“Faris, please, berhenti,” ratap Winena. Ia memegangi pipi kirinya yang kemerahan sambil meringis.
Rasa panas dan perih menjalar saat sekali lagi tamparan keras itu melayang di pipi Winena hingga tubuhnya tersungkur. Kening wanita itu nyaris saja menghantam pinggiran meja rendah yang berada di ruang tamu rumahnya.
“Dasar istri kurang ajar!” teriak laki-laki yang ia panggil Faris itu dengan garang. Suara kerasnya terdengar menakutkan. Menggelegar memenuhi ruangan.
“Faris, kamu salah paham,” kata Winena dengan cepat dan . Ia menatap Faris dengan takut-takut. Permohonan untuk berhenti memukuli dirinya tercetak jelas di mata. “Aku cuma ngobrol sebentar sama Mario tadi. Kami nggak sengaja ketemu di depan–”
Namun, seolah telinganya tuli, Faris tak peduli dengan penjelasan Winena. Faris kembali memukul Winena. Faris tak memedulikan istrinya yang sudah lemas dan terlihat sangat kacau dengan pakaian yang sudah lusuh dan compang camping karena sempat ia siram dengan air dingin yang ia ambil dari kulkas. Faris memukuli punggung Winena saat wanita itu meringkuk melindungi kepala dari pukulan tangan Faris.
Faris makin kesetanan. Sambil meneriakkan, “Dasar jalang!” laki-laki itu kemudian menendang perut Winena hingga wanita itu semakin meringkuk. Wanita itu terbatuk-batuk dan memekik kesakitan.
“Ris, maafin aku, please. Aku nggak akan kecewakan kamu lagi,” ujar Winena memohon belas kasihan sang suami.
“Nggak ada maaf buat istri murahan kayak lo yang beraninya main serong.”
Winena menggeleng dengan cepat. Ia memelas, “Aku sama Mario nggak ada hubungan apa-apa, Ris. Please, percaya sama aku.”
Faris berdecih. “Kita cerai aja. Kamu bisa sepuasnya main-main sama Mario,” lontar laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu dengan muak.
Mata Winena membeliak. Tak menyangka kata cerai dengan mudahnya tercuap dari bibir Faris. “Faris, jangan gini–”
Cicitan Winena terhenti oleh tawa sinis Faris. Laki-laki itu berdiri dengan angkuh di hadapan Winena.
“Udah nggak ada gunanya lagi gue bertahan sama jalang sialan kayak lo. Banyak tingkah, belagu, dan sekarang jatuh miskin. Apa lagi yang lo punya?” desis Faris dengan ekspresi jijik di wajah. Kemudian ia melirik ke arah ruang keluarga yang hanya berbatas rak berisi tumpukan buku-buku. Di ruangan itu, TV yang masih menyala sedang menayangkan sebuah berita kasus korupsi.
“Lihat itu,” Faris menarik sejumput rambut Winena dan menjambaknya dengan kuat. Menyeret wanita itu agar bisa melihat tayangan yang sedang diberitakan, “bokap sombong lo yang selalu ngehina gue, sekarang udah nggak punya apa-apa. Dia bakal menbusuk di penjara sampai mampus!”
Winena merintih lirih saat pembaca berita menyebut-nyebut soal vonis hukuman kepada terpidana yang berdasarkan ucapan Faris merupakan ayah Winena.
Saat Faris berniat pergi dan meninggalkan Winena begitu saja, wanita itu menahan langkah Faris dengan memeluk kaki laki-laki itu. “Ris, aku nggak mau cerai. Aku–”
Faris menghentakkan kaki dan membuat pelukan Winena di kakinya lepas. Ia menatap istrinya dengan nyalang. “Lo masih punya nyali di depan gue setelah lo dengan liciknya ngelaporin gue soal KDRT?! Lo sengaja mau konfrontasi gue, ha?!”
“Ris, aku berani bersumpah. Bukan aku yang laporin kamu–”
“Bukan lo?! Munafik banget lo, Setan!”
Faris semakin berang. Ia beranjak pergi selama kurang dari satu menit dan saat kembali ke hadapan Winena, ia membawa pisau di tangan.
Winena terpaku di tempat. Tubuhnya bergetar hebat.
“Gue benar-benar muak sama lo, Jalang! Lo bisa pilih, enyah dari hadapan gue selamanya atau lo mati di tangan gue dan nggak bisa ketemu ibu lo yang penyakitan itu selamanya?”
Ancaman itu membuat Winena gentar. Ia menahan sakit raga dan jiwa. Berusaha untuk tidak tumbang meski tubuhnya menjerit kesakitan. Dengan susah payah, tangannya yang penuh luka memar bergerak meraih tas miliknya yang berada di atas meja.
“Gue bakal ajukan gugatan cerai secepatnya ke pengadilan dan mengirimkannya ke rumah sialan kalian.”
Betapa remuk hati Winena saat Faris menyebut rumah orang tuanya sebagai rumah sialan.
Ke mana perginya Faris yang penyayang dan murah senyum itu? batin Winena menjerit.
Winena tak menemukan jawabannya. Sudut hatinya berkata bahwa memang sudah sepantasnya mereka berpisah. Bahwa hubungan tak sehat mereka harus diakhiri. Satu-satunya jalan adalah dengan bercerai. Namun, entah kenapa, Winena tidak ingin berpisah dari Faris. Membayangkan akan menjadi janda rasanya lebih menyakitkan ketimbang dipukuli oleh Faris hampir setiap hari.
“Ris, aku minta maaf. Aku nggak mau pisah dari kamu, please. Jangan ceraikan aku, Ris,” mohon Winena. Ia memelas. Merelakan harga dirinya semakin terinjak-injak.
“Gue nggak butuh permintaan maaf dari lo. Mau sejuta kali lo minta maaf, cium kaki gue, gue nggak akan kasih maaf. Apalagi ke keluarga lo yang bisanya cuma merendahkan dan ngehina gue. Dan sekarang, buat apa gue bertahan di keluarga lo yang berantakan? Gue nggak sudi lagi berurusan sama lo dan keluarga lo.”
Tangis tak bisa ditahan. Air mata meleleh begitu saja dari pipi Winena. “Aku sayang kamu. Ris.”
“Bukan urusan gue. Kalau lo sayang sama gue, lo nggak akan ngelaporin gue ke polisi, Win.” Faris membuang muka. Dengan suara rendah yang sedikit bergetar, Faris melanjutkan, “Sekali lagi gue tegaskan sama lo. Kita cerai aja. Dan lo nggak perlu repot-repot dateng ke pengadilan. Karena gue muak sama lo. Gue muak ngeliat muka pengkhianat kayak lo.”
Jantung Winena seperti ditusuk dengan ribuan pisau. Benar kata orang-orang, luka yang tak berdarah ternyata jauh lebih menyakitkan dibandingkan oleh apa pun juga. Memar-memar ditubuhnya akibat dipukuli Faris sama sekali tidak ada apa-apanya ketimbang luka batin yang ia rasakan. Winena terpaku, sama sekali tak menyangka akan menyandang status janda setelah empat tahun menyandang status istri dari Faris Ardiansyah. Cinta pertamanya, yang Winena kenal sejak ia masih duduk di bangku SMA. Tapi, memangnya bisa apa dirinya sekarang?
Winena tak bisa membela diri lebih lanjut karena memang dirinya sendirilah yang melaporkan Faris ke polisi. Untuk yang ke sekian kalinya. Dan setelah laporannya yang kelima, Faris baru benar-benar dipanggil polisi untuk diinterogasi. Entah bagaimana kelanjutannya nanti.
“Kenapa masih di sini? Lo mau lihat pisau ini nusuk jantung lo?!” sergah Faris dengan bengis. “Lo mau mati? Biar bisa nyusul anak kita yang lo bunuh karena lo nggak mau punya anak dari gue?”
Winena menggeleng. Hatinya hancur saat Faris kembali mengungkit luka lama. Wanita itu perlahan berdiri. Menatap nanar suaminya yang mengacungkan pisau ke arahnya. “Aku selalu sayang kamu, Faris. Terima kasih untuk empat tahun pernikahan kita,” ucap Winena untuk yang terakhir kali.
“PERGI LO, ANJING!” Faris melemparkan pisau di tangannya ke arah Winena. Ujung pisaunya nyaris mengenai pipi Winena. Kemudian jatuh di lantai, berjarak satu meter dari tempat Winena kini berdiri. Winena tak mampu bergerak karena terlalu kaget.
“Kalau sekali lagi lo lapor polisi, gue nggak akan segan bikin keluarga kesayangan lo menderita,” ancam Faris dengan bengis. “Pergi dari hadapan gue, Winena. Pergi sejauh mungkin dan jangan pernah kembali!”
Dengan hati yang luluh lantak, Winena berpaling dari wajah Faris yang menunjukkan kebencian besar terhadapnya. Ia berlari menjauh dengan tertatih-tatih, meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat ternyaman untuk pulang.
Winena tak tahu sudah seberapa jauh ia berlari. Yang ia tahu, kakinya mulai kaku dan perih. Saking kalutnya, ia meninggalkan rumah tanpa alas kaki.
“Bahkan saat dia sudah sekejam itu, kamu masih mengharapkan dia mengejarmu dan meminta maaf?” ratap wanita itu kepada dirinya sendiri.
Teringat jelas di ingatannya, hari di mana ia pertama kali bertemu dengan Faris 12 tahun yang lalu. Kala itu hujan mengguyur deras saat Winena tengah menunggu jemputan di depan sekolah, sendirian. Saat mobil jemputannya datang, tahu-tahu ada anak laki-laki yang engenakan seragam SMA yang sama dengannya berlari mendekat ke arahnya sambil meneriakkan sesuatu. Saat jarak tinggal satu meter, Winena baru dengan jelas mendengar. Laki-laki itu dengan tak tahu malu berkata bahwa ia ingin menumpang mobil jemputan Winena karena rumah mereka searah. Winena ingin menolak, tetapi melihat laki-laki itu basah kuyup, ia tak tega.
Saat dipersilakan masuk ke mobil, Faris tersenyum lebar. Manis sekali. Winena terpesona selama beberapa detik. Di dalam mobil, Faris terus mengajak Winena bicara. Laki-laki itu sangat cerewet dan murah senyum. Dan Winena pun langsung sadar bahwa ia sudah jatuh hati dengan mudahnya.
Bayangan itu memudar oleh kenangan pahit, di mana mereka sudah menikah dan Faris mulai berubah menjadi pemarah setelah berita penangkapan ayah Winena. Ia tidak lagi menunjukkan cinta dan kasih. Ia menjadi sangat jahat, seperti dirasuki oleh jiwa lain. Winena semakin tak mengenal Faris saat laki-laki itu mulai suka memukuli dirinya. Tanpa pernah menyesali apa yang sudah dilakukannya.
Winena tersenyum kecut. “Sudah sepatutnya kamu berpisah dari Faris, Win.” Winena menguatkan diri. “Faris nggak pantas bersanding sama kamu,” ucapnya sambil menyeka air mata yang lagi-lagi mengalir di pipi. Meski ia berkata begitu, hati kecilnya masih berharap kalau Faris akan kembali kepadanya. Ia masih berharap bahwa hubungannya dengan suaminya yang sudah ia kenal 12 tahun itu tak kandas di tengah jalan begitu saja.
Hari sudah menjelang malam. Lampu-lampu di rumah-rumah dan di gedung tinggi satu per satu menyala. Winena berjalan semakin tak tentu arah. Letih mendera. Kaki-kakinya tak kuat lagi untuk melangkah lebih jauh. Pening di kepala makin menguat. Yang ia inginkan hanya istirahat di tempat yang aman dan nyaman. Namun, di mana?
“Kamu sangat menyedihkan, Winena,” lirih Winena lagi untuk dirinya sendiri yang begitu malang.
Sungguh, Winena lelah raga dan batin. Malangnya, ia sudah tidak memiliki tempat untuk mengadu lelah dan sakitnya. Rumah orang tuanya bukanlah tujuan yang tepat. Setelah penangkapan ayahnya yang korupsi setahun lalu, ibunya stres hingga jatuh sakit. Kalau Winena datang dengan kondisi menyedihkan seperti ini, ia hanya akan membuat penyakit sang ibu semakin parah. Ia tak menginginkan itu terjadi. Ia tak ingin membuat ibunya sedih.
Dengan terseok, ia menyeberang di jalan raya tanpa melihat kanan kiri. Tak melihat lampu hijau menyala dan sebuah mobil melaju dari sisi kanan. Selanjutnya terdengar suara klakson memekakkan telinga.
Seketika tubuh Winena ambruk. Ia tersungkur di tengah jalan. Nyaris dihantam oleh moncong mobil.
***
Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada
"Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam
Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam
Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura
Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe
"Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena