Winena meninggalkan kamar hotel hanya membawa tas selempang kecilnya yang berisi ponsel dan dompet. Pakaian bekas yang Winena kenakan semalam ia tinggalkan teronggok di lantar kamar mandi kamar hotelnya. Sudah tidak ia butuhkan lagi.
Saat mencapai luar gedung hotel 50 lantai itu, kebetulan sekali ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Winena langsung masuk ke dalam taksi dan meminta supir taksi itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit di mana jasad ayahnya sedang diautopsi. Membayangkan bagaimana tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa dibedah demi mencari tahu pasti akibat kematian pria itu memberikan sensasi mengerikan pada tubuh Winena. Bulu kuduknya merinding, bukan karena kedinginan, melainkan karena dunianya yang sudah hancur itu dihentakkan hingga runtuh. Satu per satu rasa sakit yang membuat tubuhnya koyak itu menghantamnya terus-menerus.
Saat tinggal setengah perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Winena kemudian melayang ke momen-momen saat keluarganya masih utuh dan bahagia. Menjadi anak tunggal kesayangan ayah dan ibunya. Ia dimanjakan dalam porsi yang cukup. Tidak pernah kekurangan cinta dan kasih sayang. Membuat dirinya tumbuh menjadi gadis penyayang, yang kemudian mencurahkan rasa sayangnya kepada sang suami—yang ternyata masih tidak cukup membuat Faris tinggal, tidak cukup membuat Faris bisa membalas dengan curahan kasih yang sama. Winena juga dididik oleh orang tuanya menjadi pribadi yang tangguh, yang membuat Winena bisa sampai di titik ini dalam keadaan hidup. Berkali-kali jatuh, namun ia masih bisa berdiri walau kemudian harus berjalan tertatih-tatih.
Bicara tentang keluarga kecilnya, Winena teringat Ibu. Sakit sekali membayangkan bagaimana hancurnya dunia Ibu jika mengetahui kabar duka ini.
Saat pertama kali didatangi KPK dua tahun lalu, Ibu menangis histeris. Ditambah lagi saat ayah Winena kabur dan menjadi buronan, Ibu mulai sakit-sakitan. Darah tinggi, kolesterol, mag akut, hingga stroke. Segala penyakit mendadak hadir, melemahkan tubuh Ibu—yang dulu Winena tahu bahwa Ibu adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Saat ayah Winena akhirnya ditangkap polisi, Ibu sampai masuk rumah sakit dan diopname selama beberapa hari.
Dari proses penyidikan hingga kasus ayahnya naik ke pengadilan, kondisi Ibu tidak pernah lagi membaik. Batinnya terus tertekan hingga memengaruhi sakit fisik yang tak mau sembuh. Winena kelimpungan. Tidak hanya ayahnya yang menjadi semakin jauh darimya, Ibu juga. Winena mendadak kehilangan dua sosok yang begitu ia sayangi karena kasus sialan itu. Winena seolah lupa bagaimana rasa cinta dan kasih sayang ayahnya yang dulu selalu tercurah. Winena mendadak benci kepada ayahnya. Karena membuat ibunya menanggung penderitaan. Karena membuat Winena kehilangan sumber kebahagiaan.
Kemarin, saat vonis itu akhirnya dijatuhkan, Winena tidak punya tenaga untuk menghubungi Ibu. Winena tidak sanggup mendengar tangis Ibu yang menyayat hatinya. Sesal itu tidak bisa lagi diukur. Seharusnya, Winena pulang dan memeluk Ibu. Menguatkan Ibu agar bisa bertahan. Sekarang bagaimana? Ibu benar-benar kehilangan cinta dalam hidupnya. Ibu kehilangan teman hidupnya yang dulu berjanji akan berada di sisi Ibu.
Ibu pernah sekali bercerita kepada dirinya saat ayahnya berjanji, "Aku mencintaimu. Dan karena aku tidak ingin melihatmu menderita karena kehilangan, aku rela kamu yang pergi duluan. Aku akan menyusul secepatnya."
Ayahnya sudah mengingkari janji untuk tidak pergi terlebih duku sebelum Ibu.
Ibu, apa yang akan terjadi kepada Ibu dan aku setelah ini? lirih Winena dalam hati.
Winena tersenyum miris sembari menahan rasa sakit di dada. Luka membayang di matanya yang sayu. Ayahnya tidak hanya mengingkari janjinya untuk Ibu. Tetapi juga janji-janji yang dibuat dengannya dulu. Ayahnya berjanji akan selalu ada di sisi Winena, kapanpun Winena membutuhkannya. Namun, gugur sudah janji itu. Beberapa bulan terakhir ini, pada masa-masa sulitnya, ayahnya tidak ada. Ayahnya juga berjanji akan memberikan nama untuk cucu pertamanya. Namun, janji itu tak akan pernah bisa ditepati. Belum ada lagi benih yang tumbuh di rahim Winena setelah keguguran setengah tahun yang lalu. Ayahnya berjanji akan berlibur dengannya, dengan Ibu, dan dengan suami Winena saat akhir tahun, untuk menebus waktu-waktu yang habis untuk kesibukan masing-masing. Karena setelah Winena menikah, jarang sekali bisa menghabiskan waktu dengan keluarga untuk sekadar mengobrol ringan sebentar. Dan janji itu tidak terealisasikan karena ayahnya terlibat kasus.
"Maaf, Bu, apa Ibu buru-buru untuk segera sampai ke rumah sakit?"
Suara supir taksi menginterupsi lamunan Winena.
Winena menoleh dengan kernyitan samar di kening. "Kenapa, Pak?"
"Macet, Bu."
Winena menghela napas. Ini bahkan masih jam enam pagi lebih sedikit. Tapi dunia sudah sangat sibuk. "Tidak bisa lewat jalan alternatif, Pak?"
"Nanti di tikungan depan sana, Bu."
Tikungan yang dimaksud supir taksi itu masih berjarak sekitar tiga ratus meter.
"Semoga di sana tidak macet ya, Bu," kata supir taksi yang sepertinya melihat kekhawatiran di wajah penumpangnya.
Winena hanya mengangguk. Lalu kembali menatap ke luar jendela. Kembali teringat kepada Ibu.
Apa yang harus ia katakan kepada Ibu? Bagaimana caranya ia menenangkan Ibu jika wanita itu histeris seperti dulu?
.
.
Tante Elis
Sudah di jalan, kan, Win?
Tante tunggu di sini
Datang ya, Win
.
.
Winena kembali mendapat pesan dari Tante Elis saat taksi berbelok ke arah jalan alternatif. Pesan dari Tante Elis memang tidak ada yang ia tanggapi sejak tadi. Mungkin itu yang membuat Tante Elis terus mengiriminya pesan. Wanita itu masih menanti kedatangan keponakannya. Dengan tangan bergetar Winena akhirnya membalas pesan itu singkat. Mengabarkan bahwa ia sebentar lagi akan sampai di rumah sakit.
Semakin dekat dengan tempat tujuan, kekhawatiran Winena bertambah besar. Sejak ayahnya dipastikan terjerat kasus korupsi, Winena nyaris menutup pergaulan. Ia tidak bisa menampung penghakiman menyakitkan yang ditudingkan orang-orang sehingga ia memilih mengurung diri.
Sayangnya, di rumah, keadaan tidak lebih baik. Suaminya yang selama ini menjadi tumpuan saat dirinya butuh pegangan, mendadak menjadi orang paling tega. Diawali dari ujaran-ujaran menyakitkan yang entah dari mana asalnya, hingga berlanjut pada pukulan di punggung, tendangan di perut. Seolah belum cukup ditampar dengan kegilaan yang datang bertubi-tubi, Winena harus kehilangan anak. Ia keguguran. Faris yang saat itu seolah kerasukan setan, membabi buta menghajar Winena, tidak tahu jika istrinya sedang mengandung. Faris yang membunuh anaknya sendiri dan pria itu malah menyalahkan Winena karena tidak becus menjaga diri sendiri dan tidak becus menjaga anak.
"Bu, maaf. Sudah sampai," tegur supir taksi dengan agak sungkan saat taksinya sudah menepi, berjarak beberapa meter dari kerumunan yang memadati dekat pintu masuk ke rumah sakit.
Winena mengembuskan napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak untuk menghimpun kekuatan.
"Terima kasih, Pak," kata Winena sebelum turun dari taksi.
Atas bantuan Tante Elis dan suaminya, status Winena sebagai anak kandung Armandio Jati tidak terendus wartawan hingga hari ini. Kerabat terdekat keluarga Winena berhasil diminta tutup mulut, lebih tepatnya karena mereka sudah tidak sudi berurusan dengan Winena dan ibunya.
Pihak-pihak lain yang mengenal baik keluarga Winena pun tidak menggembor-gemborkan masalah dengan ikut-ikutan menghujat dan menjatuhkan keluarganya. Mereka masih cukup menghargai Winena yang selama ini mereka kenal sebagai sosok yang berbudi pekerti baik. Sehingga Winena seharusnya tidak perlu khawatir saat supir taksi menurunkannya tepat di depan rumah sakit, di dekat kerumunan yang ramai akan gempuran wartawan dari berbagai media yang berlomba-lomba mendapat liputan eksklusif. Polisi dan aparat keamanan yang dikerahkan rumah sakit itu nyaris kewalahan menangani para wartawan karena kalah jumlah.
"Kamu bisa, Winena. Ini bukan apa-apa," bisik Winena kepada dirinya sendiri dengan suara bergetar.
Ia berusaha berjalan tegak meski rasanya ia seolah tersedot oleh gravitasi dan nyaris tersungkur.
Langkahnya tidak terlalu mantap saat melewati sisi kanan kerumunan yang cukup untuk dilewati pejalan kaki yang mau masuk ke gedung rumah sakit.
Sesampainya di dalam yang sudah terbebas dari wartawan, Winena bertanya letak gedung khusus autopsi kepada resepsionis. Resepsionis menunjukkan arah dengan lancar dan jelas.
Winena melanjutkan langkah. Semakin dekat ke tempat itu, langkahnya kian melambat. Sanggupkah dirinya bertemu dengan ayahnya yang sudah tidak bernyawa? Sanggupkah ia melihat ayahnya terbujur kaku, yang tak lagi mampu menghirup udara yang sama dengan dirinya?
Winena tahu bahwa sebenci-bencinya ia terhadap ayahnya, ia tidak akan sanggup. Mau bagaimanapun juga pria itu tetap ayahnya. Ayah yang selalu mencintainya.
Kedatangannya langsung menarik mata Tante Elis dan suaminya yang baru selesai ditanyai oleh pihak kepolisian.
Tante Elis menghambur ke arah Winena yang berdiri mematung, menarik keponakannya ke dalam pelukan erat. Kemudian tangis itu mengudara.
"Kamu... kamu yang sabar ya, Win. Yang sabar," isak Tante Elis pilu.
Tante Elis tidak berusaha menyembunyikan kesedihannya. Sementara Winena, air matanya seolah menguap dan mendadak kering. Rasa sakit itu menggerogoti dari dalam, betapa pun sakitnya, Winena tidak bisa menangis.
***
Halooo, maaf baru bisa update setelah nyaris dua bulan. Ada yang nungguin cerita ini nggak nih ya??? Semoga adaaaa biar ke depannya aku bisa update lebih rajin hehe
"KAMU DI MANA, SENA?! MUTERIN INDONESIA DULU KAMU, HA? KENAPA NGGAK SAMPAI-SAMPAI?! KATANYA TADI SUDAH DEKAT?!" Gendang telinga Sena berdenging perih karena teriakan dari Pak Rudi. Belum ada sepuluh menit sejak Pak Rudi menghubunginya tadi, tidak bisakah atasannya itu bersabar sedikit? Sena juga bukannya sedang mengulur-ulur waktu untuk datang. Ia hanya sedang terjebak kemacetan lalu lintas. "Di jalan agak macet, Pak." "Jangan banyak alasan, Sena! Cepatlah datang dan selesaikan kekacauan yang sudah kamu perbuat! Tinggalkan mobilmu dan lari ke sini, Anak bodoh!" Sena menjambaki rambutnya dengan kasar. Pak Rudi yang benar-benar menunjukkan sisi terburuknya sebagai atasan. Sena nyaris lupa bahwa Pak Rudi selama ini selalu mengayomi anak-anak buahnya. Kali ini, Sena tidak melihat itu. Pak Rudi melimpahkan semuanya kepada Sena. Menyalahkan anak buahnya yang selama ini hanya tahu bagaimana caranya bekerja keras dan bekerja dengan baik. Bertanggung jawab pada setiap kasus yang diberikan k
Sena sudah tidak peduli lagi meski ia masih punya kewajiban untuk memantau proses investigasi atas kematian Armandio Jati. Sena terlalu marah dan muak kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan semua kesalahan kepada dirinya sehingga ia langsung meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum melihat jasad Armandi Jati dengan mata kepalanya sendiri. Ia mendengar suara salah satu rekan kerjanya yang memanggil-manggil namanya, tetapi Sena pura-pura tidak mendengar. Sena melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju ke tempat mobilnya ia parkirkan beberapa saat yang lalu. Tanpa membuang waktu, Sena meninggalkan rumah sakit dengan mengemudikan mobilnya pada kecepatan tinggi hingga mendapat makian dan klakson beruntun dari kendaraan lain yang mau tidak mau harus mengalah jika tidak ingin terjadi kecelakaan. Pada momen ini, Sena benar-benar tidak peduli jika dirinya ditilang oleh polisi karenma melanggar peraturan lalu lintas. Yang ingin Sena lakukan sekarang adalah menjauh dari semua hal ya
Masih sangat membekas di ingatan Winena saat ayahnya memberikan banyak sekali wejangan dan pelajaran hidup yang harus Winena terapkan saat dewasa nanti. Saat itu umur Winena baru memasuki 14 tahun. Ada banyak prinsip yang Winena pegang teguh karena nasihat dari ayah tercintanya itu. "Cinta pertama? Cinta pertamaku ayah! Nanti kalau sudah besar, aku mau menikah dengan ayah!" Terbersit dengan sangat jelas bayangan Armandio Jati yang tertawa hingga matanya menyipit kala mendengar anaknya berkata demikian. "Ayah sudah menikah dengan Ibu, Win. Kamu nggak bisa menikah sama Ayah. Nanti Ibu cemburu dan sedih." "Terus aku nikahnya sama siapa, Yah? Aku maunya yang kayak Ayah!" "Nanti, Win. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan bertemu dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang jauh lebih baik dari Ayah." Armandio Jati adalah satu orang dewasa paling favorit dalam hidup Winena saat masa kecil dulu. Setiap ucapan dan tindakan pria itu selalu membuat Winena kagum. Bahkan, meski ibunya juga
Meski Tante Elis sudah memberitahu Winena jika keluarga besarnya sudah dikabari tentang meninggalnya Armandio Jati, Winena masih mengira bahwa rumah akan tetap sepi.Sebab, tetangga dan kerabat dekat keluarganya, bahkan keluarga besarnya satu per satu berpaling saat Armandio Jati beralih status dari tersangka menjadi terdakwa sejak berbulan-bulan lalu atas kasus korupsi yang menjeratnya. Namun, kematian Armandio Jati rupanya berhasil mengumpulkan mereka semua kembali di sini, di rumah Ibu, yang sudah beberapa bulan ini tidak Winena sambangi dengan alasan sibuk bekerja dan mengurus suami, juga karena Winena tidak sanggup melihat Ibu sedih. Menghindar dari Ibu terasa jauh lebih mudah baginya. Masih terdengar bisik-bisik tidak menyenangkan saat Winena melewati halaman rumah yang luas dan kemudian memasuki rumah yang sudah ramai dengan pelayat. Tentu saja tak ada yang bisa Winena lakukan. Penghakiman orang-orang itu valid dan bukan tanpa alasan. Armandio Jati memang bersalah, mempunyai t
Winena tahu ini bukan saatnya bernostalgia. Namun, berada di kamar yang sudah jarang dihuni sejak ia menikah dengan Faris itu mendadak membawa Winena kepada kenangan-kenangan yang lagi-lagi menbuat Winena semakin punya alasan untuk tidak terlalu larut dalam duka lara karena ditinggal pergi ayahnya dengan cara yang mengenaskan. Yang Winena ingat, hampir seluruh kenangan yang terjadi di kamarnya adalah hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Tentu saja kenangan-kenangan itu tercipta sebelum Winena tahu bahwa ayahnya tidak sesempurna yang wanita itu kira. Setelah mengetahui ayahnya mendua, kamar ini yang selalu menjadi saksi bisu saat Winena menangis diam-diam. Di kamar ini pula Winena berkali-kali mengutuk ayahnya yang menduakan Ibu. Jika dulu kamar dengan dinding bercat putih bersih itu menjadi tempat paling favorit bagi Winena, makin lama kamarnya terasa seperti tempat pengasingan. Di sini, Winena membentengi diri dari rasa sakit menyaksikan keretakan keluarga kecilnya. Winena t
Melayat ke rumah duka Armandio Jati bersama rekan-rekan kantornya, Sena memilih untuk duduk di deretan kursi terluar yang akan memudahkan laki-laki itu beranjak pergi setelah upacara pemakaman berakhir. Sena juga menjaga jarak dari Pak Rudy, atasan sekaligus mentor yang membuat Sens kecewa sekali hari ini. Meski sudah berusaha menerima keputusan yang telah dijatuhkan, kemarahan di dalam dadanya masih belum mereda. Diperlakukan seperti sampah benar-benar membuat ego Sena terluka. Sena membuang muka saat rombongan keluarga Armandio Jati satu per satu masuk ke dalam mobil, sebagian ikut ambulans untuk berangkat ke tempat pemakaman. Dari yang Sena ketahui, Armandio Jati mempunyai satu istri dan anak semata wayang yang menolak diekspos ke media. Sena tidak tahu orangnya yang mana, tetapi Sena tetap berusaha sekeras mungkin untuk mengalihkan tatapan. Tak sanggup Sena menatap satu per satu wajah keluarga Armandio Jati yang sedang berduka. "Kasihan anak dan istrinya harus nanggung aib." "Ma
Meski berkali-kali sudah diminta unuk mengikhlaskan, tidak semerta-merta Ibu mau mendengarkan. Ibu berselimut duka dalam waktu yang lama. Tangis tak jua kunjung berhenti. Setelah tersadar dari pingsannya, Ibu kembali menangis. Meratapi kepergian suaminya yang pergi begitu saja tanpa pamit. Keadaan Ibu memburuk dan akhirnya drop hingga harus dilarikan ke rumah sakit malam itu juga. Lagi-lagi, ditemani Tante Elis, Winena menunggui ibunya yang harus menginap di rumah sakit. Sementara itu, di rumah tetap digelar acara tahlilan. "Tante... kalau Ibu pergi—" "Astaghfirullahal’azim, jangan bilang begitu, Win!" tegur Tante Elis menghentikan ucapan ngawur Winena. Wanita yang usianya sudah setengah abad, hanya terpaut beberapa tahun lebih muda dari Ibu, tetapi masih tampak seperti berusia pertengahan tiga puluh tahun itu menatap Winena dengan sedih. "Ibumu cuma lagi berduka, Win." "Tapi, Tante—" Tante Elis menggeleng. Meminta Winena berhenti mengatakan apa pun yang ia asumsikan di kepalan
Winena tidak bisa menceritakan kepada Tante Elis tentang alasan ia dan Faris bercerai. Setidaknya, tidak untuk sekarang. Winena merasa bahwa memang sudah sebaiknya ia simpan masalah internal dalam rumah tangganya dengan Faris meski hal itu bukanlah benar untuk dilakukan. Namun, memangnya mau bagaimana lagi? Ia sudah berusaha melaporkan Faris ke polisi, tetapi pihak kepolisian tidak cepat tanggap. Padahal, Winena sudah berharap laporan yang terakhir akan diproses karena saat itu polisi yang ia temui berkata bahwa akan membantu Winena. Sayangnya sudah lebih dari dua minggu sejak Winena terakhir datang ke kantor polisi dengan menyerahkan bukti kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi kepadanya, tetapi belum ada kabar lanjutan dari polisi. Winena pun berpikir bahwa bercerita kepada orang-orang terdekatnya juga akan sia-sia. "Apa memang sudah nggak bisa didiskusikan lagi, Win?" Winena terdiam. Sesungguhnya, Winena memang sempat berharap bahwa Faris tidak benar-benar serius tentang g