Setelah berdiskusi dengan Alexander dan Hugo, Chan memutuskan untuk menetap di Italia. Ia akan mengurusi bisnisnya dari jarak jauh. Jika memang sangat diperlukan, maka Chan akan terbang ke Los Angeles dengan menggunakan helikopter. Cukup melelahkan memang, tetapi itu semua Chan lakukan demi Rossie. Apapun yang sudah dilakukan oleh Rossie di masa lalu tidak menyurutkan rasa cinta Chan kepada Rossie. Chan memberi sebuah rumah di area Roma dengan arsitektur industrial dengan warna putih yang mendominasi. Bagian halaman depan sangat lengang dan ditumbuhi beberapa pohon untuk menghasilkan oksigen yang segar. Selain itu pada pula air mancur yang menciptakan suara gemericik air menenangkan. Selama perjalanan Rossie hanya terdiam dan tampak gamang. Ia berusaha menguak kenangan dalam benak meskipun itu sangat sulit. Pun belum mendapatkan jawaban mengapa bisa berakhir di rumah sakit dengan ingatan yang hilang secara keseluruhan. "Ayo turun," ajak Chan. Rossie mengikuti perintahnya dan mengay
"Iya, kau pernah bilang aku adalah model terkenal di sana. Aku ingin mendatangani tempat yang mungkin bisa membuat ingatanku kembali. Bertemu dengan teman lamaku, bisakah?" pinta Rossie yang membuat Chan terdiam sesaat. Melihat Chan yang terdiam dan tidak memberikan jawaban, Rossie melemparkan tatapan ke arah sang kekasih dan mengusap lengannya. "Chan, can you hear me?" "Oh ya," ujar Chan yang seakan terbangun dari lamunan sementaranya. "Ke Los Angeles?" "Ya, kau tidak ingin mengantarku?" tanya Rossie sekali lagi. Ia bisa melihat keresahan di wajah sang kekasih. "Tentu saja, aku antarkan kau kesana. Tapi tidak dalam waktu dekat Rossie." Kembali mengiris bawang Bombay dengan tipis. Permintaan Rossie kali ini harus didiskusikan terlebih dahulu bersama Alexander. Mereka sudah sepakat untuk tidak membawa Rossie ke Los Angeles. Karena memori masa lalu yang cukup kelam dari Edric. "Kenapa tidak dalam waktu dekat? Kau sibuk?" Rossie meletakkan bokong dan berhadapan dengan Chan. Mengamat
Menarik tangan Rossie untuk menuju ke dapur dan menyiapkan makanan. Rossie hanya menurut tanpa memberikan banyak pertanyaan kepada Chan. Hingga akhirnya ia duduk di kursi tanpa sandaran di meja tinggi. Sementara itu Chan membuka lemari untuk mencari bahan makanan yang bisa digunakan untuk mengganjal perut. "Apakah kita harus makan mie? Ramyeon sebelum kita makan besar? Atau langsung sewa restoran dan makan malam romantis di sana?" tanya Chan. Rossie tidak menjawab. Ia masih sangat penasaran dengan isi ruangan rahasia itu. Jika memang hanya sebuah gudang, mengapa Chan buru-buru menutupnya? Seakan ada satu hal yang tidak ingin Rossie ketahui. "Sayang, ada apa? Kenapa kau hanya diam saja? Aku memberikan banyak pilihan untukmu. Apakah kita langsung makan malam romantis saja? Atau makan mie instan dulu?" tanya Chan sekali lagi. Kali ini pribadi Chan menatap Rossie lekat-lekat. "Apa saja," jawab Rossie singkat. Mendengar jawaban yang kelewat dingin itu, Chan mendekati Rossie dan duduk
"Apa ini?" Rossie lantas membuang kertas itu dengan tangan yang bergetar. "Apa maksudnya ini?" Netra Rossie melihat ke atas kamar mandi dan melihat celah yang cukup lebar. Bisa digunakan untuk melemparkan kertas ini. "Siapa yang mengirimkan ini?" lirih Rossie sambil berpikir keras. Dugaan pertama adalah orang terdekat yang mengenal dirinya dan Rossie. Sebab ia tahu tempat tinggal Rossie dan Chan saat ini. Menelan saliva berulang sambil menahan ketakutan. Pagi ini Rossie hanya berada di dalam ruang seorang diri. Ada maid yang datang hanya untuk membersihkan ruangan saja. Itupun hanya beberapa jam setelah itu akan pulang. Rossie harus berada di dalam rumah dan menunggu Chan pulang. Hari ini Chan harus mendatangi satu rapat penting di California. Meraih ponsel dan berniat untuk menghubungi Chan. Tetapi urung. Rossie tidak ingin membuat Chan khawatir dan membuat rapat penting itu terganggu. Ia kemudian meletakkan kembali benda berukuran 7 inci itu. Menyugar rambut frustasi. Berkali-k
Rossie dan Kris berjalan beriringan, keduanya saling melemparkan senyuman. Kedua tangan mereka penuh dengan paper bag. Mereka baru saja selesai berbelanja beberapa bralette model terbaru. Di usianya yang sudah setengah abad, Kris juga sangat menyukai bralette.Mereka berhenti di sebuah cafe untuk beristirahat sejenak."Mommy mau minum apa?" Rossie menawarkan, sambil membalikkan buku menu di tangannya."Matcha latte aja 'lah," jawab Kris sambil meregangkan otot kakinya.Rossie memanggil salah satu waitress dan memesan dua matcha latte."Ros, tiga hari lagi Mommy sama Granny balik ke Korea," ujar Kris memusatkan perhatian pada Rossie."Yah cepet banget Mom, baru juga kita mulai happy-happy," protes Rossie. "Mom, gimana kalau kita liburan ke Malibu sebelum Mommy dan Granny kembali ke Korea?""Malibu? That's great idea." Kris mengembangkan senyuman, terlihat antusias dengan ide dari Rossie. "Kapan sebaiknya kita berangkat?"."Hari ini," ucap Rossie tanpa keraguan."Deal. Mommy hubungi Cha
Mendengar kalimat tersebut, sontak Chan meraih wajah Rossie dan menjatuhkan kecupan di kening sang kekasih. “Mandilah.”“Kita mau kemana?” tanya Rossie heran. “Jalan-jalan.”Mengernyitkan dahinya tidak paham. Pasalnya Chan pernah berkata harus menyelesaikan pekerjaan sebelum liburan panjang bersama Rossie. “Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?”“Belum. Kita hanya berjalan-jalan di sekitar sini aja sambil mencari sarapan. Bagaimana?” Chan memberikan tawaran yang sulit ditolak oleh Rossie. “Baiklah.” Dengan senyuman semringah, Rossie bangkit dari baringnya dan mengayunkan kaki turun dari ranjang. Melihat Rossie yang sangat bersemangat, Chan melengkungkan bibirnya dan berdiri. Ia lantas berjalan keluar kamar Rossie dan masuk ke ruangan kerjanya. Salah satu tangan masuk ke dalam saku, sementara tangan yang lain melihat bingkai yang tertata manis di rak buku. Ada banyak potret yang menampilkan kebersamaan Rossie dan Chan sebelumnya. Hingga satu potret mereka tertangkap oleh netra pria l
Chan tersenyum tipis ketika memori masa lalu itu menguar begitu saja di dalam benak. Lantas melihat potret lainnya di bingkai yang berbeda dan kembali teringat kenangan bersama Rossie. Ia kembali tersenyum dengan tatapan teduh. Diam-diam Chan mencuri lihat ke arah Rossie, Kris, dan Granny yang tengah asyik bercengkrama. Topik yang mereka bicarakan hanya seputar fashion yang sedang trend, tetapi entah mengapa terdengar begitu sangat mengasyikkan. Ia membalikkan bagian daging yang sudah berubah kecoklatan. Brisket memang bagian yang paling cocok untuk barbeque.Rossie berjalan mendekati Chan, kali ini sikapnya sudah terlihat lebih santai dan biasa saja. Ciuman yang sempat mereka lakukan tidak berarti apapun. Mereka hanya terbawa suasana senja yang romantis. Just it!Apalagi setelah mendengar permintaan maaf yang sempat disampaikan oleh Chan tempo hari. Semakin meyakinkan, bahwa Chan tidak mempunyai rasa apapun untuknya."Apa ada yang sudah matang?" tanya Rossie sambil menatap daging be
Rossie menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Ia memasang rungu dengan baik sebab Chan sedang bercerita. Netra Rossie enggan berpindah dari pria itu. Mereka sedang duduk di salah satu restoran Italia dan memilih duduk di depan sembari menikmati terpaan mentari pagi. Dua cangkir vanilla latte dan cornetto. Jenis makanan dan minuman yang biasa disantap oleh orang Italia sebelum mengawali hari. Sekilas cornetto mirip dengan croissant. Namun keduanya memiliki langkah pembuatan yang cukup berbeda. Cornetto memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan golongan pastry lainnya. Aroma gurih yang berpadu dengan wangi vanilla menjadikan pasangan yang pas. Seperti pagi ini, awal hari yang sempurna dengan Chan yang tengah berceletuk panjang lebar. Sementara Chan bercerita dengan antusias, sembari menyatukan potongan memori masa lalu tentang bagaimana Rossie selalu menyebutnya dengan sebutan Dobby. Tubuh segar Chan muncul dari permukaan kolam. Perlahan tangannya menyugar rambut yang menutupi