Di tempat lain, Sena tengah makan malam seorang diri. Sena yang tidak menyukai suasana yang sepi harus menyalakan TV agar ia merasa tidak kesepian. Saat makan sendiri di rumah, terkadang Sena teringat akan kenangan sewaktu makan bersama dengan Ayah, Bunda dan kedua Adiknya dengan penuh kehangatan dan keceriaan.
Waktu begitu cepat berlalu, dua tahun adalah waktu yang singkat untuk Sena. Ya dua tahun yang lalu seluruh keluarganya meninggal karena kecelakaan. Sena masih ingat saat-saat terakhir kepergian keluarganya waktu itu. Kedua Adik kembarnya yang masih berumur sembilan tahun ingin bermain di mall, karena Sena ada jadwal kuliah di hari itu, akhirnya Ayah dan Bundanya yang mengantarkan ke mall.
Namun saat perjalanan pulang dari mall, naas mobil yang di tumpangi keluarganya di tabrak truk berlawanan arah yang mengalami rem blong. Mobil keluarga mereka terjungkal sampai beberapa meter dan mobilnya rusak parah.
Kejadian itu membuat Sena terpuruk, mental dan jiwanya seakan hilang. Pernah di kondisi yang terpuruk tersebut, Sena ingin mengakhiri kehidupannya karena separuh hidupnya telah hilang. Di tambah lagi kondisi ekonomi Sena buruk. Sena hanya mengandalkan sisa tabungan yang di miliki Ayahnya. Kuliahnya pun juga harus berhenti karena tidak mampu membayar tagihan setiap semesternya yang cukup besar.
Karena beberapa bulan tersebut Sena hanya mengandalkan tabungan Ayahnya untuk bertahan hidup. Dan tabungan tersebut semakin menipis, akhirnya Sena mencari pekerjaan yang mau menerimanya. Ia yang belum pernah bekerja merasa kesulitan dan beberapa kali di tolak lamaran pekerjaannya. Tidak ingin menyerah, Sena terus mencari lowongan pekerjaan dan sampai akhirnya ada orang baik yang di kirim Tuhan padanya hingga akhirnya ia bisa bekerja di toko kue milik keluarga Aditama.
Kenyataan pahit lainnya yang harus Sena terima adalah saat di tinggalkan oleh Bagas yang tak lain adalah mantan tunangannya. Sena tidak tahu alasan apa yang membuat Bagas meninggalkannya. Meskipun kepergiannya membuat Sena bersyukur. Sena bersyukur karena Bagas memiliki sifat yang tidak baik. Sering kali Bagas melakukan kekerasan pada Sena yang membuatnya trauma jika bertemu dengannya.
Menurut Sena, Bagas mempunyai perilaku ganda. Terkadang Bagas menjadi sosok yang penyayang namun dalam hitungan menit dia berubah menjadi sosok yang pemarah. Kekerasan yang sering terulang membuatnya menyerah untuk melanjutkan hubungannya dengan Bagas. Namun keluarganya kala itu melarang karena Bagas sudah bersikap baik dan keluarganya menilai jika Bagas lah yang mampu menjaga Sena nantinya.
Atas kejadian yang menimpanya, Sena mampu bangkit dari keterpurukan. Takdir membuatnya seakan tidak siap menerima, namun takdir juga dengan terpaksa menerima itu. Bukankah takdir sudah ada yang mengatur dan Tuhan tidak akan mungkin memberi hambanya masalah di luar kemampuannya. Itu lah yang terjadi pada Sena. Dengan kepercayaan penuh kepada Tuhan akhirnya ia bangkit dari keterpurukan tersebut.
Sena yang dulu sangat berbeda dengan sekarang, kini ia menjadi orang yang mandiri nan tangguh. Keceriaan yang selama ini tidak menghiasi wajah cantiknya kini muncul kembali. Yang di lakukannya saat ini hanya ikhlas dan bersyukur kepada Tuhan.
***
Suara Azan subuh berkumandang, Sena bangun dari mimpi indahnya lalu bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya dengan wudhu. Selesai sholat Sena merapikan tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur dan siap memasak untuk sarapan paginya. Wanita itu hanya masak nasi goreng dan telur ceplok, menu sederhana namun terasa istimewa bagi Sena.
Selesai masak dan makan ia lanjutkan aktifitas mandi dan siap-siap untuk berangkat ke GaChi. Waktu sudah menunjukan pukul 07.15 WIB akhirnya Sena berangkat kerja dengan mobil sedan putih miliknya. Jalanan yang tidak macet, Sena mengendarai mobilnya dengan laju sedang. Tak lama menempuh perjalanan dari rumah ke tokonya yang hanya membutuhkan waktu dua puluh menit jika tidak macet.
Setelah Sena memakirkan mobilnya, segera ia keluar mobil lalu berjalan menuju ruang ganti. Sena menganti baju dengan baju putih khas Chef. Setelah itu, Ia langkahkan kakinya menuju dapur dan siap untuk membuat beberapa adonan kue. Setelah semuanya beres, ia memerintahkan karwayan lain untuk menuangkan adonan dalam Loyang dan memasukkannya dalam oven. Saat pekerjaan dapur di rasa tidak repot, Sena melakukan pekerjaan lain untuk mengecek laporan.
Toko pada hari ini terlihat ramai pengunjung sehingga karyawan di kasir kualahan untuk melayani pelanggan. Sena berinisiatif untuk membantu bagian kasir agar antrian tidak terlalu panjang, Sena melayani pembeli dengan senyum ramahnya.
“Terimakasih Ibu sudah berkunjung,” ucap Sena tersenyum.
Namun saat antrian selanjutnya Sena tercekat, wanita itu berdiri mematung dengan wajah ketakutan saat melihat seorang pria yang sangat ia kenal. Ia masih berdiam diri dengan menatap pria itu. Sampai akhirnya perlahan langkah Sena mundur hingga menabrak karyawan lainnya.
“Bagaimana keadaan kamu?” Tanya pria itu dengan lembut.
Secara reflek Sena berbalik badan dan meminta karyawan yang lain untuk menggantikan posisi nya. Dan tanpa menunggu lagi, dalam gerakan cepat, Sena berlari menuju dapur.
Pria yang bernama Bagas itu hanya terdiam dan masih menatap terkejut Sena yang secepat kilat meninggalkan dirinya. Wanita itu menghela napas lega karena bisa menjauh dari Bagas, ada sedikit sesal saat dia bertemu dengan Bagas yang tak lain mantan tunangannya. Rasa trauma yang selama ini ia kubur harus kembali muncul dalam sekejap. “Sena, kamu sedang apa? Apakah kamu baik-baik saja?” Tanya Bu Dila dengan suara lembutnya. Suara dan sentuhan di pundaknya, membuat Sena terkejut saat sedang menetralkan perasaannya. “Ehh Bu Dila. Saya tidak apa-apa Bu, mungkin kecapean saja karena alhamdulilah toko hari ini ramai,” jawab Sena yang berusaha menyembunyikan perasaannya. “Jika memang kamu tidak enak badan, istirahatlah Sena,” perintah Bu Dila lembut. “Iya Bu,” jawab Sena sambil menganggukan kepalanya. Sena melanjutkan perkerjaannya sampai menjelang sore, pe
Sepanjang perjalanan di mobil Gavin hanya hening, mereka larut dalam pikiran masing-masing. Sena masih tidak menyangka jika hari ini bertemu dengan Bagas. Kecemasan dan ketakutannya kembali menguasai hatinya. Wanita cantik yang mempunyai lesung pipi itu takut jika Bagas akan kembali menerornya.Laki-laki kasar itu mulai menerornya setelah satu tahun kepergiannya. Ia mengirimkan pesan mengancam pada Sena. Tak jarang Bagas mengirimkan bunga ke rumahnya. Entah apa tujuan Bagas melakukan itu. Yang pasti teror itu membuatnya takut dan gelisah.Sedangkan laki-laki yang duduk di sampingnya, fokusnya harus terbagi menjadi dua. Setengah pikirannya fokus mengemudi sedangkan setengah pikirannya bertanya-tanya siapa pria yang berani kasar terhadap wanita yang kini bersamanya. Ingin bertanya pada Sena, namun rasanya tidak patut. Entah mengapa, Gavin ingin melindungi Sena.Tidak membutuhkan waktu lama, kini mobil yang mereka tumpangi
“Maaf, apakah Ibu tidak salah mengatakan itu pada saya,” ujar Sena yang ingin memastikan pernyataan Bu Dila padanya. “Tidak. Apakah kamu bersedia Sena?” tatapan mata berharap Bu Dila membuat Sena tidak enak hati untuk mengatakannya. “Maaf Bu Dila, bukan saya mau menolak. Tetapi saya belum siap untuk menikah. Lagi pula saya tidak mengenal pria yang akan di jodohkan pada saya. Saya takut jika kita berbeda cara pandang dan mungkin kami akan kesulitan dalam menjalani hidup berumah tangga,” sambung Sena dengan hati-hati agar Bu Dila tidak tersinggung. Dengan tersenyum, Bu Dila mencoba membujuk Sena agar bersedia jika ia di jodohkan,“Iya saya mengerti problem yang kamu maksud. Kamu percaya saya bukan Sena, sudah berapa lama kamu kenal saya. Saya menjodohkan kamu demi kebaikan kamu dan juga keluarga saya. Yang terpenting kamu dan laki-laki yang akan saya jodohkan bertemu terlebih dahulu. Jika memang kamu tidak menginginka
“Ma, ini terlalu cepat. Baru saja kemarin malam Papa mengatakan itu,” Gavin merasa keberatan dengan perintah Papa dan Mamanya kali ini. “Kamu menolak Gavin?” terdengar Bu Dila tidak menyukai perkataan Gavin. “Bukan seperti itu Ma. Hanya saja ini terlalu cepat, aku belum siap untuk itu,” Gavin menolak permintaan Mamanya. “Untuk kali ini tidak ada penolakan. Jangan membuat Papa dan Mama malu, Gavin. Susah payah Mama bujuk wanita itu untuk bertemu dengan kamu,” suara Bu Dila terdengar kesal. “Nanti Mama kirim lokasi cafenya, kamu harus datang, Assalamualaikum.” Bu Dila mematikan telfon tanpa mendengarkan persetujuan Gavin. Gavin merasa kesal, mengapa harus secepat itu orang tuanya mengenalkan wanita itu padanya. Bagaimana jika wanita yang akan di jodohkan padanya tidak seperti yang di harapkannya. Ah salahkan dirinya juga karena telah menerima tantangan dari Papanya waktu
Mendengar pernyataan Gavin, keluarga Aditama sangat bahagia. Keinginan mereka kali ini tidak di bantah oleh Gavin. Mereka akan mendapatkan menantu yang memang baik dan memiliki sifat yang penyabar. Sena di nilai mampu menjadi penenang Gavin yang mempunyai sifat keras kepala.“Mama lihat kamu sangat bahagia dengan perjodohan ini Gavin. Bukankah tadi siang kamu sempat menolaknya. Ah Mama tahu, apakah karena wanita itu adalah Sena, makanya kamu tidak bisa menolak?” sindir Bu Dila yang membuat Gavin salah tingkah. Apalagi, Sedari tadi Sena terus menatapnya.“Mama tidak perlu meledekku seperti itu,” Gavin menjawab ledekan Mama dengan tenang agar gaya coolnya tidak tercemar.“Tapi sepertinya Sena akan menolaknya Pa, Ma. Karena sedari tadi aku melihat Sena terus diam. Tatapan matanya juga seperti tidak menginginkan perjodohan ini,” tambah Gavin menatap Sena.Sena merasa g
Saat ini mereka tengah dalam perjalanan pulang. Mobil mewah milik Gavin menerjang dataran kota Jakarta. Di dalam mobil tersebut, mereka diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di dalam pikiran mereka banyak sebuah pertanyaan yang tersimpan di dalamnya. Ingin bertanya, namun mereka urungkan karena rasa canggung yang menguasai. Tidak terasa mobil yang mereka tumpangi telah sampai di depan rumah Sena. Kedua insan yang baru saja terikat dalam perjodohan tersebut keluar dari mobil itu. Sepatah kata mereka lontarkan sebelum perpisahan sesaat. “Terimakasih Mas sudah mengantarkan aku,” Sena memperlihatkan senyum ramah pada Gavin. “Iya Sena,” Gavin membalas senyuman Sena. Senyuman manis yang membuat Sena semain terpesona pada Gavin. “Besok saya akan jemput kamu untuk mempersiapkan pernikahan kita,” tambah Gavin mengingatkan Sena untuk melengkapi syarat-syarat pengajuan pernikahan, mengingat Gavin adalah
Hari semakin cepat berlalu. Persiapan menuju hari bahagia itu semakin dekat. Rasa lelah tidak begitu mereka rasakan karena semua persiapan sudah ada yang menghendel. Pak Arka dan Bu Dila sudah mempercayakan orang suruhannya untuk mengantur segala sesuatu. Seperti gedung, dekor, catering sampai souvenir. Sena dan Gavin hanya datang membawa badan saja untuk masalah pernikahan mereka. Gavin dan Sena saat ini sedang mengikuti tahapan akhir serangkaian pemeriksaan dan tes dalam mengajukan syarat pernikahan yaitu Menghadap Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad untuk menerima pengarahan dan mendapatkan ijin menikah. Banyak wejangan yang mereka terima dari Panglima Divisi Infantri. Mereka memberikan pengarahan dan gambaran kehidupan setelah menikah. Terutama kepada Sena yang akan menjadi istri seorang Abdi Negara. IstriprajuritTNImemiliki tanggung jawab yang tidak mudah. Mereka harus mendampingi kinerja sang suami dan turut berga
Gavin saat ini tengah memarkirkan mobilnya. Setelah tugasnya selesai di kantor, Gavin memilih pulang untuk istirahat. Badan yang sudah terasa pegal, Gavin ingin segera menuju kamarnya. Namun langkah kakinya harus terhenti ketika melihat seorang wanita sedang duduk di halaman belakang. Wanita itu duduk sambil memegang tangannya yang mengeluarkan darah. Penasaran dengan sosok wanita itu, Gavin mengubah arah kakinya menuju keberadaan wanita tersebut. Baru beberapa langkah Gavin berjalan, Chika menabrak tubuh Gavin dari arah belakang. Tanpa meminta maaf, Chika berlari menghampiri Sena sambil membawa kotak P3K. “Kak sini tangannya, biar aku obati,” Chika duduk di sebelah Sena lalu membuka kotak P3K untuk mencari cairan anti septik. Mengetahui wanita itu adalah Sena, dengan langkah lebar Gavin berjalan dan segera mengambil obat itu dari tangan Chika. Di hadapan Sena, Gavin mensejajarkan duduknya dan mulai memeriksa tanga