Share

bab satu

“Faris, please, berhenti,” ratap Winena. Ia memegangi pipi kirinya yang kemerahan sambil meringis.

Rasa panas dan perih menjalar saat sekali lagi tamparan keras itu melayang di pipi Winena hingga tubuhnya tersungkur. Kening wanita itu nyaris saja menghantam pinggiran meja rendah yang berada di ruang tamu rumahnya.

“Dasar istri kurang ajar!” teriak laki-laki yang ia panggil Faris itu dengan garang. Suara kerasnya terdengar menakutkan. Menggelegar memenuhi ruangan.

“Faris, kamu salah paham,” kata Winena dengan cepat dan . Ia menatap Faris dengan takut-takut. Permohonan untuk berhenti memukuli dirinya tercetak jelas di mata. “Aku cuma ngobrol sebentar sama Mario tadi. Kami nggak sengaja ketemu di depan–”

Namun, seolah telinganya tuli, Faris tak peduli dengan penjelasan Winena. Faris kembali memukul Winena. Faris tak memedulikan istrinya yang sudah lemas dan terlihat sangat kacau dengan pakaian yang sudah lusuh dan compang camping karena sempat ia siram dengan air dingin yang ia ambil dari kulkas. Faris memukuli punggung Winena saat wanita itu meringkuk melindungi kepala dari pukulan tangan Faris.

Faris makin kesetanan. Sambil meneriakkan, “Dasar jalang!” laki-laki itu kemudian menendang perut Winena hingga wanita itu semakin meringkuk. Wanita itu terbatuk-batuk dan memekik kesakitan.

“Ris, maafin aku, please. Aku nggak akan kecewakan kamu lagi,” ujar Winena memohon belas kasihan sang suami.

“Nggak ada maaf buat istri murahan kayak lo yang beraninya main serong.”

Winena menggeleng dengan cepat. Ia memelas, “Aku sama Mario nggak ada hubungan apa-apa, Ris. Please, percaya sama aku.”

Faris berdecih. “Kita cerai aja. Kamu bisa sepuasnya main-main sama Mario,” lontar laki-laki bertubuh tegap dan tinggi itu dengan muak.

Mata Winena membeliak. Tak menyangka kata cerai dengan mudahnya tercuap dari bibir Faris. “Faris, jangan gini–”

Cicitan Winena terhenti oleh tawa sinis Faris. Laki-laki itu berdiri dengan angkuh di hadapan Winena.

“Udah nggak ada gunanya lagi gue bertahan sama jalang sialan kayak lo. Banyak tingkah, belagu, dan sekarang jatuh miskin. Apa lagi yang lo punya?” desis Faris dengan ekspresi jijik di wajah. Kemudian ia melirik ke arah ruang keluarga yang hanya berbatas rak berisi tumpukan buku-buku. Di ruangan itu, TV yang masih menyala sedang menayangkan sebuah berita kasus korupsi.

“Lihat itu,” Faris menarik sejumput rambut Winena dan menjambaknya dengan kuat. Menyeret wanita itu agar bisa melihat tayangan yang sedang diberitakan, “bokap sombong lo yang selalu ngehina gue, sekarang udah nggak punya apa-apa. Dia bakal menbusuk di penjara sampai mampus!”

Winena merintih lirih saat pembaca berita menyebut-nyebut soal vonis hukuman kepada terpidana yang berdasarkan ucapan Faris merupakan ayah Winena.

Saat Faris berniat pergi dan meninggalkan Winena begitu saja, wanita itu menahan langkah Faris dengan memeluk kaki laki-laki itu. “Ris, aku nggak mau cerai. Aku–”

Faris menghentakkan kaki dan membuat pelukan Winena di kakinya lepas. Ia menatap istrinya dengan nyalang. “Lo masih punya nyali di depan gue setelah lo dengan liciknya ngelaporin gue soal KDRT?! Lo sengaja mau konfrontasi gue, ha?!”

“Ris, aku berani bersumpah. Bukan aku yang laporin kamu–”

“Bukan lo?! Munafik banget lo, Setan!”

Faris semakin berang. Ia beranjak pergi selama kurang dari satu menit dan saat kembali ke hadapan Winena, ia membawa pisau di tangan.

Winena terpaku di tempat. Tubuhnya bergetar hebat.

“Gue benar-benar muak sama lo, Jalang! Lo bisa pilih, enyah dari hadapan gue selamanya atau lo mati di tangan gue dan nggak bisa ketemu ibu lo yang penyakitan itu selamanya?”

Ancaman itu membuat Winena gentar. Ia menahan sakit raga dan jiwa. Berusaha untuk tidak tumbang meski tubuhnya menjerit kesakitan. Dengan susah payah, tangannya yang penuh luka memar bergerak meraih tas miliknya yang berada di atas meja. 

“Gue bakal ajukan gugatan cerai secepatnya ke pengadilan dan mengirimkannya ke rumah sialan kalian.”

Betapa remuk hati Winena saat Faris menyebut rumah orang tuanya sebagai rumah sialan.

Ke mana perginya Faris yang penyayang dan murah senyum itu? batin Winena menjerit.

Winena tak menemukan jawabannya. Sudut hatinya berkata bahwa memang sudah sepantasnya mereka berpisah. Bahwa hubungan tak sehat mereka harus diakhiri. Satu-satunya jalan adalah dengan bercerai. Namun, entah kenapa, Winena tidak ingin berpisah dari Faris. Membayangkan akan menjadi janda rasanya lebih menyakitkan ketimbang dipukuli oleh Faris hampir setiap hari. 

“Ris, aku minta maaf. Aku nggak mau pisah dari kamu, please. Jangan ceraikan aku, Ris,” mohon Winena. Ia memelas. Merelakan harga dirinya semakin terinjak-injak.

“Gue nggak butuh permintaan maaf dari lo. Mau sejuta kali lo minta maaf, cium kaki gue, gue nggak akan kasih maaf. Apalagi ke keluarga lo yang bisanya cuma merendahkan dan ngehina gue. Dan sekarang, buat apa gue bertahan di keluarga lo yang berantakan? Gue nggak sudi lagi berurusan sama lo dan keluarga lo.”

Tangis tak bisa ditahan. Air mata meleleh begitu saja dari pipi Winena. “Aku sayang kamu. Ris.”

“Bukan urusan gue. Kalau lo sayang sama gue, lo nggak akan ngelaporin gue ke polisi, Win.” Faris membuang muka. Dengan suara rendah yang sedikit bergetar, Faris melanjutkan, “Sekali lagi gue tegaskan sama lo. Kita cerai aja. Dan lo nggak perlu repot-repot dateng ke pengadilan. Karena gue muak sama lo. Gue muak ngeliat muka pengkhianat kayak lo.”

 Jantung Winena seperti ditusuk dengan ribuan pisau. Benar kata orang-orang, luka yang tak berdarah ternyata jauh lebih menyakitkan dibandingkan oleh apa pun juga. Memar-memar ditubuhnya akibat dipukuli Faris sama sekali tidak ada apa-apanya ketimbang luka batin yang ia rasakan. Winena terpaku, sama sekali tak menyangka akan menyandang status janda setelah empat tahun menyandang status istri dari Faris Ardiansyah. Cinta pertamanya, yang Winena kenal sejak ia masih duduk di bangku SMA. Tapi, memangnya bisa apa dirinya sekarang?

Winena tak bisa membela diri lebih lanjut karena memang dirinya sendirilah yang melaporkan Faris ke polisi. Untuk yang ke sekian kalinya. Dan setelah laporannya yang kelima, Faris baru benar-benar dipanggil polisi untuk diinterogasi. Entah bagaimana kelanjutannya nanti.

“Kenapa masih di sini? Lo mau lihat pisau ini nusuk jantung lo?!” sergah Faris dengan bengis. “Lo mau mati? Biar bisa nyusul anak kita yang lo bunuh karena lo nggak mau punya anak dari gue?”

Winena menggeleng. Hatinya hancur saat Faris kembali mengungkit luka lama. Wanita itu perlahan berdiri. Menatap nanar suaminya yang mengacungkan pisau ke arahnya. “Aku selalu sayang kamu, Faris. Terima kasih untuk empat tahun pernikahan kita,” ucap Winena untuk yang terakhir kali.

“PERGI LO, ANJING!” Faris melemparkan pisau di tangannya ke arah Winena. Ujung pisaunya nyaris mengenai pipi Winena. Kemudian jatuh di lantai, berjarak satu meter dari tempat Winena kini berdiri. Winena tak mampu bergerak karena terlalu kaget.

“Kalau sekali lagi lo lapor polisi, gue nggak akan segan bikin keluarga kesayangan lo menderita,” ancam Faris dengan bengis. “Pergi dari hadapan gue, Winena. Pergi sejauh mungkin dan jangan pernah kembali!”   

Dengan hati yang luluh lantak, Winena berpaling dari wajah Faris yang menunjukkan kebencian besar terhadapnya. Ia berlari menjauh dengan tertatih-tatih, meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat ternyaman untuk pulang.

Winena tak tahu sudah seberapa jauh ia berlari. Yang ia tahu, kakinya mulai kaku dan perih. Saking kalutnya, ia meninggalkan rumah tanpa alas kaki.

 “Bahkan saat dia sudah sekejam itu, kamu masih mengharapkan dia mengejarmu dan meminta maaf?” ratap wanita itu kepada dirinya sendiri.

Teringat jelas di ingatannya, hari di mana ia pertama kali bertemu dengan Faris 12 tahun yang lalu. Kala itu hujan mengguyur deras saat Winena tengah menunggu jemputan di depan sekolah, sendirian. Saat mobil jemputannya datang, tahu-tahu ada anak laki-laki yang engenakan seragam SMA yang sama dengannya berlari mendekat ke arahnya sambil meneriakkan sesuatu. Saat jarak tinggal satu meter, Winena baru dengan jelas mendengar. Laki-laki itu dengan tak tahu malu berkata bahwa ia ingin menumpang mobil jemputan Winena karena rumah mereka searah. Winena ingin menolak, tetapi melihat laki-laki itu basah kuyup, ia tak tega.

Saat dipersilakan masuk ke mobil, Faris tersenyum lebar. Manis sekali. Winena terpesona selama beberapa detik. Di dalam mobil, Faris terus mengajak Winena bicara. Laki-laki itu sangat cerewet dan murah senyum. Dan Winena pun langsung sadar bahwa ia sudah jatuh hati dengan mudahnya.

Bayangan itu memudar oleh kenangan pahit, di mana mereka sudah menikah dan Faris mulai berubah menjadi pemarah setelah berita penangkapan ayah Winena. Ia tidak lagi menunjukkan cinta dan kasih. Ia menjadi sangat jahat, seperti dirasuki oleh jiwa lain. Winena semakin tak mengenal Faris saat laki-laki itu mulai suka memukuli dirinya. Tanpa pernah menyesali apa yang sudah dilakukannya.

Winena tersenyum kecut. “Sudah sepatutnya kamu berpisah dari Faris, Win.” Winena menguatkan diri. “Faris nggak pantas bersanding sama kamu,” ucapnya sambil menyeka air mata yang lagi-lagi mengalir di pipi. Meski ia berkata begitu, hati kecilnya masih berharap kalau Faris akan kembali kepadanya. Ia masih berharap bahwa hubungannya dengan suaminya yang sudah ia kenal 12 tahun itu tak kandas di tengah jalan begitu saja.

Hari sudah menjelang malam. Lampu-lampu di rumah-rumah dan di gedung tinggi satu per satu menyala. Winena berjalan semakin tak tentu arah. Letih mendera. Kaki-kakinya tak kuat lagi untuk melangkah lebih jauh. Pening di kepala makin menguat. Yang ia inginkan hanya istirahat di tempat yang aman dan nyaman. Namun, di mana?

“Kamu sangat menyedihkan, Winena,” lirih Winena lagi untuk dirinya sendiri yang begitu malang.

Sungguh, Winena lelah raga dan batin. Malangnya, ia sudah tidak memiliki tempat untuk mengadu lelah dan sakitnya. Rumah orang tuanya bukanlah tujuan yang tepat. Setelah penangkapan ayahnya yang korupsi setahun lalu, ibunya stres hingga jatuh sakit. Kalau Winena datang dengan kondisi menyedihkan seperti ini, ia hanya akan membuat penyakit sang ibu semakin parah. Ia tak menginginkan itu terjadi. Ia tak ingin membuat ibunya sedih.

Dengan terseok, ia menyeberang di jalan raya tanpa melihat kanan kiri. Tak melihat lampu hijau menyala dan sebuah mobil melaju dari sisi kanan. Selanjutnya terdengar suara klakson memekakkan telinga.

Seketika tubuh Winena ambruk. Ia tersungkur di tengah jalan. Nyaris dihantam oleh moncong mobil.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status