“Lalu apa rencanamu kini untuk menemukan keberadaan Amelia?” tanya Doni berusaha mengalihkan perhatian Devan dari masa lalunya.
“Besok pagi aku akan ke rumah sakit tempat kekasih Amelia itu bekerja. Dari sana aku akan berusaha mencari tahu asal usul pria itu dan mencari alamatnya. Kalau sudah dapat, dan bisa diperkirakan mereka ada dimana, aku akan informasikan ke Nadya untuk siap-siap melakukan perjalanan,” sahut Devan. Dia kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu. Belum sempat Devan memutar handle pintu, Doni tiba-tiba memanggilnya.
“Devan! Jangan pulang dulu!” seru Doni menghentikan langkah Devan.
“Ada apa, Don?” tanya Devan kembali mendekati sahabatnya yang masih duduk di sofa.
“Kita makan malam bareng, yuk!” ajak Doni dengan tatapan penuh permohonan pada sahabatnya itu. “Sekalian membahas tentang rencana kamu itu.”
“Aku sih tidak masalah, tapi bagaimana dengan istri kamu?” tanya Devan yang kemudian duduk kembali di sofa.
“Aku akan telepon dia dan ijin pulang malam. Dia pasti mengerti kok. Dia tahu kalau pekerjaan aku kadang membutuhkan waktu ekstra,” sahut Doni. Dia lalu meraih telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja. Dan mulai melakukan panggilan telepon ke istrinya.
Devan mengamati sahabatnya itu yang sedang berkomunikasi dengan istrinya, Winda. Sudah tiga tahun mereka menikah dan telah memiliki satu orang anak laki-laki. Sedangkan dirinya masih juga belum bisa move on dari cinta lamanya yang kandas di tengah jalan, karena tidak mendapat restu dari orang tua Nadya, terutama ayahnya. Dan kini, dia kembali bertemu dengan cinta lamanya yang juga ternyata masih sendiri. Devan sendiri tidak tahu apa penyebab Nadya masih sendiri. Padahal sebelumnya ayah Nadya bersikeras akan menikahkan wanita itu dengan anak dari relasi bisnisnya.
“Hai! Melamun terus, ayo berangkat!” ajak Doni yang ternyata sudah selesai berbicara dengan istrinya.
Devan tersenyum saat menyadari dirinya yang sudah banyak melamun.
“Yuk!” sahut Devan menanggapi ajakan sahabatnya itu.
***
Kini mereka sudah berada di restoran favorit Doni. Mereka menempati meja di dekat jendela, sehingga bisa melihat pemandangan di luar.
“Kamu masih mencintai Nadya?” tanya Doni dengan tatapan tetap tertuju pada buku menu, dan mulai memilih salah satu menu yang tertera di sana.
Devan terkejut dengan pertanyaan yang diajukan oleh Doni. Dia tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya itu yang terkesan seperti menyelidiki dirinya.
“Kenapa memangnya? Kamu punya calon untuk dijodohkan ke aku? supaya aku bisa mempunyai keluarga yang harmonis seperti kamu, begitu?” tanya Devan sarkas. Dia kemudian menyerahkan buku menu ke pelayan restoran setelah memilih salah satu menu.
“Iya, aku punya calon yang akan aku jodohkan ke kamu. Orangnya cantik dan terlihat kalau dia juga wanita yang cerdas. Aku menilai dia cocok untuk kamu, Dev,” sahut Doni. Dia kemudian menyerahkan buku menu ke pelayan restoran yang telah menunggunya.
“Oh ya, siapa? Kamu punya fotonya?” tanya Devan. Dia tersenyum sekaligus penasaran terhadap wanita yang dibicarakan oleh Doni saat ini. Hal itu karena Doni sebelumnya tidak pernah berbicara soal wanita terhadap dirinya, apalagi rencana untuk melakukan perjodohan.
Doni kemudian mengambil telepon genggamnya dari dalam saku kemeja dan membuka galeri foto. Dia lalu menunjukkan salah satu foto seorang wanita kepada Devan.
Devan seketika tertawa melihat foto wanita yang ada di dalam galeri foto Doni. Dia tertawa karena ternyata yang diperlihatkan Doni adalah foto Nadya. Di foto itu, Nadya berpose dengan Amelia. Dan sekarang foto itu diedit oleh Doni seolah-olah Nadya berpose sendirian. Devan lalu melempar sahabatnya itu dengan tisu yang membuat Doni tertawa terbahak-bahak.
“Kamu masih cinta kan sama Nadya?” tanya Doni lagi.
Devan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Doni. Dia tidak ingin ada orang yang tahu tentang perasaannya. Walaupun di dalam hatinya hanya ada nama Nadya seorang. Dan itu tidak bisa tergantikan oleh yang lain.
“Wah, dia hanya senyum saja. Malu mengungkapkan perasaan atau bagaimana, sih? jawab dong, Dev!” bujuk Doni. Dia lalu menaik-turunkan alisnya dan menatap Devan yang sedang memainkan telepon genggamnya.
“Tidak perlu aku ungkapkan perasaanku pada banyak orang,” ucap Devan tanpa menoleh ke arah Doni.
Doni mengulum senyumnya. Dia sudah paham dengan sikap sahabatnya ini, yang tidak mau mengumbar perasaannya sebelum ada kejelasan.
“Ok, kalau gitu aku tunggu kabar baiknya. Semoga aku cepat mendapat undangan dari kalian. Aku sudah tidak sabar datang ke resepsi pernikahan kalian,” goda Doni. Dia lalu tersenyum dan kali ini ucapannya itu berhasil mengalihkan perhatian Devan dari telepon genggamnya.
“Terima kasih atas doanya, Don,” tukas Devan. Dia lalu tersenyum sumringah menatap sahabatnya itu.
“Ahaaa, akhirnya terungkap juga keinginan hati kamu, Bro.” Doni tertawa merasa kalau pertanyaannya secara tidak langsung sudah dijawab oleh Devan.
Devan terkekeh karena sudah masuk ke dalam perangkap sahabatnya itu.
***
Keesokan harinya, Devan pergi ke rumah sakit tempat kekasih Amelia bekerja. Dia menuju ke arah meja informasi untuk bertanya jadwal praktek dokter Reza, kekasih Amelia.
“Selamat pagi!” sapa Devan ramah kepada petugas informasi rumah sakit.
“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas itu. Dia tersenyum ramah kepada Devan.
“Saya ingin tanya jadwal praktek dokter Reza, Mbak,” sahut Devan. Dia lalu membuka galeri foto untuk mencari foto Reza yang sudah dia edit, sehingga menampakkan foto Reza sendiri tanpa ada Amelia di sampingnya.
“Di sini ada tiga dokter yang bernama Reza. Jadi yang Bapak maksud itu dokter Reza yang mana?” tanya petugas itu lagi.
Devan kemudian memperlihatkan foto Reza kepada petugas informasi itu seraya berkata, “Dokter Reza yang ini, Mbak.”
Petugas informasi itu mengamati foto Reza dengan seksama. Setelah itu, dia lalu mengembalikan telepon genggam milik Devan.
“Dokter Reza yang Bapak maksud itu sudah pindah ke rumah sakit lain, yang ada di Yogyakarta. Beliau mengajukan pindah keluar kota satu bulan yang lalu. Tapi, baru disetujui beberapa hari yang lalu dan langsung pindah keesokan harinya,” sahut petugas itu.
“Bisa disebutkan alamat rumah sakit yang ada di yogyakarta itu, Mbak?” tanya Devan memastikan alamat rumah sakit yang di Yogyakarta itu.
“Alamatnya saya tidak tahu, Pak. Maaf, saya tidak dapat membantu untuk memberi informasi alamat rumah sakit itu,” ucap petugas informasi.
“Oh, tidak apa. Tapi, apakah bisa saya diberi informasi nama lengkap dokter Reza? dan dia bekerja sebagai dokter di bagian apa?” tanya Devan lagi.
“Namanya lengkapnya dokter Reza Wicaksana dan beliau seorang dokter umum,” sahut petugas informasi.
“Baik, Mbak. Terima kasih banyak atas informasi yang sudah Mbak berikan. Saya permisi,” ucap Devan ramah.
Setelah itu, Devan berlalu dari hadapan petugas informasi. Dia kemudian mengirimkan pesan kepada seseorang sebelum dia keluar dari area gedung rumah sakit.
Ping.Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari telepon genggam Nadya. Gadis itu mengabaikan sejenak pesan tersebut, karena dia sedang ada meeting dengan jajaran direksi siang ini. Senyum Nadya mengembang dari bibirnya, ketika dia akhirnya melihat pesan yang masuk ke dalam telepon genggamnya, pesan dari Devan. Dia langsung membuka dan membaca pesan yang Devan kirimkan beberapa menit yang lalu. Pesan itu hanya memberitahu Nadya, bahwa Devan sudah mengetahui perkiraan keberadaan Amelia dan kekasihnya saat ini.Nadya kemudian menelepon Devan untuk segera mengetahui rencana pria itu selanjutnya. Dia tekan tombol angka untuk menghubungi mantan kekasihnya itu. Dan dalam hitungan ketiga, panggilan telepon Nadya akhirnya diangkat oleh Devan.“Halo, Nad,” sapa Devan di seberang sana.“Halo, Mas. Bagaimana, sudah dapat informasi yang lengkap mengenai Amelia dan kekasihnya itu?” tanya Nadya di telepon.“Iya, masih sedikit informasi yang sudah aku dapatkan. Tapi, aku sudah tahu perkiraan kebera
Nadya memandang ke arah pria yang dimaksud oleh Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melihat saat ini Keisha tersenyum simpul saat memandang pria tampan itu mulai duduk di kursi yang berjarak tidak jauh dari mejanya. Seketika ada perasaan tidak rela saat sahabatnya ini memuja pria itu yang ternyata adalah Devan, mantan kekasihnya.Nadya terus menatap Devan. Hingga akhirnya tatapan mereka bertemu ketika secara tak sengaja, Devan menoleh ke arah tempat Nadya duduk.Devan tersenyum kala melihat Nadya yang ternyata juga ada di tempat yang sama dengan dirinya. Dia lalu beranjak dari kursi dan berjalan ke arah wanita cantik yang telah menghuni hatinya."Hai, Nad!" sapa Devan ramah ketika dia sudah sampai di meja Nadya."Hai, Mas!" balas Nadya menyapa Devan.Interaksi mereka berdua sontak membuat Keisha membulatkan matanya, apalagi saat ini Devan terlihat sangat ramah terhadap Nadya. Sikap Devan terlihat sangat jauh berbeda ketika bertemu dengan dirinya beberapa waktu yang lalu di
Devan sudah selesai berdiskusi dengan temannya ketika dia melihat Nadya dan Keisha masih ada di mejanya. Dia lalu mendekati wanita itu untuk berdiskusi tentang rencana kepergian mereka. “Nad! besok pagi kamu siap-siap, ya. Kita mulai melakukan perjalanan. Aku akan pesan tiket pesawat untuk besok dan aku akan menjemput di rumah kamu besok pagi,” ucap Devan saat dia sudah berada di meja Nadya. “Aku sekarang tinggal di apartemen, tidak tinggal di rumah orangtua lagi, Mas.” Nadya menjelaskan sambil melirik sekilas ke arah Keisha yang mencuri pandang ke arah Devan . Senyum mengembang dari bibir Devan, saat mengetahui kalau Nadya sudah tidak tinggal bersama dengan orangtuanya lagi. Dia sebenarnya malas kalau harus menjemput Nadya ke rumah orangtuanya dan bertemu dengan orangtua Nadya. Tapi, rupanya keberuntungan masih berpihak padanya karena ternyata Nadya sudah tinggal sendiri saat ini. “Aku akan info alamat apartemenku melalui pesan ya, Mas,” ujar Nadya yang diangguki oleh Devan. Pi
Mereka sampai di Hotel A tiga puluh menit kemudian. Devan dan Nadya berjalan menuju meja resepsionis, untuk meminta kunci kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.“Mbak, saya mau kasih informasi kalau Pak Doni sudah memesan kamar atas nama Devan di hotel ini. Dan sekarang saya mau check in kamar yang sudah di pesan oleh beliau, ini kartu identitas saya,” ucap Devan. Dia lalu meletakkan kartu identitasnya di atas meja resepsionis itu.“Oh, Pak Devan. Kemarin memang Pak Doni telah memesan kamar paket bulan madu untuk Bapak dan Istri. Ini kunci kamarnya, Pak. Selamat menikmati fasilitas yang ada di hotel kami ini dan selamat berbulan madu,” tukas resepsionis itu dengan tersenyum ramah.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka lalu tersenyum dan kemudian melangkahkan kaki ke kamar yang telah Doni pesan untuk mereka.Sesampainya di kamar, mereka kembali dikejutkan oleh suasana kamar yang terkesan romantis. Kamar itu dihiasi oleh beraneka macam bunga yang tersebar di lantai dan di atas
Devan dan Nadya kini telah tiba di rumah sakit X. Mereka langsung menuju ke customer service rumah sakit itu."Selamat siang, Mbak. Apa saya bisa bertemu dengan dokter Reza Wicaksana?" tanya Devan ramah."Dokter Reza Wicaksana diminta perbantuannya di puskesmas yang ada di salah satu kabupaten, Pak," jelas customer service tersebut.Devan dan Nadya saling berpandangan. Mereka tidak percaya bahwa Reza pindah ke tempat lain. Padahal sebelumnya mereka sudah berharap akan segera menemukan Amelia. Tapi, sekarang mereka sepertinya harus memulai dari awal lagi."Bisa minta alamat dokter Reza, Mbak?" Devan bertanya dengan tatapan penuh permohonan."Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa?" tanya customer service itu memicingkan mata."Saya sepupunya. Kami sudah lama tidak bertemu. Dia sudah pindah dari alamatnya yang lama, jadi saya mencari dia kemari." Devan sedikit berbohong tentang identitasnya."Sebentar ya, Pak, saya tanyakan dulu ke atasan saya. Apakah bisa memberikan alamat dokter Reza?" Cus
"Ada apa, As?" tanya Devan saat dia menoleh ke arah sumber suara."Aku mau mengundang kalian untuk makan malam. Mudah-mudahan tidak mengganggu acara kalian, aku hanya ingin reuni dengan teman lama." Astuti menatap Devan dan Nadya bergantian. Dia berharap mereka menerima undangan makan malam darinya.Devan menatap Nadya dengan tatapan penuh tanya. Nadya hanya mengangkat kedua bahu seraya berucap perlahan, "Terserah."Devan sebenarnya ingin makan malam hanya berdua dengan Nadya. Tapi, dia merasa tidak enak kalau menolak tawaran Astuti. Apalagi tadi Astuti berkata, kalau undangannya itu merupakan reuni dengan teman lama."Ok. Jam berapa makan malamnya?" tanya Devan."Jam tujuh malam, bagaimana? lokasi restorannya nanti aku kirim, ya. Nomor telepon kamu masih sama, kan?" tanya Astuti memastikan."Iya. Masih sama," sahut Devan singkat.Nadya yang mendengar percakapan mereka, merasa tidak nyaman. Seketika dia menyesal menyebutkan kata terserah, ketika Devan menanyakan pendapatnya mengenai u
Devan mengarahkan wajahnya semakin dekat ke wajah Nadya. Dan Nadya saat ini memejamkan matanya, seolah dia menunggu Devan untuk semakin mendekat. Wajah Devan hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Nadya, ketika tiba-tiba telepon genggam milik Nadya berdering.Nadya membuka matanya dan meringis kesal ketika dering telepon genggamnya menggagalkan niat mereka. Begitu juga dengan Devan yang terlihat kesal, karena niatnya untuk mencium Nadya gagal total akibat dering telepon itu.“Sial,” umpat Devan kesal.Nadya meraih telepon genggamnya yang dia letakkan di atas nakas. Dia melihat nama ayahnya terpampang di layar telepon genggamnya. Tidak perlu menunggu lama lagi, Nadya langsung mengangkat panggilan telepon itu.“Halo, Pa!” sapa Nadya.“Halo, Nad. Bagaimana, apa sudah ada kabar tentang adikmu?” tanya Indra di seberang sana.“Belum, Pa. Nanti kalau sudah ada kabar tentang Amelia aku akan langsung kabari Papa, ya,” sahut Nadya.“Ok, Papa tunggu. Oh ya, kamu sendiri di sana bagaimana?
“Suka?” tanya Devan saat mereka menikmati menu makan malam yang menggugah selera.“Iya, suka sekali. Terima kasih atas makan malam yang...” Nadya menghentikan ucapannya. Dia malu saat akan mengutarakannya, mengingat mereka bukan lagi sepasang kekasih.“Yang apa?” tanya Devan mengernyitkan dahinya. Dia bingung saat melihat Nadya tiba-tiba salah tingkah dan mengulum senyumnya.“Yang apa sih, Nad?” tanya Devan lagi. Dia semakin bingung karena Nadya belum mau bicara dan masih menggantung ucapannya tadi.“Yang romantis, Mas.” Nadya tertawa kecil saat mengucapkannya. “Ini Mas Devan memang pesan candle light dinner, ya?”Devan terkekeh saat mendengar ucapan Nadya dan raut wajah wanita itu yang kini merona. Dan hal itu membuat Devan ingin mengecup pipi Nadya, tapi dia urungkan niatnya itu karena status mereka saat ini yang bukan sepasang kekasih lagi.“Aku senang kalau kamu suka dengan makan malam ini,” ucap Devan. Dia tersenyum dan menatap wanita cantik yang sedang mengunyah makanan dengan