Setelah Nayra berangkat ke sekolah dan menghabiskan sarapannya, Naila segera beranjak keluar dari kamarnya. Dia melangkah menuju dapur dan menaruh nampan dan gelas bekas sarapannya di atas tempat cuci piring.
Setelah itu, ia beranjak menuju kamar mandi. Begitu sampai di ruangan kecil itu, ia menggelengkan kepala melihat tumpukan pakaian kotor di sebuah ember besar yang sudah menanti untuk di cuci. Dia menghela napas panjang.
Tak berselang lama, Naila pun keluar dari kamar mandi dengan menenteng sebuah ember besar berisi cucian yang telah bersih. Dia berjalan menuju halaman samping rumah.
"Naila." Sebuah suara memanggilnya. Naila menoleh ke belakang.
"Kak Syifa," ucapnya. Dia tersenyum kecut. Wanita itu tengah berjalan menghampirinya.
"Ada apa, Kak?" tanya Naila.
"Tadi kata Kak Rahman, Kamu sakit. Emang benar?" Syifa mengambil sepotong pakaian di ember, kemudian meren
"Ya Kak, ada apa?" tanya Naila. "Tolonglah, Nai. Pertimbangkan lagi soal kak Rahman. Kakak kasihan dengan dia. Dia itu sebenarnya baik, Nai dan dia serius dengan kamu. Walaupun mungkin dia hanya bisa menjadikan kamu sebagai istri keduanya," ucap Syifa. Naila menundukkan kepala sambil terus mengaduk nasi di dalam panci. "Nai tidak tahu, Kak. Tapi yang jelas, Naila belum ada pemikiran untuk menikah sekarang. Jadi tolong, mengertilah keadaan Nai." Naila menghela nafas. "Kakak mengerti, tapi coba kamu pikir, mau sampai kapan kamu hidup menjanda? Emang kamu mau menjanda selamanya? Kamu itu masih muda loh Nai.. Kakak aja yang lebih tua dari kamu masih berpikir untuk menikah lagi, kalau memang ada laki-laki yang tepat nantinya," ucap Syifa membujuk wanita di hadapannya itu. "Naila juga pengen menikah, Kak, tapi bukan dengan laki-laki yang sudah beristri!" ucap Naila dengan tegas. "Apa salahnya, Nai? Sebenarnya nih ya, Kakak pengen kasih
Hoek Hoek.. Ada yang bergejolak di perutnya. Mendadak perut Naiia menjadi sangat mual ketika membuka rantang yang berisi makanan pemberian Syifa tadi siang. Dengan gerakan refleks, dia kembali menutup rantang tersebut. "Ada apa, Mama?" tanya Nayra. Dia menatap wajah ibunya yang terlihat pucat. Naila menggelengkan kepala. Dia mengambil segelas air putih dan segera meminumnya. "Tidak apa-apa, Nak. Mama hanya merasa sedikit mual saat mencium bau sayur sop yang diberikan oleh bibi Syifa tadi," ucap Naila. Nayra menganggukan kepala. "Ya sudah, sebaiknya Mama tidak usah makan makanan itu." "Ya, Nak. Mama mau bikin telor dadar aja," ucap Naila masih menutup lubang hidungnya dengan salah satu tangannya. Naila membuka kulkas dan mengambil sebutir telur di sana. Ia mengiris sedikit kol, wortel, daun bawang, bawang merah dan bawa
Sementara itu di sebuah ruangan yang tampak mewah dan berukuran luas, Rosita bersimpuh di hadapan suaminya. Di belakang Rosita, tampak Ayah, Ibu dan kakak-kakak Rosita yang lain, Ihwan, Anwar dan Khadijah. Mereka semuanya menundukkan wajahnya. "Ampuni Rosita, Bang. Rosita mohon, rujuklah dengan Rosita. Kasihan bayi ini," ucap Rosita. Dia mengelus perutnya yang mulai membuncit. "Kamu ingat kan Ros, kapan terakhir kali kita berhubungan badan?" tanya Ammad. "Rosita tahu, Bang dan Rosita tahu kalau ini bukan benih Abang," sahutnya. Laki-laki itu tersenyum miring. "Kamu itu Ros, sudah selingkuh dengan laki-laki yang lain, memberikan tubuhmu buat laki-laki lain, terus hamil dan Abang yang kamu suruh bertanggung jawab. Begitu?" "Kamu kan bisa minta laki-laki itu untuk bertanggung jawab?" Ammad berusaha menekan emosinya karena di situ ada mertua, abang dan kakak iparnya. "Nggak mungkin lah, Bang. Laki-laki itu sudah punya istri d
"Kamulah yang mengacaukan hidupmu sendiri, Ros. Kakak sudah berulang kali memperingatkan kepadamu. Jauhi Irwan! Jauhi Irwan! Jauhi Irwan! Sekarang apa yang kamu dapatkan?" balas Khadijah. "Sekarang kamu hamil dan Irwan sama sekali tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilan kamu. Kalau pun dia mau bertanggung jawab juga tidak mungkin. Lalu apa artinya semua itu, Dek? Hubungan kalian tak lebih dari sebatas saling menguntungkan. Dia cuma ingin tubuh kamu. Dia cuma ingin kepuasan dari kamu, dengan memberikan sejumlah uang dan barang mewah apapun yang kamu inginkan. Apa bedanya kamu dengan perempuan-perempuan murahan yang biasa dia booking?" Khadijah meluapkan kemarahannya. "Cukup Khadijah. Jangan memarahi adikmu terus ...!!" bentak ibunya. "Kemarahan tidak menyelesaikan masalah, Nak. Kita semua harus mencari solusi, bagaimana menyelesaikan masalah ini." "Itu karena Mama terlalu memanjakan putri bungsu Mama ini. Akhirnya begini kan akibatn
Apa, Yah?" tanya Rosita cepat. "Kamu harus menjauhi laki-laki itu," ucap ayahnya Rosita mengangguk cepat. "Rosita menerima syarat dari Ayah. Lagi pula, buat apa Rosita mengharapkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti Bang Irwan?" "Bagus!" Laki-laki itu tersenyum. "Syarat yang lainnya adalah serahkan kartu kredit milik kamu. Ayah akan menggantinya dengan kartu debit. Ayah akan mentransfer sejumlah uang untuk keperluanmu dan kehamilanmu. Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri hidup sederhana dan menjauhi barang-barang branded yang telah membuatmu lupa diri itu," "Ayah!!" teriak Rasita. "Kok Ayah tega sekali sama Rosita? Rosita kan anak kesayangan Ayah," rajuknya. Khadijah dan Anwar hanya mendesah melihat kelakuan adik mereka. "Kamu tinggal pilih, Ros. Apakah kamu tinggal di apartemen Ayah di Medan atau tinggal di rumah peninggalan almarhum orang tua kakak ipar kamu di kampung," ucap Ihwan, Abang keduanya y
"Rosita hanya ingin tahu, Bang," ucap Rosita. "Naila itu sudah Abang anggap seperti adik sendiri dan putrinya sudah seperti keponakan abang," ucapnya datar. "Akan tetapi, waktu itu naluri Rosita sebagai seorang istri berkata lain, Bang. Itu bukan kedekatan sebagai seorang Abang ke adiknya, tetapi hubungan yang mengarah kepada percintaan." "Ini naluri sebagai seorang istri, Bang. Oke, Rosita memang salah. Rosita terlalu mengikuti hawa nafsu dan tuntutan hidup Rosita yang ingin bergaya hidup tinggi. Tapi ingat, Abang itu milik Rosita. Abang bisa membayangkan seandainya kalau kita memiliki sesuatu dan sesuatu itu diambil oleh orang lain bagaimana rasanya?" "Kemarin Rosita menemukan ponsel Abang menggunakan wallpaper foto wanita itu. Apa yang Rosita rasakan saat itu, sama seperti yang Abang rasakan saat ini. Abang benci dengan Rasita karena Rosita sudah menduakan Abang," tuturnya. "Tapi A
"Semudah itu kamu ingin lepas dari Abang, De. Sedangkan dalam perutmu ada anak abang," keluhnya. "Abang bukan tidak mau bertanggung jawab, tapi Ade masih terikat pernikahan dengan suami Ade. Mana mungkin Abang menikahi istri orang?" "Meskipun begitu, tidak seharusnya kamu menghindar dari Abang, karena biar bagaimanapun, Abang adalah ayah dari calon anak dalam kandunganmu," ujarnya. Rosita tertawa hambar. "Hubungan kita tak lebih hanya sekedar untuk bersenang-senang. Ade tahu kalau Abang sudah punya istri dan anak. Abang pun adalah pemain wanita. Jadi apa artinya kehadiran Ade ini buat Abang? Semua resiko dari hubungan kita, Ade lah yang menanggung." "Jangan bilang begitu, De. Sebenarnya Abang itu sayang sekali sama Ade, tapi Abang tidak berdaya. Abang tidak mungkin merebutmu dari suamimu." "Sejahat-jahatnya Abang, Abang masih memiliki perasaan dan hati nurani. Terus terang, semenjak Abang mengenalmu Abang tidak pernah lagi bermain wanita. Wani
"Paman mengerti jalan pikiranmu, Naila. Untuk itulah Paman kemari dengan Rahman, hanya ingin memastikan siapa sebenarnya dirimu. Orang yang bisa menepis ilmu yang Paman kirimkan kemarin pasti bukanlah orang biasa." Laki-laki itu menangkupkan tangan di dadanya. Dia menghela nafas. "Maafkan Kakak, Dik. Kakak yang ceroboh dan terlalu serakah ingin memilikimu, sehingga lupa menyelidiki asal-usulmu. Kakak malu denganmu, Dik. Seandainya Kakak tahu siapa dirimu, jangankan mengirim air pengasihan, meminta dirimu jadi istri kedua saja, kakak tidak akan berani." Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya. "Kamu terlalu mulia buat Kakak," ucap Rahman penuh penyesalan. "Tidak apa-apa, Kak. Naila paham dengan apa yang Kakak rasakan saat ini. Santai saja, Kak." Naila kembali mengurai senyumnya yang teduh. "Kita tetap berteman kan, Dik?" Wajah laki-laki itu terlihat memelas. "Iya, Kak. Jangan khawatir. Kak Rahman tetap teman Naila kok. Hanya saja, tolong jaga jar