Home / Romansa / Takdir Miranda / Menyembuhkan Larasati

Share

Menyembuhkan Larasati

last update Last Updated: 2021-09-18 10:09:56

Hari ketiga pun sama saja. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada Larasati. Kondisinya tidak bertambah baik. Miranda pun segera berinisiatif menghubungi neneknya. Diceritakannya kondisi sang mama sekarang.

Hari itu juga, nenek Miranda datang. Setelah meletakkan travelling bag di lantai ruang tengah, ia langsung berjalan menuju kamar anaknya. Nampak Larasati tengah berbaring di ranjang, dengan tatapan mata kosong menatap langit-langit kamar. 

Ia mendekati Larasati, lalu mencium pipinya sekilas. Membelai rambut Larasati yang kusut tak tersisir berhari-hari. Tidak hanya rambutnya yang kusut masai, pipinya pun sekarang menjadi semakin tirus. Ia jarang makan. Sekalinya mau makan, hanya sedikit sekali porsinya.

Perempuan ayu berusia 60 tahun itu menghela napas panjang. "Owalah, Nduk, kok jadi seperti ini akhirnya. Ayo bangun, Nak, bangkitlah demi Miranda. Tak kasihankah engkau pada anak gadismu? Ia kebingungan, Nak. Ia baru saja kehilangan sosok ayahnya. Jangan sampai ia kehilanganmu juga. Ayo bangkit, Nak. Sembuhkan hatimu!"

Tidak ada reaksi dari Larasati. Ia masih saja terdiam seperti tadi. Miranda yang menyaksikan hal itu, menjadi sedih. Ia terisak pelan. Sang mama kini lebih mirip zombie, mayat hidup. Hidup tapi tanpa jiwa.

"Nduk, apakah kamu sudah memanggil dokter untuk mamamu?" tanya sang nenek saat makan malam. 

"Sudah, Nek. Dokter bilang, tubuh Mama sehat. Dugaan Dokter, Mama mengalami syok berat. Dokter menyarankan untuk membawa Mama konseling ke Psikolog, Nek," jawab Miranda.

"Begitu, ya. Baiklah, nanti Nenek akan menelepon Mira, biar dia dan suaminya besok ke sini. Kita harus membicarakan masalah mamamu lebih lanjut."

Miranda menganggukkan kepalanya. "Ya, Nek. Terserah Nenek saja pokoknya."

"Kasihan benar mamamu, Nduk. Jiwanya terpukul hebat. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kini secara resmi ia sudah benar-benar berpisah dari papamu. Ketahuilah, Nduk, sejak masih pacaran dulu, Nenek sudah memperingatkan mamamu tentang watak Aditama. Tapi ia telanjur mencintai papamu. Sekarang lihat, beginilah jadinya," sambung sang nenek.

Keesokan harinya, Mira dan suaminya datang, setelah ditelepon mamanya. 

Mira keluar dari kamar Larasati dengan berurai air mata. Hatinya sedih, melihat kondisi kakaknya saat ini. Sementara suami Mira, berjalan dengan kepala tertunduk. Ia juga merasa sedih melihat kondisi kakak iparnya. 

Kini, keempat orang itu berkumpul di ruang tengah, membicarakan Larasati.

"Ma, menurut kami, sebaiknya Miranda dan Kak Laras segera pindah ke rumah Mama saja. Kasihan Miranda, sekolahnya jadi terbengkalai. Akan lebih baik jika Kak Laras ada yang mendampingi, mengajak bicara, dan lain sebagainya. Kak Laras sangat membutuhkan kehadiran Mama saat ini. Bagaimana menurut Mama?" ujar Mira pada mamanya.

Nyonya Herlambang terdiam beberapa lama. Beliau tampak tengah berpikir.

"Ya, Mama pun tadi malam sempat berpikir seperti itu. Tapi itu berarti Miranda harus pindah sekolah. Nduk, kamu keberatan tidak jika pindah sekolah?" tanya sang nenek pada Miranda.

"Miranda siap pindah ke rumah nenek, juga siap pindah ke sekolah mana saja yang Nenek inginkan. Miranda mau melakukan apa saja untuk membantu kesembuhan Mama," Miranda menjawab dengan mantap.

Sang nenek manggut-manggut. "Mira, hari ini juga tolong Miranda untuk berkemas-kemas. Bawa yang penting-penting saja. Baju-baju yang jarang dipakai ditinggal saja. Tidak perlu membawa perabotan apapun, rumah nenek sudah lengkap isinya. Pun rumah nenek kecil, jadi cukup bawa perlengkapan harian saja," perintah sang nenek pada Mira.

"Baju-baju tak terpakai, peralatan masak, semua alat elektronik, dan furniture apa boleh Mira sumbangkan pada yayasan yatim piatu, Ma?" Mira minta persetujuan sang mama.

"Boleh, Nak. Malah bagus itu, ada manfaat untuk orang lain. Kalau menunggu terjual, nanti malah jadi lama. Jika rumah sudah kosong, nanti kamu hubungi Aditama dan pengacaranya Laras, biar proses penjualan rumah segera dimulai. Urusan rumah, biar pengacara Laras saja yang uruskan, kita fokus pada penyembuhan Laras," ujar Nyonya Herlambang berwibawa.

"Heri, tolong bantu istri dan ponakanmu mengepak barang, ya?"

"Baik, Ma, Heri siap!" jawab Heri--suami Mira.

Setelah itu, Heri dan Mira keluar, membeli beberapa kardus besar. Miranda menurunkan koper-koper dari atas lemari untuk dibersihkan. Setelah disortir, baju-baju yang akan dibawa ia masukkan ke koper. Yang tidak terpakai, ia masukkan ke dalam kardus. 

Setelah selesai dengan baju-bajunya sendiri, ia menuju kamar mamanya. Membuka lemari, dan mengambil baju-baju milik mamanya. Ketika melihat tumpukan baju papanya, hatinya berdesir. Ada yang terasa perih di hatinya. Namun, ia lalu mencelos, melanjutkan lagi kegiatannya.

Sore hari, pick up yang disewa Mira untuk mengangkut barang-barang sudah datang. Heri dan pak sopir sigap menaikkan barang-barang ke atas mobil. Setelah itu, Miranda memapah mamanya, naik ke mobil om-nya. Sang nenek menyusul. 

Mira mengunci pagar rumah. Besok pagi, ia akan ke rumah itu lagi, dengan mobil pick up yang sama, menyelesaikan pengosongan rumah. Lalu mengantarkan barang-barang ke Yayasan Yatim Piatu Nurul Huda Magelang.

Sesaat sebelum berangkat, Miranda menengok ke belakang, menatap rumah yang telah menjadi istananya selama 14 tahun terakhir itu. Ia menangis haru. 'Selamat tinggal kenangan', ucapnya dalam hati.

Berbeda dengan Miranda, Laras justru hanya menunduk lesu. Ia tak tahu mau dibawa ke mana. Laras yang malang. Separuh jiwanya telah pergi. Laras bagaikan burung yang sayapnya patah sebelah. Menggeletak di tanah. Tak mampu terbang lagi.

"Miranda, antarkan mamamu ke kamar lamanya. Tolong dibantu mandi dan makan juga ya, Nduk. Kasihan mamamu, terlantar dari pagi karena kesibukan kita. Biar om dan tantemu yang membereskan barang-barang," ujar sang nenek, memerintah Miranda.

"Baik, Nek." Miranda bergegas keluar dari mobil, lalu memapah mamanya memasuki rumah.

Tiba-tiba Larasati menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Ma? Sejak hari ini, Mama sama Miranda tinggal di rumah nenek, ya. Mama mau kan, tinggal di sini?"

Larasati tidak menjawab. Ia tidak tahu mau menjawab apa. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun, rumah ini telah membuat sudut kecil di hatinya menghangat. Rumah ini. Rumah dimana ia dibesarkan kedua orang tuanya. Dibesarkan dengan cinta, tanpa luka.

Larasati memandangi setiap jengkal kamar yang baru saja dimasukinya. Ia merasa familiar dengan kamar itu. Dielusnya lemari baju berukir itu. Meja rias, ranjang ukir, dan beberapa boneka lama di atas kepala dipan.

"Mama ingat kamar ini? Iya, ini kamarnya Mama ketika masih gadis. Miranda akan menemani Mama tidur di sini setiap hari. Mama cepat sembuh, ya, Ma! Miranda ingin Mama kembali seperti dulu." Miranda memeluk Larasati.

 Larasati hanya diam saja. Namun, setiap Miranda memberinya pelukan atau ciuman, Larasati merasakan kehangatan menjalar di relung hatinya.

Tak terasa, sebulan telah berlalu. Seperti biasa, Miranda pergi dan pulang sekolah dengan ojek langganan. Tidak ada yang bisa mengantar jemput Miranda. Sang nenek sudah terlalu tua, sedangkan mamanya sendiri masih belum pulih dari depresinya.

Setiap hari Sabtu, Tante Mira dan suaminya datang, lengkap dengan kedua anaknya yang masih berumur 10 dan 7 tahun--Andri dan Hani. Setelah itu, mereka mengantarkan Larasati melakukan konseling pada seorang Psikolog di pusat kota. 

Andrindan Hani ditinggal di rumah, bersama sang nenek. Hal ini sudah berlangsung selama tiga minggu. Saat sesi konseling berlangsung, Mira dan suaminya setia menunggu di ruang tunggu. Setelah sesi konseling selesai, Psikolog akan mengajak Mira dan Heri berbincang-bincang, membicarakan kondisi Larasati. Apa yang harus dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan selama proses pemulihan Larasati.

Sore ini, sesi konseling telah usai. Seperti biasa, Mira dan Heri mengajak kakaknya keliling kota, mereka sengaja mengambil jalan memutar, agar Larasati punya waktu lebih banyak melihat pemandangan dari dalam mobil.

"Kak, lihat tuh ada gardu PLN. Sebentar lagi kita akan melewati SMA-mu dulu, Kak. Ingat gak? Tuh dah kelihatan gapura masuknya. Kakak ingin ke sana?" Mira menawari kakaknya. 

Heri segera tanggap. Tanpa menunggu jawaban dari Larasati, ia membelokkan mobilnya ke arah gapura kampung Sanggrahan. Tak sampai lima menit, mereka telah sampai di depan gapura depan SMA 2 Magelang. Mira menuntun kakaknya turun. 

Larasati memandang ke arah sekolahnya. Ada beberapa memori yang berusaha menyeruak, ke dalam ingatannya. Ia menatap lapangan basket dan lapangan tennis di sebelah kanan, masjid sekolah, dan beberapa gedung kelas yang nampak dari depan. Ada kehangatan yang menyeruak di hatinya. Air mata mengalir di kedua pipinya.

Mira melirik suaminya. Mereka lalu memapah Larasati ke dalam mobil, pulang ke Tempuran. Selama perjalanan, Mira mengajak kakaknya mengobrol. Membicarakan masa kecil, juga masa-masa sekolah mereka.

Mira tak pernah berkecil hati, walaupun selama ia mengajak kakaknya bicara, sang kakak tidak pernah sekalipun menimpalinya. Ia yakin, kakaknya menyimak semua perkataannya.

"Mama ...!" teriak Andri dan Hani, menyambut kedatangan mamanya.

"Bagaimana sesi konseling hari ini, Mira?" Nyonya Herlambang menanyai putrinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Miranda   Pondok pesantren

    Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak

  • Takdir Miranda   Resign

    Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s

  • Takdir Miranda   Keputusan

    Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan

  • Takdir Miranda   Malam jahanam

    Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten

  • Takdir Miranda   Berkenalan dengan Jatmiko

    Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati

  • Takdir Miranda   Refreshing

    Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status