Share

Menyembuhkan Larasati

Hari ketiga pun sama saja. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada Larasati. Kondisinya tidak bertambah baik. Miranda pun segera berinisiatif menghubungi neneknya. Diceritakannya kondisi sang mama sekarang.

Hari itu juga, nenek Miranda datang. Setelah meletakkan travelling bag di lantai ruang tengah, ia langsung berjalan menuju kamar anaknya. Nampak Larasati tengah berbaring di ranjang, dengan tatapan mata kosong menatap langit-langit kamar. 

Ia mendekati Larasati, lalu mencium pipinya sekilas. Membelai rambut Larasati yang kusut tak tersisir berhari-hari. Tidak hanya rambutnya yang kusut masai, pipinya pun sekarang menjadi semakin tirus. Ia jarang makan. Sekalinya mau makan, hanya sedikit sekali porsinya.

Perempuan ayu berusia 60 tahun itu menghela napas panjang. "Owalah, Nduk, kok jadi seperti ini akhirnya. Ayo bangun, Nak, bangkitlah demi Miranda. Tak kasihankah engkau pada anak gadismu? Ia kebingungan, Nak. Ia baru saja kehilangan sosok ayahnya. Jangan sampai ia kehilanganmu juga. Ayo bangkit, Nak. Sembuhkan hatimu!"

Tidak ada reaksi dari Larasati. Ia masih saja terdiam seperti tadi. Miranda yang menyaksikan hal itu, menjadi sedih. Ia terisak pelan. Sang mama kini lebih mirip zombie, mayat hidup. Hidup tapi tanpa jiwa.

"Nduk, apakah kamu sudah memanggil dokter untuk mamamu?" tanya sang nenek saat makan malam. 

"Sudah, Nek. Dokter bilang, tubuh Mama sehat. Dugaan Dokter, Mama mengalami syok berat. Dokter menyarankan untuk membawa Mama konseling ke Psikolog, Nek," jawab Miranda.

"Begitu, ya. Baiklah, nanti Nenek akan menelepon Mira, biar dia dan suaminya besok ke sini. Kita harus membicarakan masalah mamamu lebih lanjut."

Miranda menganggukkan kepalanya. "Ya, Nek. Terserah Nenek saja pokoknya."

"Kasihan benar mamamu, Nduk. Jiwanya terpukul hebat. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kini secara resmi ia sudah benar-benar berpisah dari papamu. Ketahuilah, Nduk, sejak masih pacaran dulu, Nenek sudah memperingatkan mamamu tentang watak Aditama. Tapi ia telanjur mencintai papamu. Sekarang lihat, beginilah jadinya," sambung sang nenek.

Keesokan harinya, Mira dan suaminya datang, setelah ditelepon mamanya. 

Mira keluar dari kamar Larasati dengan berurai air mata. Hatinya sedih, melihat kondisi kakaknya saat ini. Sementara suami Mira, berjalan dengan kepala tertunduk. Ia juga merasa sedih melihat kondisi kakak iparnya. 

Kini, keempat orang itu berkumpul di ruang tengah, membicarakan Larasati.

"Ma, menurut kami, sebaiknya Miranda dan Kak Laras segera pindah ke rumah Mama saja. Kasihan Miranda, sekolahnya jadi terbengkalai. Akan lebih baik jika Kak Laras ada yang mendampingi, mengajak bicara, dan lain sebagainya. Kak Laras sangat membutuhkan kehadiran Mama saat ini. Bagaimana menurut Mama?" ujar Mira pada mamanya.

Nyonya Herlambang terdiam beberapa lama. Beliau tampak tengah berpikir.

"Ya, Mama pun tadi malam sempat berpikir seperti itu. Tapi itu berarti Miranda harus pindah sekolah. Nduk, kamu keberatan tidak jika pindah sekolah?" tanya sang nenek pada Miranda.

"Miranda siap pindah ke rumah nenek, juga siap pindah ke sekolah mana saja yang Nenek inginkan. Miranda mau melakukan apa saja untuk membantu kesembuhan Mama," Miranda menjawab dengan mantap.

Sang nenek manggut-manggut. "Mira, hari ini juga tolong Miranda untuk berkemas-kemas. Bawa yang penting-penting saja. Baju-baju yang jarang dipakai ditinggal saja. Tidak perlu membawa perabotan apapun, rumah nenek sudah lengkap isinya. Pun rumah nenek kecil, jadi cukup bawa perlengkapan harian saja," perintah sang nenek pada Mira.

"Baju-baju tak terpakai, peralatan masak, semua alat elektronik, dan furniture apa boleh Mira sumbangkan pada yayasan yatim piatu, Ma?" Mira minta persetujuan sang mama.

"Boleh, Nak. Malah bagus itu, ada manfaat untuk orang lain. Kalau menunggu terjual, nanti malah jadi lama. Jika rumah sudah kosong, nanti kamu hubungi Aditama dan pengacaranya Laras, biar proses penjualan rumah segera dimulai. Urusan rumah, biar pengacara Laras saja yang uruskan, kita fokus pada penyembuhan Laras," ujar Nyonya Herlambang berwibawa.

"Heri, tolong bantu istri dan ponakanmu mengepak barang, ya?"

"Baik, Ma, Heri siap!" jawab Heri--suami Mira.

Setelah itu, Heri dan Mira keluar, membeli beberapa kardus besar. Miranda menurunkan koper-koper dari atas lemari untuk dibersihkan. Setelah disortir, baju-baju yang akan dibawa ia masukkan ke koper. Yang tidak terpakai, ia masukkan ke dalam kardus. 

Setelah selesai dengan baju-bajunya sendiri, ia menuju kamar mamanya. Membuka lemari, dan mengambil baju-baju milik mamanya. Ketika melihat tumpukan baju papanya, hatinya berdesir. Ada yang terasa perih di hatinya. Namun, ia lalu mencelos, melanjutkan lagi kegiatannya.

Sore hari, pick up yang disewa Mira untuk mengangkut barang-barang sudah datang. Heri dan pak sopir sigap menaikkan barang-barang ke atas mobil. Setelah itu, Miranda memapah mamanya, naik ke mobil om-nya. Sang nenek menyusul. 

Mira mengunci pagar rumah. Besok pagi, ia akan ke rumah itu lagi, dengan mobil pick up yang sama, menyelesaikan pengosongan rumah. Lalu mengantarkan barang-barang ke Yayasan Yatim Piatu Nurul Huda Magelang.

Sesaat sebelum berangkat, Miranda menengok ke belakang, menatap rumah yang telah menjadi istananya selama 14 tahun terakhir itu. Ia menangis haru. 'Selamat tinggal kenangan', ucapnya dalam hati.

Berbeda dengan Miranda, Laras justru hanya menunduk lesu. Ia tak tahu mau dibawa ke mana. Laras yang malang. Separuh jiwanya telah pergi. Laras bagaikan burung yang sayapnya patah sebelah. Menggeletak di tanah. Tak mampu terbang lagi.

"Miranda, antarkan mamamu ke kamar lamanya. Tolong dibantu mandi dan makan juga ya, Nduk. Kasihan mamamu, terlantar dari pagi karena kesibukan kita. Biar om dan tantemu yang membereskan barang-barang," ujar sang nenek, memerintah Miranda.

"Baik, Nek." Miranda bergegas keluar dari mobil, lalu memapah mamanya memasuki rumah.

Tiba-tiba Larasati menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Ma? Sejak hari ini, Mama sama Miranda tinggal di rumah nenek, ya. Mama mau kan, tinggal di sini?"

Larasati tidak menjawab. Ia tidak tahu mau menjawab apa. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun, rumah ini telah membuat sudut kecil di hatinya menghangat. Rumah ini. Rumah dimana ia dibesarkan kedua orang tuanya. Dibesarkan dengan cinta, tanpa luka.

Larasati memandangi setiap jengkal kamar yang baru saja dimasukinya. Ia merasa familiar dengan kamar itu. Dielusnya lemari baju berukir itu. Meja rias, ranjang ukir, dan beberapa boneka lama di atas kepala dipan.

"Mama ingat kamar ini? Iya, ini kamarnya Mama ketika masih gadis. Miranda akan menemani Mama tidur di sini setiap hari. Mama cepat sembuh, ya, Ma! Miranda ingin Mama kembali seperti dulu." Miranda memeluk Larasati.

 Larasati hanya diam saja. Namun, setiap Miranda memberinya pelukan atau ciuman, Larasati merasakan kehangatan menjalar di relung hatinya.

Tak terasa, sebulan telah berlalu. Seperti biasa, Miranda pergi dan pulang sekolah dengan ojek langganan. Tidak ada yang bisa mengantar jemput Miranda. Sang nenek sudah terlalu tua, sedangkan mamanya sendiri masih belum pulih dari depresinya.

Setiap hari Sabtu, Tante Mira dan suaminya datang, lengkap dengan kedua anaknya yang masih berumur 10 dan 7 tahun--Andri dan Hani. Setelah itu, mereka mengantarkan Larasati melakukan konseling pada seorang Psikolog di pusat kota. 

Andrindan Hani ditinggal di rumah, bersama sang nenek. Hal ini sudah berlangsung selama tiga minggu. Saat sesi konseling berlangsung, Mira dan suaminya setia menunggu di ruang tunggu. Setelah sesi konseling selesai, Psikolog akan mengajak Mira dan Heri berbincang-bincang, membicarakan kondisi Larasati. Apa yang harus dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan selama proses pemulihan Larasati.

Sore ini, sesi konseling telah usai. Seperti biasa, Mira dan Heri mengajak kakaknya keliling kota, mereka sengaja mengambil jalan memutar, agar Larasati punya waktu lebih banyak melihat pemandangan dari dalam mobil.

"Kak, lihat tuh ada gardu PLN. Sebentar lagi kita akan melewati SMA-mu dulu, Kak. Ingat gak? Tuh dah kelihatan gapura masuknya. Kakak ingin ke sana?" Mira menawari kakaknya. 

Heri segera tanggap. Tanpa menunggu jawaban dari Larasati, ia membelokkan mobilnya ke arah gapura kampung Sanggrahan. Tak sampai lima menit, mereka telah sampai di depan gapura depan SMA 2 Magelang. Mira menuntun kakaknya turun. 

Larasati memandang ke arah sekolahnya. Ada beberapa memori yang berusaha menyeruak, ke dalam ingatannya. Ia menatap lapangan basket dan lapangan tennis di sebelah kanan, masjid sekolah, dan beberapa gedung kelas yang nampak dari depan. Ada kehangatan yang menyeruak di hatinya. Air mata mengalir di kedua pipinya.

Mira melirik suaminya. Mereka lalu memapah Larasati ke dalam mobil, pulang ke Tempuran. Selama perjalanan, Mira mengajak kakaknya mengobrol. Membicarakan masa kecil, juga masa-masa sekolah mereka.

Mira tak pernah berkecil hati, walaupun selama ia mengajak kakaknya bicara, sang kakak tidak pernah sekalipun menimpalinya. Ia yakin, kakaknya menyimak semua perkataannya.

"Mama ...!" teriak Andri dan Hani, menyambut kedatangan mamanya.

"Bagaimana sesi konseling hari ini, Mira?" Nyonya Herlambang menanyai putrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status