Share

bab lima

Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi.

Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus.

Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh dan bahagia. Menjadi anak tunggal kesayangan ayah dan ibunya. Ia dimanjakan dalam porsi yang cukup. Tidak pernah kekurangan cinta dan kasih sayang. Membuat dirinya tumbuh menjadi gadis penyayang, yang kemudian mencurahkan rasa sayangnya kepada sang suami—yang ternyata masih tidak cukup membuat Faris tinggal, tidak cukup membuat Faris bisa membalas dengan curahan kasih yang sama. Winena juga dididik oleh orang tuanya menjadi pribadi yang tangguh, yang membuat Winena bisa sampai di titik ini dalam keadaan hidup. Berkali-kali jatuh, namun ia masih bisa berdiri walau kemudian harus berjalan tertatih-tatih.

Bicara tentang keluarga kecilnya, Winena teringat Ibu. Sakit sekali membayangkan bagaimana hancurnya dunia Ibu jika mengetahui kabar duka ini.

Saat pertama kali didatangi KPK dua tahun lalu, Ibu menangis histeris. Ditambah lagi saat ayah Winena kabur dan menjadi buronan, Ibu mulai sakit-sakitan. Darah tinggi, kolesterol, mag akut, hingga stroke. Segala penyakit mendadak hadir, melemahkan tubuh Ibu—yang dulu Winena tahu bahwa Ibu adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Saat ayah Winena akhirnya ditangkap polisi, Ibu sampai masuk rumah sakit dan diopname selama beberapa hari.

Dari proses penyidikan hingga kasus ayahnya naik ke pengadilan, kondisi Ibu tidak pernah lagi membaik. Batinnya terus tertekan hingga memengaruhi sakit fisik yang tak mau sembuh. Winena kelimpungan. Tidak hanya ayahnya yang menjadi semakin jauh darimya, Ibu juga. Winena mendadak kehilangan dua sosok yang begitu ia sayangi karena kasus sialan itu. Winena seolah lupa bagaimana rasa cinta dan kasih sayang ayahnya yang dulu selalu tercurah. Winena mendadak benci kepada ayahnya. Karena membuat ibunya menanggung penderitaan. Karena membuat Winena kehilangan sumber kebahagiaan.

Kemarin, saat vonis itu akhirnya dijatuhkan, Winena tidak punya tenaga untuk menghubungi Ibu. Winena tidak sanggup mendengar tangis Ibu yang menyayat hatinya. Sesal itu tidak bisa lagi diukur. Seharusnya, Winena pulang dan memeluk Ibu. Menguatkan Ibu agar bisa bertahan. Sekarang bagaimana? Ibu benar-benar kehilangan cinta dalam hidupnya. Ibu kehilangan teman hidupnya yang dulu berjanji akan berada di sisi Ibu.

Ibu pernah sekali bercerita kepada dirinya saat ayahnya berjanji, "Aku mencintaimu. Dan karena aku tidak ingin melihatmu menderita karena kehilangan, aku rela kamu yang pergi duluan. Aku akan menyusul secepatnya."

Ayahnya sudah mengingkari janji untuk tidak pergi terlebih duku sebelum Ibu.

Ibu, apa yang akan terjadi kepada Ibu dan aku setelah ini? lirih Winena dalam hati.

Winena tersenyum miris sembari menahan rasa sakit di dada. Luka membayang di matanya yang sayu. Ayahnya tidak hanya mengingkari janjinya untuk Ibu. Tetapi juga janji-janji yang dibuat dengannya dulu. Ayahnya berjanji akan selalu ada di sisi Winena, kapanpun Winena membutuhkannya. Namun, gugur sudah janji itu. Beberapa bulan terakhir ini, pada masa-masa sulitnya, ayahnya tidak ada. Ayahnya juga berjanji akan memberikan nama untuk cucu pertamanya. Namun, janji itu tak akan pernah bisa ditepati. Belum ada lagi benih yang tumbuh di rahim Winena setelah keguguran setengah tahun yang lalu. Ayahnya berjanji akan berlibur dengannya, dengan Ibu, dan dengan suami Winena saat akhir tahun, untuk menebus waktu-waktu yang habis untuk kesibukan masing-masing. Karena setelah Winena menikah, jarang sekali bisa menghabiskan waktu dengan keluarga untuk sekadar mengobrol ringan sebentar. Dan janji itu tidak terealisasikan karena ayahnya terlibat kasus.

"Maaf, Bu, apa Ibu buru-buru untuk segera sampai ke rumah sakit?"

Suara supir taksi menginterupsi lamunan Winena.

Winena menoleh dengan kernyitan samar di kening. "Kenapa, Pak?"

"Macet, Bu."

Winena menghela napas. Ini bahkan masih jam enam pagi lebih sedikit. Tapi dunia sudah sangat sibuk. "Tidak bisa lewat jalan alternatif, Pak?"

"Nanti di tikungan depan sana, Bu."

Tikungan yang dimaksud supir taksi itu masih berjarak sekitar tiga ratus meter.

"Semoga di sana tidak macet ya, Bu," kata supir taksi yang sepertinya melihat kekhawatiran di wajah penumpangnya. 

Winena hanya mengangguk. Lalu kembali menatap ke luar jendela. Kembali teringat kepada Ibu.

Apa yang harus ia katakan kepada Ibu? Bagaimana caranya ia menenangkan Ibu jika wanita itu histeris seperti dulu?

.

.

Tante Elis

Sudah di jalan, kan, Win?

Tante tunggu di sini

Datang ya, Win

.

.

Winena kembali mendapat pesan dari Tante Elis saat taksi berbelok ke arah jalan alternatif. Pesan dari Tante Elis memang tidak ada yang ia tanggapi sejak tadi. Mungkin itu yang membuat Tante Elis terus mengiriminya pesan. Wanita itu masih menanti kedatangan keponakannya. Dengan tangan bergetar Winena akhirnya membalas pesan itu singkat. Mengabarkan bahwa ia sebentar lagi akan sampai di rumah sakit.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, kekhawatiran Winena bertambah besar. Sejak ayahnya dipastikan terjerat kasus korupsi, Winena nyaris menutup pergaulan. Ia tidak bisa menampung penghakiman menyakitkan yang ditudingkan orang-orang sehingga ia memilih mengurung diri.

Sayangnya, di rumah, keadaan tidak lebih baik. Suaminya yang selama ini menjadi tumpuan saat dirinya butuh pegangan, mendadak menjadi orang paling tega. Diawali dari ujaran-ujaran menyakitkan yang entah dari mana asalnya, hingga berlanjut pada pukulan di punggung, tendangan di perut. Seolah belum cukup ditampar dengan kegilaan yang datang bertubi-tubi, Winena harus kehilangan anak. Ia keguguran. Faris yang saat itu seolah kerasukan setan, membabi buta menghajar Winena, tidak tahu jika istrinya sedang mengandung. Faris yang membunuh anaknya sendiri dan pria itu malah menyalahkan Winena karena tidak becus menjaga diri sendiri dan tidak becus menjaga anak.

"Bu, maaf. Sudah sampai," tegur supir taksi dengan agak sungkan saat taksinya sudah menepi, berjarak beberapa meter dari kerumunan yang memadati dekat pintu masuk ke rumah sakit.

Winena mengembuskan napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak untuk menghimpun kekuatan.

"Terima kasih, Pak," kata Winena sebelum turun dari taksi.

Atas bantuan Tante Elis dan suaminya, status Winena sebagai anak kandung Armandio Jati tidak terendus wartawan hingga hari ini. Kerabat terdekat keluarga Winena berhasil diminta tutup mulut, lebih tepatnya karena mereka sudah tidak sudi berurusan dengan Winena dan ibunya.

Pihak-pihak lain yang mengenal baik keluarga Winena pun tidak menggembor-gemborkan masalah dengan ikut-ikutan menghujat dan menjatuhkan keluarganya. Mereka masih cukup menghargai Winena yang selama ini mereka kenal sebagai sosok yang berbudi pekerti baik. Sehingga Winena seharusnya tidak perlu khawatir saat supir taksi menurunkannya tepat di depan rumah sakit, di dekat kerumunan yang ramai akan gempuran wartawan dari berbagai media yang berlomba-lomba mendapat liputan eksklusif. Polisi dan aparat keamanan yang dikerahkan rumah sakit itu nyaris kewalahan menangani para wartawan karena kalah jumlah.

"Kamu bisa, Winena. Ini bukan apa-apa," bisik Winena kepada dirinya sendiri dengan suara bergetar.

Ia berusaha berjalan tegak meski rasanya ia seolah tersedot oleh gravitasi dan nyaris tersungkur.

Langkahnya tidak terlalu mantap saat melewati sisi kanan kerumunan yang cukup untuk dilewati pejalan kaki yang mau masuk ke gedung rumah sakit.

Sesampainya di dalam yang sudah terbebas dari wartawan, Winena bertanya letak gedung khusus autopsi kepada resepsionis. Resepsionis menunjukkan arah dengan lancar dan jelas.

Winena melanjutkan langkah. Semakin dekat ke tempat itu, langkahnya kian melambat. Sanggupkah dirinya bertemu dengan ayahnya yang sudah tidak bernyawa? Sanggupkah ia melihat ayahnya terbujur kaku, yang tak lagi mampu menghirup udara yang sama dengan dirinya?

Winena tahu bahwa sebenci-bencinya ia terhadap ayahnya, ia tidak akan sanggup. Mau bagaimanapun juga pria itu tetap ayahnya. Ayah yang selalu mencintainya.

Kedatangannya langsung menarik mata Tante Elis dan suaminya yang baru selesai ditanyai oleh pihak kepolisian.

Tante Elis menghambur ke arah Winena yang berdiri mematung, menarik keponakannya ke dalam pelukan erat. Kemudian tangis itu mengudara.

"Kamu... kamu yang sabar ya, Win. Yang sabar," isak Tante Elis pilu.

Tante Elis tidak berusaha menyembunyikan kesedihannya. Sementara Winena, air matanya seolah menguap dan mendadak kering. Rasa sakit itu menggerogoti dari dalam, betapa pun sakitnya, Winena tidak bisa menangis.

***

naftalenee

Halooo, maaf baru bisa update setelah nyaris dua bulan. Ada yang nungguin cerita ini nggak nih ya??? Semoga adaaaa biar ke depannya aku bisa update lebih rajin hehe

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbuh Lah
nungguin dong kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status