi sedikit. Sekejap kemudian ia menghela nafas panjang. "De,boleh nggak Abang tanya sama Ade?" Pemilik sepasang mata itu me
Ammad menatap wajah Naila begitu lekat seakan berusaha menyelami apa yang tersirat di balik wajah manis nan sederhana itu. Jarinya menunjuk sosok mungil yang tengah tertidur lelap di atas ranjang. "Lihat anak ini, De. Seumur hidupnya dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Abang sangat menyayanginya, De. Anak ini pun merasa nyaman saat bersama Abang. Apakah itu kurang cukup meyakinkan buat kamu untuk menerima Abang?" ucap Ammad. "Abang akui, Abang yang salah di sini. Abang sudah lancang masuk ke dalam kehidupan kalian, padahal Abang sudah memiliki keluarga di kampung halaman Abang. Perasaan hati Abang tidak bisa dibohongi dan cinta itu tidak punya indera, De.Dia tidak pernah permisi,mau ke mana dia melabuhkan dirinya. Abang mencintai kamu, De." "De, kamu boleh merasa ragu-ragu dalam mencintai Abang, tapi pikirkanlah putrimu. Apakah kamu tidak kasihan dengan dirinya? Dia butuh figur seoran
Kata-kata itu begitu tegas sekaligus menusuk hatinya. Dia nyaris tidak mempercayai pendengarannya sendiri Bagaimana mungkin dia bisa menjauh dari wanita pujaannya? Bagaimana bisa dia menghindari gadis kecil kesayangannya yang selama ini begitu dekat dengannya? Baiklah. Mungkin dia begitu lancang malam ini dengan meminta Naila menjadi istri sirinya. Akan tetapi, semua itu dilakukannya bukan hanya sekedar karena nafsu syahwat dan membunuh rasa kesepiannya. Entah kenapa dia seakan di tuntun untuk melindungi sosok gadis kecil yang begitu menyayanginya itu. Ammad kembali menatap sosok mungil yang tengah tertidur lelap itu. Dikecupnya keningnya sekilas dan dibelainya rambutnya. Dia membenarkan selimut yang menutupi tubuh gadis kecil itu. "Maafkan Om, Sayang. Om belum bisa meruntuhkan ego ibu kamu. Dia begitu keras dengan pendiriannya. Om tahu, ibu kamu juga menyimpan rasa yang sama seperti yang om rasakan saat ini. Hanya saja, rasa itu tidak bisa merobohkan