"Nyonya, Tuan, tolong. Ini nona Briella sesaknya kambuh lagi," teriak salah satu pelayan setelah mengetahui bahwa Briella memegangi dadanya.
Kondisi napasnya sudah tidak beraturan, apalagi detak jantungnya. Adalah hal biasa bagi Briella untuk mengalami masa-masa seperti ini. Ia adalah perempuan yang mengidap penyakit langka. Aritmia. Yaitu sebuah kondisi di mana jantung akan memiliki detak yang tak karuan dan tak stabil.
"Dada Briella sakit, Bi," keluh Briella sambil terus memegangi bagian dadanya.
"Sabar ya, Non. Tunggu ini bibi lagi panggilin tuan dan nyonya," kata bibi Inem.
Briella pun mengangguk pelan. Tak lama setelahnya, datanglah Nyonya Sandera dan Tuan Antonio. Mereka segera memapah Briella ke dalam mobil dan menuju ke rumah sakit terdekat. Seperti biasa, Briella akan diperiksa detak jantung dan denyut nadinya.
"Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Sandera.
"Anak Ibu napasnya tidak beraturan. Detak jantungnya melambat. Disarankan untuk segera minum obat dan beristirahat yang cukup," jawab dokter yang memeriksa Briella.
Dokter itu kemudian menuliskan resep obat di atas secarik kertas. Kemudian diberikan kepada Sandera untuk segera ditebus di ruang apotik. Sandera pun menuruti perkataan dokter dan segera menuju ke ruang apotik untuk menebus obat.
Setelah Sandera mengambil obat dan mengurus administrasi, ia kembali lagi menjemput Briella yang sudah berada di ruang tunggu bersama Antonio. Sandera seketika mendecak kasar karena melihat anak gadisnya itu telah bersikap biasa saja.
Sandera segera menghampiri Briella dan berkacak pinggang. Kedua matanya melotot ke arah Briella.
"Bagaimana bisa penyakitmu kambuh lagi, Briella? Apa yang terjadi padamu," ucap Sandera.
"Aku baru saja kaget dengan pemberitaan di media sosial, Ma. Aku melihat Aden bersama wanita lain lagi," ujar Briella.
"Itu tidak mungkin, Briella. Mungkin kamu salah lihat. Aden tidak mungkin berselingkuh di belakang kamu," balas Sandera.
"Tapi Briella lihat sendiri bahwa Aden memeluk wanita lain, Ma. Dan itu dimasukkan ke dalam hot news pagi ini," kata Briella.
Seolah tidak percaya dengan perkataan anaknya, Sandera segera mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon Aden dan terdengarlah nada sambung. Namun segera dimatikan oleh Aden. Melihat hal itu, Sandera langsung mendengkus sebal.
"Telepon Mama nggak diangkat sama Aden. Tapi mama yakin kalau Aden nggak mungkin seperti itu orangnya," bantah Sandera.
"Terserah Mama saja. Briella tidak memaksa agar mama percaya," balas Briella.
Menyaksikan Sandera dan Briella yang beradu mulut, Antonio langsung bangkit. Dia berusaha menyudahi perseteruan yang terjadi antara Briella dan Sandera.
"Lagi-lagi kalian berdua meributkan Aden. Padahal Aden adalah calon tunanganmu sendiri, Briella," ucap Antonio.
Briella hanya menundukkan kepalanya. Pandangannya ikut serta menunduk dan tak berani menatap pada Antonio. Antonio kemudian menggeleng, merasa tidak habis pikir dengan Briella.
"Sudahlah. Tak ada gunanya kita berantem di sini," kata Antonio.
Antonio kemudian menoleh ke arah Sandera. Ditatapnya istrinya itu dengan pandangan tajam.
"Mama sudah tebus obatnya?" tanya Antonio.
Jawaban Antonio dibalas Sandera dengan anggukan dan senyuman kecut. Seketika itu juga Antonio langsung mengangguk paham.
"Kalau sudah tebus obat, sebaiknya kita pulang sekarang. Briella juga harus istirahat di rumah," ujar Antonio.
Bergegaslah mereka bertiga pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Briella langsung diarahkan untuk meminum obat.
"Lihat apa yang sudah kamu perbuat. Lain kali kamu tidak usah percaya gosip murahan seperti itu," omel Sandera.
"Mama ini tidak tahu saja. Di luar sana banyak yang mengabarkan kalau Aden itu berselingkuh dariku," kata Briella.
Sesak napas yang dialami oleh Briella datang lagi. Dadanya terasa berat dan jantungnya semakin melambat untuk memompa darah. Briella memegangi dadanya lagi.
"Tuh, kan! Mama bilang juga apa. Berhenti mencari-cari kabar miring itu. Kambuh lagi kan penyakitmu," ucap Sandera.
Sandera kemudian mengambilkan segelas air untuk diminum oleh Briella. Segera disodorkan Sandera di depan mejanya.
"Minum dulu. Dan tenangkan dirimu," kata Sandera.
Briella mengangguk. Ia segera meminum segelas air yang diberikan oleh Sandera. Setelah satu gelas air habis, barulah napas Briella kembali normal.
"Aku harus bagaimana, Ma? Apakah harus kupercayai Aden?" tanya Briella dengan mata yang nanar.
Tak lama kemudian, Aden datang. Dia segera menghampiri Briella dan Sandera yang ada di ruang makan. Menyadari kedatangan Aden, Sandera langsung tersenyum.
"Tuh, tunanganmu datang. Harusnya kau bersyukur, Briella. Aden tidak seburuk seperti apa yang diberitakan di media massa," ujar Sandera.
Aden tersenyum pada Sandera. Dia segera menghentikan langkah kakinya begitu sampai tepat di hadapan mereka berdua. Aden mengarahkan pandangannya kepada Briella.
"Sedang menerima kabar buruk lagi tentangku?" tanya Aden.
Pertanyaan Aden itu langsung dijawab Briella dengan anggukan. Melihat anggukan kecil dari Briella, Aden langsung memasang senyuman pahit.
"Abaikan saja. Kamu kan tahu kalau kita ini sudah bertunangan. Tidak mungkin aku mengkhianatimu," ujar Aden.
Briella langsung mengambil ponselnya. Ia mengutak-atik sebentar layarnya lalu segera ditunjukkannya sebuah foto di dalam media sosial.
"Ini dirimu, bukan? Kau dengan siapa, Aden?" tanya Briella.
Kali ini dengan nada yang tegas. Tatapan Briella berubah menjadi nyalang saat menatap pada Aden. Aden memperhatikan foto itu dengan saksama. Tak lama setelahnya, senyumnya mengembang.
"Itu adalah adikku, Briella. Namanya Arunika," jawab Aden.
Jawaban Aden yang sederhana itu membuat Briella tidak terima. Entah, masih ada saja yang mengganjal di dalam hati Briella atas jawaban Aden.
"Kau bohong! Adikmu yang mana, hah? Aku tidak pernah melihat adikmu yang satu ini," bantah Briella.
"Sayang, itu adikku yang sudah lama tidak pernah bertemu. Dia selama ini tinggal di Australi. Dan baru pertama kali ini ia pulang ke Indonesia," kata Aden.
Meski emosi Briella menyulut, namun Aden tetap membalas perkataan Briella dengan santai. Tidak pernah sedikitpun Aden meninggikan nada bicaranya kepada Briella. Bahkan kali ini senyum di bibir Aden mengembang dengan sempurna.
"Kau cemburu dengan Arunika, sayang?" tanya Aden.
Briella terdiam sejenak. Pertanyaan Aden seketika membuat hatinya gusar. Ia enggan untuk mengakui bahwa dirinya cemburu.
"Ketahuilah, Briella. Kasih sayangku padamu itu sebening embun. Tidak mungkin aku menodainya," tutur Aden.
Briella memicingkan matanya. Sebelah alisnya naik ke atas yang menandakan bahwa ia tidak akan leleh hanya dengan rayuan Aden.
"Kau merayuku lagi, Aden?" sanggah Briella.
"Aku tidak merayumu, Briella. Aku mengatakan yang sebenarnya. Bahwa cintaku hanya untuk Briella Camelia semata," ucap Aden.
Briella tak tersipu dengan ucapan Aden. Ia hanya memandangi wajah Aden dengan tatapan curiga. Kalau-kalau saja Aden berbohong padanya.
"Hanya karena masalah begini saja, penyakit Briella sudah kambuh, Aden. Bayangkan seberapa lemahnya dia," ucap Sandera mengeluh.
"Briella tidak lemah, Ma," balas Briella.
Gietta hanya memasang senyum kaku setelah mendengar perkataan Briella. Terlihat dengan jelas bahwa saat ini teman lamanya itu sedang menunjukkan wajah yang kesal.Tetapi demikian, Gietta tidak tertawa untuk meluapkan perasaan puas yang dia rasakan. Kedua matanya masih tertuju ke Briella dan Aden secara bergantian."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu jengkel, Briel. Tapi apa yang aku katakan memang benar, sekali-kali coba memahami Aden sebelum pasanganmu diambil perempuan lain," kata Gietta."Apa yang kamu bilang, Giet? Aku tidak ingin menentang kata-katamu. Apa yang kurang dariku, aku sudah mengerti Aden lebih dari yang kamu tahu, sudah bersabar untuk setiap kelakuannya," ujar Briella."Mungkinkah benar begitu? Ketika kulihat kamu dan Aden hampir setiap hari bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting," kata Gietta."Sebab aku ini jengkel, Giet. Kamu tahu tidak, kalau Aden ini terlalu menyepelekan perempuan-perempuan yang menyukai dia. Tentu semua gosip yang beredar tentang
Setelah mengetahui apa yang dikatakan Aden adalah agar dirinya dapat mempersiapkan diri, Briella membulatkan mata. Tidak menyangka sedikitpun bahwa akan ada masa di mana mereka berdua tidak dapat menghabiskan waktu bersama.Briella sama sekali tidak menduga bahwa Aden memilih untuk menyibukkan diri di kantor, ketimbang bersamanya. Karena itulah, saat ini Briella hampir tidak akan menerima alasan apapun yang akan diucapkan Aden padanya."Jadi begitu kamu sekarang, Aden. Kamu lebih memilih untuk tidak menyisakan sedikitpun waktu bersamaku," kata Briella."Bukan begitu, Briell. Aku mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkembangan di kantorku. Tidak mungkin aku mengabaikan urusan penting semacam ini," kata Aden, menjelaskan yang terjadi sesungguhnya kepada sang tunangan.Meskipun Briella sudah mendengar alasan yang dikatakan Aden adalah benar, tetap saja hati perempuan itu tidak mau menerima. Rasanya dia masih tidak terima jika jatah waktu untuk bersama sang kekasih menjadi berkurang.
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala
Briella menyadari bahwa Gietta sudah tidak seramah biasanya. Briella pun tersenyum kecut."Lantas kenapa masih di sini?" tanya Briella.Gietta mengulas senyum miring. Ia melihat ke arah Aden sekilas lalu mengalihkan pandangannya kepada Briella."Aku sedang menunggu temanku datang menjemputku," kata Gietta.Gietta lalu beringsut memandang ke arah Aden. Merasa dipandang, Aden segera menggendik dan mengarahkan pandangannya kepada Gietta."Kalau kamu mau menunggu, sebaiknya tunggu di lobi saja. Jangan di ruanganku karena nanti akan kukunci," ujar Aden.Mendengar ucapan Aden, Gietta semakin sebal. Ia sudah kesal karena diabaikan oleh Aden, malah ditambah dengan sikap Aden yang tidak ramah."Kamu mengerti dengan ucapanku, kan?" tanya Aden."Tentu. Tentu aku tahu," kata Gietta.Ia kemudian menatap ke arah Briella. Bibirnya menunjukkan seulas senyum yang dipaksakan. Hatinya tampak tidak senang melihat Briella dan Aden berdekatan."Aku akan tunggu di lobi. Kalian kunci saja ruangannya. Aku aka
"Sayang, jam berapa sekarang?" tanya Aden.Aden menatap pada Briella yang sedang berdiri menghadap ke arahnya. Seketika Aden langsung menghampiri Briella dan mendekapnya."Bukankah sudah waktunya untuk bekerja?" ujar Aden.Bahu Briella menggendik. Tatapan matanya kemudian beralih menuju ke arah jam dinding. Briella tersenyum miring."Ini sudah jam dua, Sayang. Semestinya kita sudah memulai pekerjaan kita," kata Briella.Aden mengalihkan pandangannya. Aden menatap Gietta yang sedang fokus memandang ke arah dirinya."Sudah jam dua. Berarti sisa satu jam lagi kau harus bisa menyelesaikan semua tugas ini," kata Aden."Tidak masalah. Aku bisa mengerjakannya dengan cepat," balas Gietta.Aden menyunggar rambutnya ke samping. Setelahnya, Aden beralih pandangan. Dia berbalik dan berjalan menuju ke kursi kerjanya."Kita mulai kerja sekarang. Tidak ada banyak waktu lagi yang tersisa," perintah Aden.Briella mengangguk yang disertai dengan anggukan dari Gietta. Selepas itu, mereka berdua menghada
Menyadari bahwa dirinya ditatap oleh Gietta, Aden segera berpaling. Dia merasa risih dan canggung dengan tatapan Gietta yang selalu memandang kepada dirinya."Kenapa, Aden? Apa ada yang salah?" tanya Briella setelah menyadari bahwa tunangannya itu bertingkah aneh.Briella memandangi Aden yang segera berpindah posisi, sedikit agak menjauhi Gietta. Menyadari keanehan sikap Aden, Briella menghela napas."Kamu kenapa kok kayak nggak nyaman begitu?" tanya Briella lagi."Tidak apa-apa, Giet. Aku hanya tak nyaman kau pandangi," ujar Aden salah menyebut nama.Sontak saja kening Briella mengerut. Ia menyadari bahwa Aden salah mengucapkan namanya. Sekejap saja Briella langsung menoleh ke arah Gietta."Kau menyebut Gietta?" ujar Briella.Aden yang menyadari kekeliruannya, segera mencebik. Refleks, dirinya memegang tangan Briella dan berniat untuk meminta maaf."Aku tidak sengaja, Briel. Tolong maafkan aku," pinta Aden.Briella memandang Aden dengan kecewa. Bola matanya penuh dan membulat menatap
Alis Briella hampir saling bertautan saat menatap wajah optimis Aden. Briella pun menggeleng, tak percaya."Ke kantormu? Denganku?" tanya Briella.Spontan saja Aden langsung mengangguk. Kedua matanya memandangi wajah Briella yang kelihatan ragu."Apa yang bisa kulakukan di sana?" tanya Briella.Aden tertawa. Dia lekas memegangi dahinya dan berhenti tertawa. Kini Aden memandang ke arah Briella yang sedang lugu menatap dirinya."Kamu kan bisa menemaniku bekerja, Briel. Ada di sampingku saja itu sudah cukup," kata Aden."Masa bekerja saja kau minta ditemani, Aden?" tanya Briella."Tentu saja, Sayang. Aku akan sangat senang bila kau ada di sebelahku," kata Aden.Briella tertegun sejenak saat melihat Aden tersenyum. Tak biasanya lelakinya itu memperlihatkan senyum yang menawan. Briella pun berdecak."Baiklah, aku akan ikut denganmu ke kantor," ucap Briella.Mendengar ucapan Briella seketika Aden tersenyum senang. Aden segera merangkul Briella dan mendekatkan Briella pada wajahnya. Segera s