Share

Bab 2 : Pakai Penutup Mata..?

“Mas Gilang, mau kemana?” tanya Elvira saat mereka baru sampai di kamar hotel super deluxe hadiah pernikahan dari Aprilia untuk berbulan madu di Pulau Bali.

“Aku ada sedikit urusan penting,” ucap Gilang usai menerima panggilan telepon dari seseorang, saat mereka baru saja tiba di hotel.

“Urusan penting?” tanya Elvira memandang aneh ke arah Gilang, seorang lelaki yang baru kemarin menyandang status sebagai suaminya.

“Ya, aku jalan dulu,” ucap Gilang tanpa menoleh kearah Elvira di saat hari pertama bulan madu mereka.

“Mas, kita baru menikah dan kamu udah tinggalin aku?!” keluh Elvira dengan nada tinggi.

BLAM!

Tak ada jawaban yang didengar oleh Elvira. Yang terdengar hanya langkah kaki dari lelaki yang baru menikahinya dan bunyi pintu yang ditutup keras oleh Gilang kala meninggalkan dirinya sendirian di kamar pengantin mereka. Sama sekali tidak ada sedikit pun respons dari Gilang atas apa yang dikatakan Elvira.

Gilang telah menghilang dari dalam kamar itu, meninggalkan pengantin wanita yang menunggu keromantisan yang tertunda sejak kemarin malam.

Tak ada yang bisa dikatakan oleh Elvira. Ia hanya termenung di sebuah kursi kayu panjang persis di depan tempat tidur mereka atas apa yang dialaminya. Bahkan Gilang tidak memberitahukannya, urusan penting apa yang dilakukan di Bali? Padahal, saat mereka akan ke Bali tidak ada sedikit pun Gilang menyinggung tentang urusan penting di Bali, karena tujuan mereka memang hanya untuk menikmati bulan madu.

Dikeluarkan pakaian dalam koper Elvira. Diambilnya pakaian tidur nan seksi pemberian dari sahabatnya. Ulfa memberikan dua set lingerie. Dielusnya pakaian tidur tipis berbahan satin warna putih dan pink, yang seharusnya dipakai kemarin malam pada saat malam pertama. Namun, ditundanya hingga mereka berada di Bali untuk menikmati surgawi dunia, saat akan melepaskan masa lajang mereka.

“Ulfa, kayaknya baju tidur elo kagak hoki banget. Sekarang aja gue ditinggal laki gue. Ternyata nikah itu kagak enak,” selorohnya sendirian seraya mengelus baju tidur nan seksi itu dengan wajah kecewa.

Dipandanginya ranjang pengantin yang telah ditata indah oleh pihak hotel dengan membuat sepasang angsa dari handuk berwarna pink dan putih dan dibentuk menyerupai hati. Kelopak bunga mawar berwarna putih bercampur dengan melati putih kecil bertebaran di atas tempat tidur. Membuat tempat tidur itu demikian semerbak.

Di sisi kanan dan kiri tempat tidur khusus pengantin, ada rangkaian bunga segar dengan ucapan ‘selamat berbahagia’. Serta ada juga bunga sedap malam yang ditempatkan pada sebuah pot bening kaca.

Elvira kembali mengingat-ingat perjalanan mereka hingga sampai menuju pernikahan. Hanya selama 3 bulan mereka saling mengenal satu dan lainnya. Mungkin rasa cinta diantara mereka tidak sebanyak orang yang berpacaran selama setahun bahkan tiga tahun.

Selama tiga bulan perkenalan hingga menuju pernikahan, hanya satu kali saja Gilang mencium dirinya dan itu pun pada bagian kening, saat mereka melangsungkan ijab kabul.

“Hmmm, sekalinya ketemu lelaki dan mau ngajak nikah, kok yaa kelewat banget jaga kehormatan gue yaa.? Tapi, kalau sampai cium bibir gue aja kagak berani, apa emang begitu prinsipnya Gilang? Apes amat dah nasib gue. Pengen ngerasain untuk yang pertama aja susahnya kayak gini,” gerutu Elvira bermonolog saat memandang dirinya di cermin dan berbicara pada dirinya sendiri.

Mengingat semua yang baru disadarinya selama tiga bulan ini, membuat bulu kuduknya bangun. Pikiran negatifnya kini bermain di otak kirinya, Elvira takut kalau lelaki yang dikenalnya selama 3 bulan, bukanlah lelaki tulen. Elvira berpikir, kalau Gilang adalah seorang lelaki pencinta sejenis. Hal itu jelas membuat kegelisahan dalam kalbunya teramat sangat kuat.

“Apa Mas Gilang homo yaa? Kenapa selama tiga bulan masa pendekatan, dia terlihat sangat sopan? OMG ... gimana kalau dugaan gue benar? Aduh, gue harus bagaimana?” seketika Elvira panik, seraya menutup matanya membayangkan hal buruk sembari memijat-mijat kepalanya yang dirasa mulai pening memikirkan hal diluar dugaan dan duduk di depan cermin memandang wajah cantiknya.

Elvira kembali mengingat kejadian di rumah mamanya. Kamar pengantin yang telah disiapkan oleh Aprilia, untuk dirinya saat akan melepas masa lajang sama sekali tidak tersentuh di malam itu. Saat itu, Gilang beralasan lelah ingin tidur lebih awal sebelum mereka pergi ke Bali.

“Gila! Kok gue baru merasa ada yang aneh sama Gilang yaa? Masa sih sebagai lelaki normal, dia kuat menahan diri untuk nggak tidur sama gue di malam pertama waktu di rumah, hemm, sekarang gue curhat sama siapa nih? Kalau gue ngomong ke Ulfa, nanti malah dia bocor ke nyokap gue. Aduh, nikah bukannya kagak ada masalah, malah tambah masalah! Sebel banget dah kalau udah begini!”

Kejanggalan yang dirasa oleh Elvira kembali dirasakan hari ini. Sebagai lelaki normal, seharusnya Gilang telah melakukan kewajibannya sebagai lelaki, apalagi telah tertunda lebih dari satu hari. Namun, hari ini Elvira kembali menelan pil kekecewaan, saat Gilang lebih memilih urusan penting yang tak diketahuinya dibanding menuntaskan kewajibannya sebagai suami.

Di depan cermin Elvira pun menunjuk ke arah diri sendiri seraya berucap, “Ini semua gara-gara elo terlalu pegang prinsip! Coba kalau pikiran elo bebas kayak cewek lain yang pacarannya bebas, mungkin elo udah nikah dari dulu. Nyesel kan, elo sekarang?!"

Elvira terus saja merenung dan mengupas satu persatu kejanggalan yang terjadi selama tiga bulan ini, hingga mereka sampai ke Bandara. Pikiran Elvira pun mengembara mengingat kejadian di Bandara. Baru disadarinya kalau Gilang sama sekali tidak romantis layaknya pengantin baru.

Jemari tangannya saja tidak pernah digenggamnya, kecuali saat mereka melakukan ijab kabul. Selama ini fokus Elvira hanya pada gimana secepatnya ia menikah dan melepas predikat ‘Perawan Tua’.

Elvira yang bingung pada sikap Gilang dan perilakunya membuat ia hanya mampu mondar-mandir di dalam kamar tanpa ada yang bisa dilakukan. Sampai akhirnya, telepon hotel di dekat nakas ranjangnya berdering kuat hingga membuat terkejut.

“Ya selamat siang, Mbak, kenapa yaa?” tanya Elvira saat mendengar sapaan dari seorang resepsionis diujung telepon.

“Maaf Buu, tadi ada pesan dari Pak Gilang yang meminta pada kami untuk menanyakan makan siang yang akan ibu pesan,” ucap seorang wanita bagian resepsionis.

“Makan? Uhm, sepertinya saya belum lapar Mbak. Apa ada lagi yang disampaikan suami saya?” tanya Elvira singkat.

“Bapak hanya pesan untuk mengingatkan makan siang Ibu saja,” tutur wanita bagian resepsionis itu kembali.

“Oh, baik Mbak, nanti kalau saya lapar akan saya hubungi, terima kasih.”

Percakapan pun berakhir. Lalu, Elvira yang tak sanggup memikirkan sendiri perihal keraguan pada diri Gilang pun, menghubungi sahabatnya, Ulfa.

“Ulfa ...,” sapanya ragu.

“Wah, pengantin baru mau cerita pengalaman apa nih?” tanya Ulfa saat menjawab sapaan sahabatnya.

“Uhm ... Ulfa, sepertinya pernikahan gue dalam masalah deh,” suara Elvira sangat pelan saat akan mengutarakan kejanggalan yang ada dalam pikirannya.

“Apa?!” teriakan Ulfa sangat keras diujung telepon. “Gue kagak salah denger? Ya Allah ... ada masalah apa, Vira ...? Hey, baru dua hari nih, elo kawin."

Elvira menghela napas kasar dan terdiam tanpa bisa mengutarakan semua yang terjadi. Hingga Ulfa sampai menegurnya dari ujung telepon, saat tak kunjung pula didengar tanggapan atas pertanyaannya.

“Vira ... Hello!”

“Hmmm, gini Faa ... masalahnya, laki gue sampai sekarang kagak nyentuh gue sama sekali, aneh kan?” ungkap Elvira meluncur dari bibirnya dan minta pendapat sahabatnya.

“Emang waktu di rumah mama elo, kagak jadi malam pertamanya? Elo nggak nanya ke dia, kenapa kagak tuntasin kewajiban dia?” tanya Ulfa memberikan saran yang juga ikut terbawa suasana dengan menarik napas.

“Gue malu laah, Faa, dia itu laki-laki, harusnya kan, lebih tau dan pengalaman. Aneh aja, kok bisa dia kagak nafsu sama gue? Menurut elo, apa dia homo? Soalnya selama pacaran dia cuma cium pipi gue. Satu kali pun dia kagak pernah cium bibir gue,” Elvira melampiaskan semuanya pada Ulfa tentang kejanggalan Gilang yang selama pacaran tidak pernah diumbar pada siapa pun.

“OMG ... Vira ..! Napa elo baru cerita sama gue? Sekarang apa tindakan elo?” tanyanya.

“Faa, tunggu ya, ada notifikasi pesan dari Gilang. Jangan tutup teleponnya. Gue mau baca pesannya dulu,” pinta Elvira, membuka menu pesan pada ponsel tanpa menutup teleponnya.

[Pesan masuk Gilang : Vira ... kamu mandi yang bersih dan wangi yaa, pakai baju tidur seksi, sebentar lagi aku balik. Oh ya, Uhm, aku orangnya pemalu. Bisa kamu pakai penutup mata waktu aku datang ke kamar kita? Aku malu kalau kamu sampai lihat tubuh polosku. Apa bisa kamu lakukan untukku? Mungkin itu akan aku lakukan sampai aku merasa nyaman dan nggak malu lagi]

Membaca pesan singkat dari Gilang membuat Elvira menelan salivanya. Jantungnya berdebar kuat. Ia bingung harus membalas apa. Sampai akhirnya teriakan suara dari Ulfa mengingatkannya pada panggilan yang ditunda dari ponselnya.

“Hello!! Vira! Hello!” teriak Ulfa.

“Hello ... ya Ulfa, sorry,” ucapnya.

Lalu, Elvira memberitahukan pesan yang dikirim oleh Gilang.

“Oh, gitu ... berarti dugaan elo salah dong. Mungkin memang dia itu orangnya pemalu banget. Ya udah elo ikutin aja maunya. Nanti juga, lama-lama jadi biasa dan kagak malu lagi,” ucap Ulfa. “Ya udah elo siap-siap yaa. Besok telepon gue lagi, gimana rasanya melewati hari pertama begituan, enak apa kagak barang laki elo. Hahahhahaha.”

Setelah bercanda dan melepas keraguan yang telah disebar pada sahabat baiknya, hubungan telepon antara mereka pun berakhir dan Elvira pun membalas pesan dari Gilang.

[Pesan keluar Elvira : Ya, untuk penutup matanya kamu yang beli, apa sekarang aku yang beli?]

Beberapa detik kemudian, Gilang kembali membalas pesan Elvira.

[Pesan masuk Gilang : Aku udah bawa penutup mata untuk kamu dan aku taruh di laci meja rias. Kalau kamu udah siap, tolong kamu kirim pesan]

Usai membaca pesan singkat suaminya, Elvira beranjak dari kursi panjang di depan tempat tidurnya menuju laci pada meja rias. Dicarinya penutup mata yang telah di siapkan oleh Gilang. Dengan tersenyum, Elvira memandang ke arah cermin dan bermonolog.

“Kira’in cewek aja yang malu untuk lakuin yang pertama kali, ternyata cowok model Gilang gitu juga. Uhm, ternyata elo salah ... Vira!” tunjuk Elvira pada cermin atas pikiran negatif yang telah diuraikan pada Ulfa, sahabatnya.

Setelah menyiapkan satu setel baju tidur nan seksi berwarna putih berisi satu tali dengan bagian dada terbuka berisi renda membuat baju tidur itu terlihat sangat seksi. Elvira juga tersenyum memandang celana dalam berwarna putih dengan tali pengikat pada bagian kanan dan kiri pinggulnya yang terkesan sangat tipis. Serta penutup mata berwarna hitam yang telah diambil di laci meja rias diletakan pada sisi tempat tidur.

Elvira pun tersenyum semeringah, berjalan menuju kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Ada rasa penasaran, malu dan entah apa yang harus dilakukannya kala berdekatan dengan lelaki yang baru dikenalnya.

Namun, Elvira meyakinkan dirinya, kalau Gilang adalah lelaki normal yang romantis. Dari semua cerita malam pertama yang di dengar dari teman dan sahabatnya, baru kali ini Elvira merasakan kekonyolan dan romantisnya Gilang serta sikap terbuka lelaki itu yang meminta padanya untuk memakai penutup mata. Hal itu akan menjadi kenangan yang tak akan terlupakan.

‘Akhirnya, gue akan melewati masa bahagia juga,’ bisik hati Elvira, kala menyalakan shower dan hangatnya air pun, mulai membasahi seluruh bagian tubuh yang akan diserahkan pada seorang lelaki halal baginya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Parikesit70
Untuk semua pembaca setia Good Novel, kenalkan saya Reni atau Parikesit70. Saya mohon dukungannya untuk membaca cerita ini & mohon kasih bintang 5 serta berikan ulasan cerita ini. Terima kasih atas kebaikan & dukungan dari kakak semua. Salam hormat untuk orang-orang terkasih. Love you sekebon All.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status