POV Merry
Namaku Merry, saat ini aku adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun. Entah sengaja ditinggalkan oleh Ayahku, atau sebenarnya aku sengaja dibawa lari oleh ibu tiriku, aku tak tahu pasti.
Hanya kepingan kecil yang kuingat, saat bias hujan meninggalkan jejak di kaca jendela kamar. Terdengar pertengkaran besar antara Ayahku dan Ibu tiriku—Elena. Sejak saat itu, Ayahku menghilang entah ke mana, lalu Elena membawaku pindah ke tempat yang begitu jauh dan hidupku bagaikan di neraka.
Siapa sangka jika hari ini hidupku semakin tragis sejak Elena menyerahkan aku kepada Pak Sameer—Pria menyeramkan yang membawaku ke mansion mewah yang asing.
“Awas saja jika kau berani melarikan diri! Lebih baik menurut, ini demi kebaikanmu, Merry!” ancam Pak Sameer kala itu.
Aku hanya bisa bergeming. Lagi pula aku tak bisa bicara dengan mulut tersumpal, apalagi kedua tanganku dalam kondisi terikat. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis.
Kedua kakiku masih gemetar bukan kepalang, jantungku bahkan rasanya nyaris melesat begitu saja saat tahu knop pintu kamar mulai diputar. Aroma parfum Nectar de Roses Citronne khas mawar bercampur kulit jeruk menguar dan mendominasi ruangan.
Entah sejak kapan, aroma itu terasa candu bagiku. Seorang pria berperawakan tegas tapi nyaris tak kutemukan senyum di wajahnya. Mengapa ia justru memilihku untuk dijadikan pelampiasan?
“Jangan, tolong biarkan aku pergi!” Aku terus memohon agar dilepaskan.
Alih-alih dilepaskan, ia justru semakin brutal. Aroma mulutnya membuatku tak sanggup lagi menahan isi perutku yang tanpa kusadari seketika ingin tumpah.
HUUUUEEEEK!
“Sial, kau muntah di bajuku!” Pemuda itu seketika bangkit sambil menyeretku di kamar mandi.
******
Tubuhku masih lemah, rambutku bahkan acak-acakan. Aku tergeletak di ranjang yang sepreinya sudah tak karuan sembari bergelung selimut berwarna putih.
“Jangan pernah mencariku setelah ini, lupakan yang telah terjadi. Anggap saja kita tidak pernah bertemu,” cerocosnya sambil sibuk mengancingkan kemeja yang baru ia kenakan tepat di hadapanku.
Aku terdiam. Tak menjawab sepatah katapun. Air mataku masih terus mengalir deras saat suara ketukan pintu kembali terdengar, pertanda seseorang yang datang meminta izin masuk kepada Tuannya.
“Masuk!” perintahnya setengah berteriak.
“Tuan Damian, mobilnya sudah siap,” terang Pak Sameer sambil melirik ke arahku.
“Hmmm, antar dia. Beri imbalan, kerjanya bagus!” perintah lelaki dingin yang ternyata bernama Damian itu.
Ia memberikan gerakan kepala, selayaknya sebuah isyarat agar Pak Sameer pergi sejenak dan memberi ruang pada kami. Maksudku, aku dan Damian setelah targedi itu yang membuatku trauma itu terjadi.
Damian melangkah mendekat, buku jemarinya menyelipkan anak-anak rabutku yang mulai berantakan karena ulahnya tadi. Diikuti ibu jarinya yang bergerak perlahan menyapu pipiku yang masih basah.
“Seharusnya kau tak menjual diri, kenapa kau lakukan? Kupikir kau sudah tidak segel seperti wanita malam lainnya. Semoga upah yang kau terima sepadan.”
Setelah itu, Damian menarik tengkukku dan mendaratkan ciuman di puncak kepalaku, ciuman sedikit lama dari yang sebelumnya ia lakukan.
Entah mengapa, kali ini aku hanya diam. Tak ada penolakan lagi yang kutunjukkan, meski hatiku sebenarnya tak terima, tapi aku suka mencium aroma parfumnya. Parfum yang membuatku mulai merasakan candu luar biasa.
******
Mobil hitam yang dikemudikan Pak Sameer melesat cepat, membiak jalanan ramai, dan juga gedung-gedung tinggi pencakar langit. Tak lama setelahnya, ia melambatkan lajunya dan berhenti di bahu jalan.“Hiduplah lebih baik, dan jangan pernah kembali ke rumah bordil Elena lagi. Aku telah membebaskanmu, dengan membelimu. Kau beruntung, Tuanku menyukaimu, itu sebabnya kau diberikan upah berlipat-lipat dari bayaran semestinya.” Pak Sameer menyerahkan sebuah amplop coklat yang entah apa isinya.
Aku hanya mengnangguk ragu sambil meraihnya, tentu saja masih dengan tangan gemetar yang tak bisa kusembunyikan.
Aku tidak mengerti, sebelumnya Pak Sameer begitu kasar. Entah apa yang telah Damian katakan padanya, hingga ia berubah sikap menjadi baik kepadaku.
“Merry, aku sudah membelikan beberapa pakaian. Semua sudah dipersiapkan, mulai hari ini kau akan tinggal sementara di hotel yang kupesan, besok carilah tempat tinggal baru!”
“Terimakasih,” pungkasku, yang tak berani banyak bicara dengannya.
Tak lama kemudian, seseorang dari sisi kursi yang kududuki segera membukakan pintu. Ya. Seorang wanita berambut blonde dengan dagu tegak sedang membungkuk sopan. Ia juga mengantarkanku ke kamar hotel yang dipesankan oleh Pak Sameer untukku.Setelahnya aku hanya ditinggalkan sendirian. Tanpa tujuan, dan tanpa siapapun. Aku menghabiskan waktu untuk menangis semalaman. Hingga aku tersadar ketika mendengar suara mirip dering ponsel berdering di waktu mendekati pagi.
Dari suaranya, aku bisa menerka jika benda yang mengusik ketenanganku itu berada di dalam nakas. Segera aku beranjak bangkit sembari mengusap kasar sisa air mataku yang setengah mengering. Benar dugaanku, jika benda pipih itu adalah ponsel. Tapi milik siapa? Bukankah selama ini aku tidak pernah memilikinya. Sedangkan aku saja baru menempti kamar ini.
“Halo,” sapaku dengan suara bergetar. Mencoba memberanikan diri mencari tahu.
“Kau belum tidur? Mau sampai kapan kau menangis? Ingat, kau harus melanjutkan hidup, pergunakan uang pemberian Tuanku dengan sebaik-baiknya. Cepat pergi! Carilah tempat tinggal baru, jangan sampai Elena menemukan kamu lagi!” Suara bariton dari seberang ponsel terdengar memperingati.
Seketika aku menarik napas berat.
Dari suaranya yang khas, aku bisa tahu jika yang baru saja berbicara denganku adalah Pak Sameer, pria menyeramkan yang tega menjualku pada Damian. Tapi untuk apa ia memperingatiku? Bukankah sikapnya sama jahatnya dengan Elena?
Belum sempat kubalas ocehan pria bertubuh gempal itu, tapi ia sudah mematikan sambungan telepon secara sepihak. Entah apa yang kupikirkan ketika itu, dengan kesedihan yang masih menggelayuti pikiranku, aku justru menuruti perintahnya, seperti anak kecil yang sedang dituntun bersembunyi karena suatu bahaya.
Bukankah aku sudah melewati bahaya itu? Bukankah keperawananku bahkan telah terenggut paksa meski nyatanya aku tak jauh beda dengan perempuan malam lainnya? Entah.
Pandanganku mengedar ke sisi lain sudut kamar. Aku melihat dua koper besar teronggok di sana. Seketika aku teringat ucapan Pak Samet ketika dalam perjalanan mengantarkanku ke mari.
“Aku sudah menyiapkan segala keperluan kamu. Segera cari tempat aman setelah ini, bermalamlah, tapi jangan tinggal.” Begitu kira-kira pesan Pak Sameer padaku.
Ku buka perlahan resleting koper itu, seketika mataku terbelalak lebar saat melihat sebagian isinya adalah uang tunai, sedangkan yang lainnya adalah beberapa pasang pakaian. Aku tersenyum getir.
Jadi ini harga diriku?
Perih. Rasanya seperti dihujam ribuan kali hingga ke ulu hati. Semangatku bahkan sudah hilang sejak Ibu Elena membawaku pergi dan tinggal ke rumah pelacuran itu. Aku tak memiliki apapun lagi yang tersisa sekarang. Jangankan harga diri, harapanku bahkan lenyap bersamaan perginya Ayah di malam pertengkaran itu. Kemudian, kumasukkan pula amplop dari Pak Sameer di sana yang entah apa isinya.“Dasar jalang kecil!” teriak Ibu Elena.
Entah mengapa setelah bertengkar dengan Ayahku, ia bahkan mengubah panggilannya kepadaku.Aku selalu mengingatnya. Mengingat panggilan yang justru membuatku sakit.
Sejak saat itu aku merasa terbuang, dan hari ini aku merasa diriku telah dicampakkan bahkan dihina habis-habisan oleh pria bernama Damian. Ya. Dia adalah pria dingin yang menghancurkan harga diriku.
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t