Share

Bab 2. Lelaki Berparas Dingin (Dicampakkan))

POV Merry

Namaku Merry, saat ini aku adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun. Entah sengaja ditinggalkan oleh Ayahku, atau sebenarnya aku sengaja dibawa lari oleh ibu tiriku, aku tak tahu pasti. 

Hanya kepingan kecil yang kuingat, saat bias hujan meninggalkan jejak di kaca jendela kamar. Terdengar pertengkaran besar antara Ayahku dan Ibu tiriku—Elena. Sejak saat itu, Ayahku menghilang entah ke mana, lalu Elena membawaku pindah ke tempat yang begitu jauh dan hidupku bagaikan di neraka.

Siapa sangka jika hari ini hidupku semakin tragis sejak Elena menyerahkan aku kepada Pak Sameer—Pria menyeramkan yang membawaku ke mansion mewah yang asing.

“Awas saja jika kau berani melarikan diri! Lebih baik menurut, ini demi kebaikanmu, Merry!” ancam Pak Sameer kala itu.

Aku hanya bisa bergeming. Lagi pula aku tak bisa bicara dengan mulut tersumpal, apalagi kedua tanganku dalam kondisi terikat. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis.

Kedua kakiku masih gemetar bukan kepalang, jantungku bahkan rasanya nyaris melesat begitu saja saat tahu knop pintu kamar mulai diputar. Aroma parfum Nectar de Roses Citronne khas mawar bercampur kulit jeruk menguar dan mendominasi ruangan.

Entah sejak kapan, aroma itu terasa candu bagiku. Seorang pria berperawakan tegas tapi nyaris tak kutemukan senyum di wajahnya. Mengapa ia justru memilihku untuk dijadikan pelampiasan?

“Jangan, tolong biarkan aku pergi!” Aku terus memohon agar dilepaskan.

Alih-alih dilepaskan, ia justru semakin brutal. Aroma mulutnya membuatku tak sanggup lagi menahan isi perutku yang tanpa kusadari seketika ingin tumpah.

HUUUUEEEEK!

“Sial, kau muntah di bajuku!” Pemuda itu seketika bangkit sambil menyeretku di kamar mandi.

******

Tubuhku masih lemah, rambutku bahkan acak-acakan. Aku tergeletak di ranjang yang sepreinya sudah tak karuan sembari bergelung selimut berwarna putih. 

“Jangan pernah mencariku setelah ini, lupakan yang telah terjadi. Anggap saja kita tidak pernah bertemu,” cerocosnya sambil sibuk mengancingkan kemeja yang baru ia kenakan tepat di hadapanku.

Aku terdiam. Tak menjawab sepatah katapun. Air mataku masih terus mengalir deras saat suara ketukan pintu kembali terdengar, pertanda seseorang yang datang meminta izin masuk kepada Tuannya.

“Masuk!” perintahnya setengah berteriak.

“Tuan Damian, mobilnya sudah siap,” terang Pak Sameer sambil melirik ke arahku.

“Hmmm, antar dia. Beri imbalan, kerjanya bagus!” perintah lelaki dingin yang ternyata bernama Damian itu.

Ia memberikan gerakan kepala, selayaknya sebuah isyarat agar Pak Sameer pergi sejenak dan memberi ruang pada kami. Maksudku, aku dan Damian setelah targedi itu yang membuatku trauma itu terjadi.

Damian melangkah mendekat, buku jemarinya menyelipkan anak-anak rabutku yang mulai berantakan karena ulahnya tadi. Diikuti ibu jarinya yang bergerak perlahan menyapu pipiku yang masih basah.

“Seharusnya kau tak menjual diri, kenapa kau lakukan? Kupikir kau sudah tidak segel seperti wanita malam lainnya. Semoga upah yang kau terima sepadan.”

Setelah itu, Damian menarik tengkukku dan mendaratkan ciuman di puncak kepalaku, ciuman sedikit lama dari yang sebelumnya ia lakukan.

Entah mengapa, kali ini aku hanya diam. Tak ada penolakan lagi yang kutunjukkan, meski hatiku sebenarnya tak terima, tapi aku suka mencium aroma parfumnya. Parfum yang membuatku mulai merasakan candu luar biasa. 

******

Mobil hitam yang dikemudikan Pak Sameer melesat cepat, membiak jalanan ramai, dan juga gedung-gedung tinggi pencakar langit. Tak lama setelahnya, ia melambatkan lajunya dan berhenti di bahu jalan.

“Hiduplah lebih baik, dan jangan pernah kembali ke rumah bordil Elena lagi. Aku telah membebaskanmu, dengan membelimu. Kau beruntung, Tuanku menyukaimu, itu sebabnya kau diberikan upah berlipat-lipat dari bayaran semestinya.” Pak Sameer menyerahkan sebuah amplop coklat yang entah apa isinya.

Aku hanya mengnangguk ragu sambil meraihnya, tentu saja masih dengan tangan gemetar yang tak bisa kusembunyikan.

Aku tidak mengerti, sebelumnya Pak Sameer begitu kasar. Entah apa yang telah Damian katakan padanya, hingga ia berubah sikap menjadi baik kepadaku.

“Merry, aku sudah membelikan beberapa pakaian. Semua sudah dipersiapkan, mulai hari ini kau akan tinggal sementara di hotel yang kupesan, besok carilah tempat tinggal baru!”

“Terimakasih,” pungkasku, yang tak berani banyak bicara dengannya.

Tak lama kemudian, seseorang dari sisi kursi yang kududuki segera membukakan pintu. Ya. Seorang wanita berambut blonde dengan dagu tegak sedang membungkuk sopan. Ia juga mengantarkanku ke kamar hotel yang dipesankan oleh Pak Sameer untukku.

Setelahnya aku hanya ditinggalkan sendirian. Tanpa tujuan, dan tanpa siapapun. Aku menghabiskan waktu untuk menangis semalaman. Hingga aku tersadar ketika mendengar suara mirip dering ponsel berdering di waktu mendekati pagi.

Dari suaranya, aku  bisa menerka jika benda yang mengusik ketenanganku itu berada di dalam nakas. Segera aku beranjak bangkit sembari mengusap kasar sisa air mataku yang setengah mengering. Benar dugaanku, jika benda pipih itu adalah ponsel. Tapi milik siapa? Bukankah selama ini aku tidak pernah memilikinya. Sedangkan aku saja baru menempti kamar ini.

“Halo,” sapaku dengan suara bergetar. Mencoba memberanikan diri mencari tahu.

“Kau belum tidur? Mau sampai kapan kau menangis? Ingat, kau harus melanjutkan hidup, pergunakan uang pemberian Tuanku dengan sebaik-baiknya. Cepat pergi! Carilah tempat tinggal baru, jangan sampai Elena menemukan kamu lagi!” Suara bariton dari seberang ponsel terdengar memperingati.

Seketika aku menarik napas berat.

Dari suaranya yang khas, aku bisa tahu jika yang baru saja berbicara denganku adalah Pak Sameer, pria menyeramkan yang tega menjualku pada Damian. Tapi untuk apa ia memperingatiku? Bukankah sikapnya sama jahatnya dengan Elena?

Belum sempat kubalas ocehan pria bertubuh gempal itu, tapi ia sudah mematikan sambungan telepon secara sepihak. Entah apa yang kupikirkan ketika itu, dengan kesedihan yang masih menggelayuti pikiranku, aku justru menuruti perintahnya, seperti anak kecil yang sedang dituntun bersembunyi karena suatu bahaya.

Bukankah aku sudah melewati bahaya itu? Bukankah keperawananku bahkan telah terenggut paksa meski nyatanya aku tak jauh beda dengan perempuan malam lainnya? Entah.

Pandanganku mengedar ke sisi lain sudut kamar. Aku melihat dua koper besar teronggok di sana. Seketika aku teringat ucapan Pak Samet ketika dalam perjalanan mengantarkanku ke mari.

“Aku sudah menyiapkan segala keperluan kamu. Segera cari tempat aman setelah ini, bermalamlah, tapi jangan tinggal.” Begitu kira-kira pesan Pak Sameer padaku.

Ku buka perlahan resleting koper itu, seketika mataku terbelalak lebar saat melihat sebagian isinya adalah uang tunai, sedangkan yang lainnya adalah beberapa pasang pakaian. Aku tersenyum getir.

Jadi ini harga diriku?

Perih. Rasanya seperti dihujam ribuan kali hingga ke ulu hati. Semangatku bahkan sudah hilang sejak Ibu Elena membawaku pergi dan tinggal ke rumah pelacuran itu. Aku tak memiliki apapun lagi yang tersisa sekarang. Jangankan harga diri, harapanku bahkan lenyap bersamaan perginya Ayah di malam pertengkaran itu. Kemudian, kumasukkan pula amplop dari Pak Sameer di sana yang entah apa isinya.

“Dasar jalang kecil!” teriak Ibu Elena.

Entah mengapa setelah bertengkar dengan Ayahku, ia bahkan mengubah panggilannya kepadaku.

Aku selalu mengingatnya. Mengingat panggilan yang justru membuatku sakit. 

Sejak saat itu aku merasa terbuang, dan hari ini aku merasa diriku telah dicampakkan bahkan dihina habis-habisan oleh pria bernama Damian. Ya. Dia adalah pria dingin yang menghancurkan harga diriku. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Samantha Leticia
kejamnya, mimpi apa semalam
goodnovel comment avatar
Lia Lintang
Halo semua, ini buku baruku yang ke tiga. Buku yang menguras emosi, semoga suka ya. Salam hangat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status