Share

Takdir Cinta Perempuan Malam
Takdir Cinta Perempuan Malam
Penulis: Lia Lintang

Bab 1. Trauma

Rintik gerimis masih terlihat deras membasahi teras sebuah rumah besar bergaya eropa kuno. Terdapat banyak penghuni di dalamnya. Tak sekedar wanita dewasa, tapi beberapa gadis juga terpaksa ikut tinggal mengikuti ibu mereka di sana.

“Merry, lekas ganti pakaianmu! Ini sudah saatnya!” perintah wanita paruh baya tapi masih terlihat cantik bernama Elena.

Elena berteriak sekaligus melempar sepasang pakaian hingga mengenai wajah seorang gadis belia yang diajaknya bicara. 

“Tapi pakaian ini terlalu ketat, bahkan ukurannya terlalu minim, Bu! Aku tidak bisa,” tolak gadis belia bernama Merry yang kini rautnya berubah menjadi pucat pasi. 

Takut. Tentu saja. 

Geram, tentu saja Elena geram bukan kepalang. Ia tak suka perintahnya dibantah. Seketika tangannya yang semula gemetar langsung melayang menyambar rambut Merry dan menariknya kasar, hingga membuat Merry memekik kesakitan.

“Aduh, Ibu … sakit, tolong lepaskan,” rengeknya sambil terisak-isak sementara kedua tangannya berusaha menahan rambutnya yang dijambak.

Bukannya melepaskan, tapi Elena justru mendorong tubuh ramping dan mungil Merry hingga terdesak ke sisi tembok kamar. Tatapan matanya yang tajam tak berkedip sekalipun, mirip elang yang siap menerkam mangsanya. Sontak saja membuat Merry langsung menundukkan kepala ketakutan.

“Hei, gadis kecil! Kau ini ditinggal Ayahmu begitu saja padaku, tanpa uang sepeserpun. Dasar tidak tahu balas budi! Tidak mau uang kau!” teriak Elena sambil terus mendorong hingga tubuh mungil itu sedikit melesat hingga terdesak.

“Aku harus apa, Bu?” Merry menurunkan tatapannya sambil menangis.

“Ganti saja pakaianmu! Jangan menolak, lepas kaca matamu itu. Dasar kutu buku! Kau tahu, menjadi pelacur tak harus belajar, Merry!”

Merry mengagguk dalam ketakutan. Pipinya basah oleh air mata yang semakin deras luruhnya, sementara matanya terlihat sembab.

Terlalu menurut, memang. Mungkin semua itu ia lakukan karena takut. 

Melihat gadis itu mulai setuju barulah Elena melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu si gadis yang sebenarnya menahan rasa sakitnya sembari menggigit bibirnya sendiri.

Kemudian, dengan kasar, Elena merebut paksa, dan melempar kaca mata Merry hingga terjatuh ke lantai lalu menginjaknya.

KREK!

“Jangan!” teriak Merry yang tertahan serasa percuma.

Kaca mata itu terlanjur remuk di lantai ubin, sementara itu Merry menangis sambil berusaha memungutnya dengan pandangan nanar. 

Akan tetapi, menyadari Elena berbalik badan dan melotot ke arahnya, membuat Merry segera melangkah mendekati meja rias, meninggalkan pecahan kacamata yang berserak. Lalu Elena pun perlahan keluar dari kamar itu serta menutup pintu dengan keras, hingga menyisakan suara menggelegar dan mengagetkan siapapun yang berada di tempat itu.

******

“Di mana gadisnya?” tanya seorang pria bertubuh tegap dan berkulit gelap yang terlihat tak sabar menunggu.

Tergambar jelas dari gerak-geriknya yang mondar-mandir sejak ia datang tanpa henti. Dari tatapan matanya saja, bisa diterka jika ia bukanlah pria baik-baik. Sorot mata tajam itu terlihat menyeramkan bagi siapa saja yang ditatap.

“Sebentar lagi pasti siap,” sahut Elena mencoba menenangkan.

Benar saja, tak lama kemudian Merry melangkah pelan, mendekati mereka di ruang tengah. Gadis yang terbiasa berkaca mata itu, tampak ragu menapakkan kakinya ke lantai ubin.

Dari kakinya yang gemetar, bisa diduga ia tidak terbiasa menggunakan heels. Sang pria bertubuh kekar seketika tersenyum menyeringai menatapnya. Entah apa arti senyuman seringai menyeramkan itu. Seolah itu ejekan, atau justru ia anggap sebagai keberuntungan. Entah.

“Bawalah dia, seperti perjanjian kita, jangan lupa bayar aku dengan kontan!” perintah sekaligus seruan Elena yang mengejutkan Merry.

Seketika pipi mulusnya terasa tertampar mendengar dirinya sedang diperjual belikan. Sementara Elena, ia terlihat senang. Bibir mungilnya bahkan sempat tersenyum miring, menggambarkan betapa sinisnya wanita itu. 

“Bu,” panggil Merry yang tak lagi berlanjut melihat tatapan Elena yang tajam mengiris.

“Jangan panggil aku Ibu lagi mulai sekarang! Kau ini hanya anak tiriku, tahu!” hardik Elena.

Ia bahkan tak lagi peduli meski sepasang iris mata hazel itu mulai dipenuhi embun yag nyaris banjir dan luruh. 

“Aku akan mengingat hari ini,” sahut Merry pelan diiringi dengan derai tangis dan tubuh gemetar.

Elena tidak menjawab, tapi ia malah merespon dengan suara tawa ejekan terbahak-bahak. Terdengar menyakitkan di telinga Merry, bahkan mata gadis itu yang semula berembun seketika bulir bening mulai luruh membasahi pipinya.

Tak lama kemudian, disusul oleh hentakan kasar dari pria tadi yang langsung mencengkeram pergelangan Merry usai melemparkan sekoper uang kepada Elena yang entah berapa jumlahnya. Ia bahkan tak peduli dengan rengekan Merry yang terus meronta, brusaha agar pria menyeramkan itu memiliki belas kasihan dan melepaskannya.

******

Setelah sekitar dua puluh menit berlalu, pria menakutkan berkulit legam itu mendorong Merry ke sebuah ranjang berukuran king size, kamar yang tampak mewah berseprei putih berumbai di sekeliling sisinya.

Merry hanya mengerang kesakitan, karena ia tak bisa mengeluhkan apapun akibat bibirnya ditutup dengan lakban hitam, sementara kedua tangannya terikat ke belakang.

“Jangan berulah, dengar! Jika kamu bisa membuat Tuanku senang dan puas, aku akan membayarmu satu miliar. Lalu kau bisa bebas pergi ke manapun kamu mau. Ingat, turuti saja maunya, dan kau akan baik-baik saja!” ancam pria bertubuh kekar dan legam itu.

Merry tak menjawab akibat bibirnya masih tertutup rapat. Hanya bulir kristal yang terlihat masih mengalir membanjiri pipinya yang mulus, tapi anggukan kepalanya seolah mengisyaratkan mengerti dengan ucapan pria menakutkan di hadapannya. Bukan berarti pasrah, lebih ke rasa takut untuk melawan.

Tak lama berselang setelah pria itu pergi, sementara Merry masih terbaring dalam posisi tubuh miring dengan kedua tangan masih terikat, suara dentuman sepatu menyentuh lantai ubin terdengar mendekat. Membuat jantung Merry semakin berdebar bercampur rasa takut yang menggelayutinya sekaligus membayangkan kengerian yang akan terjadi setelahnya.

CEKLEK!

Knop pintu berhasil diputar, diikuti langkah pemilik sepatu hitam mengkilap mulai masuk perlahan. Dari setelan jas mahal yang ia kenakan, bisa diterka jika pemuda itu bukan dari kalangan biasa. Tampaknya ia adalah bos muda dari orang yang berhasil membeli Merry dari tempat lokalisasi.

'Dia terlihat berkelas, tidak memiliki satu kekurangan apapun, untuk apa ia memilih menjamah wanita sepertiku? Bukankah jika ia mau, bisa mendapatkan yang jauh lebih cantik dariku dan dari kalangan terhormat?'

Merry hanya bisa menatap dan bergumam dalam hatinya. Pria itu tampak dingin, belum sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. 

Hanya pergerakan yang ia tunjukkan, setelah mengunci rapat pintu kamar, ia langsung mendekati Merry. Dengan cekatan tangannya membuka ikatan tangan gadis itu, lalu menarik kasar lakban yang semula menutupi bibir ranumnya.

“Arrrrgh ….” Merry mengerang kesakitan.

“Sssst, jangan berisik! Aku tidak suka suaramu yang serak, merusak telinga!” Pria itu mengumpat sambil menampakkan wajah kesalnya sekaligus membekap kembali bibir mungil Merry dengan telapak tangannya sejenak.

Ingin rasanya Merry berontak, tapi ingatannya kepada Elena membuatnya kehilangan akal warasnya. Dipikirnya, ia tak mungkin selamanya ikut tinggal bersama wanita kejam itu lagi. Mungkin ada benarnya juga tawaran pria yang membawanya ke sini. Hanya itu harapan satu-satunya agar Merry bisa terlepas dari cengkraman Elena selamanya.

Sejenak, kedua pasang mata itu sempat saling bertemu pandang, entah berapa lama, mungkin hanya sepersekian detik saja lamanya. 

Gadis itu masih tercenung memikirkan banyak hal yang berlalu-lalang di otaknya, akan tetapi ia sudah dikagetkan dengan sentuhan buku jemari pemuda di hadapannya. Anehnya terasa lembuh bahkan menimbulkan getaran aneh. 

“Kau menangis? Apakah Pak Sameer menyakitimu?” tanyanya, sembari mengusap kasar bekas air mata yang belum mengering.

Bukannya menjawab, tapi Merry justru menggeleng. Seolah menepis kenyataan pahit yang belum lama ini menimpanya. 

'Jadi nama pria menakutkan itu adalah Pak Sameer? Lalu siapa nama pria di hadapanku ini?'

“Siapa namamu?” tanyanya, seolah mencecar tapi semakin membuat dada Merry berdebar akibat didesak.

“Nama perempuan sepertiku tidaklah penting, Tuan. Katakan yang kau mau dariku, lalu izinkan aku menemui Pak Sameermu itu dan pergi,” sahut Merry terdengnar ketus dan menyebalkan.

Namun, anehnya entah mengapa sikap Merry justru membuat pemuda itu penasaran.

“Sombong sok punya nyali sekali kamu! Berdiri!” perintah yang terdengar membentak membuat pemilik tubuh rambing itu segera bangkit meski kakinya tak mampu berdiriu tegap.

‘Sepertinya, dari aroma bibirnya yang menguar, Tuan Muda ini sedang mabuk parah.’ Batin Merry sembari mulai beranjak bangkit.

Namun, siapa sangka jika Merry yang tak mahir mengenakan heels justru terpelanting kesamping, beruntungnya pemuda itu langsung reflek bangkit dan berhasil menangkapnya.

Ya. Pinggang ramping itu berhasil didekapnya. Kedua pasang mata mereka saling bertemu pandang. Entah sepersekian detik lamanya, mereka tampak saling mengamati satu sama lainnya.

Seolah mengisyaratkan saling kekaguman meski tak ada yang mengnakuinya. Sementara sepasang lengan kekar itu entah sejak kapan telah melingkari pinggang seksi Merry.

“Bodoh, pakai heels saja tidak pecus apa lagi membuatku senang! Entah dari mana Pak Sameer menemukan wanita sepertimu!” teriaknya setengah mengejek.

Akibat mulai tersadar, Merry seketika berontak, hingga berakhir membuatnya justru jatuh di ranjang. Membuat pria itu menerkam dan menindih tubuhnya yang ramping dengan cepat.

Naasnya akibat ia terus bergerak meronta membuat pakaian area dada setengah terbuka, hingga mempertontonkan setengah bagian dadanya yang kenyal.

Seketika mata pemuda itu membelalak lebar, melihat kulit seputih pualam di hadapannya.

“Tuan, jangan kasar. Saya perempuan baik-baik, tolong lepaskan saya, ini kesalah pahaman,” rengek Merry.

Pemuda itu tersenyum getir.

“Perempuan baik-baik tidak akan dibawa Pak Sameer untuk menyenangkanku. Perempuan malam tetaplah perempuan malam, jalani saja takdirmu dan terima bayaranmu setelahnya!”

Seketika kepala Merry terasa berat, lalu semua menjadi gelap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Samantha Leticia
Bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status