"Gubrak ... !"
Tas itu dilempar sebarang. Suaranya terdengar jelas. Dia menelungkupkan mukanya di kedua lututnya. Terduduk di bantalan sofa empuknya. Punggungnya teguncang kencang. Ada isak tangis di sana. Sesaat alam sadarnya kembali. Disekanya air mata itu dengan kasar.
"Apa kurangnya aku dibanding dia! Dia hanya seorang janda! Dia hanya wanita biasa! Apa kurangnya aku-!! Prankk-!! Gelas itu pecah berhamburan ke lantai. Pecahannya mengais kulit putihnya,melelehkan darah segar di betisnya. Dia meringis menahan sakit diantara isak tangis kemarahannya.
Tanpa memperdulikan pecahan gelas di lantai itu, dia membuka membuka layar ponselnya.
Semenit kemudian -,
"Lakukan malam ini! Rusak Dia! Hancurrkan- Dia!" perintahnya di seberang telpon.
"Baik Nona,"
"Aku tidak mau mendengar kata gagal!" tandasnya cepat, lalu menutup telpon. Nafasnya ter-engah. Matanya menyorot tajam. Memandang keluar jendela.
Feronika Alfarest,!&nbs
Siapa yang jahat?
Bau ruangan ini sudah tidak asing lagi. Bau khas rumah sakit. Perlahan aku membuka mataku. Rasanya, badanku remuk semua. Aku meringis menahan sakit. Kurasakan sentuhan lembut di jari-jemariku. Dengan masih kurasakan sakit di kepalaku. Kulihat seseorang duduk di hadapanku. Menggenggam hangat tanganku. Aku tidak perlu mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Rasanya aku trauma. "Kamu sudah sadar, Sayang? Apa yang kamu rasakan, masih sangat sakitkah? Suara teduh itu milik Ray. "Maafkan aku, saat kamu butuh aku, aku tidak ada bersamamu!" ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng kan kepala lemah. Iya, Dattan yang menyelamatkan aku. Kemanakah dia? Mataku mengitari ruangan. Tapi tidak kutemukan sosok itu. "Kamu mencari Dattan?" Kuanggukan kepala, mengiyakan pertanyaannya. "Dia di kantor polisi. Ikut mengintrogasi kedua penjahat yang akan memperkosamu!" Aku kembali mengangguk, mendengar ucapan Ray. Yah, aku hampir saja diperkosa oleh dua laki-laki
"Ma! Ada yang mau Saya tanyakan sama mama!" Pagi itu sebelum berangkat kerja, Ray menyisakan waktunya mampir ketempat mamanya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sedikit kaget dengan kehadiran putranya yang tiba-tiba datang di rumah. Pagi itu, di kediaman Aliya( mamanya Ray Dinata) terlihat wanita cantik yang sudah tak asing lagi. Senyumnya mengurai ketika dilihat cowok tampan itu berkeliaran di rumah mamanya. "Tumben Ray, mampir? Ada perlukah? Tanpa menghiraukan sapaannya, Ray berlalu menghampiri mamanya. "Ada apa, Ray? Datang-datang kok sudah pasang muka tegang begitu? Aliya menghampiri putra semata wayangnya. "Mama, tolong jangan intimidasi Move lagi? Dia sudah cukup menderita, Ma!" suara Ray sedikit meninggi. Aliya, wanita paruh baya itu mengernyitkan kening. Sedangkan gadis cantik yang duduk bersebrangan dengan kedua orang itu, menggerakan badannya untuk berdiri. "Maksud kamu apa, Ray? Ini tentang Move lagi? Ka
Mata itu menatap tajam dengan kemarahan. Aku yakin di sana ada kebencian mutlak. Pembawaannya yang begitu tenang dan angkuh, membuat sikap itu tidak begitu kelihatan mencolok. Sudah hampir 15 menit berlalu. Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku masih menunggu, tanpa mengurangi sopan-santunku. Sebagai rasa hormatku untuknya. Aku masih dalam posisiku. Duduk di kursi yang ia pesan. Sedang dia, masih berdiri mematung, membelakangi aku. Ketika tiba-tiba ponselku berdering, ... "Angkat panggilan itu!" suaranya memecah keterdiaman diantara kami. Aku mengangguk hormat seraya menjawab panggilan masuk di ponselku. "Hallo!" suaraku datar agak bergetar. Suara di seberang terdiam sesaat. "Sayang! Apa kamu sekarang lagi bareng sama mama?" tanyanya ragu. Aku terdiam sesaat. Menatap seseorang yang berdiri di hadapanku. Wanita itu mengangguk sebentar sebelum mengambil ponselku. Kubiarkan ponsel itu pindah tangan. "Hallo, Ray!
Kakiku gemetaran mendengar perkataan Feronika. Aku membalikkan badan. Pandanganku tajam ke arah Ray. Dengan linglung aku mengarahkan kakiku kembali ke tempat neraka itu. Bukan Ray atau Dattan yang kutuju. Tapi, sosok wanita cantik itu yang kudatangi. "Sebenarnya, kamu ini siapa Feronika?" tanyaku penuh penekanan. Kuamati raut muka wanita itu. Kucari kebenaran dari apa yang dia ucapkan tadi. "Tidak seharusnya, kamu ikut campur terlalu jauh masalah pribadiku!" Agak tersentak Feronika mendengar ucapanku. Mungkin selama ini mereka selalu memandang aku lemah, dan menyepelekan apapun tentang aku. Kali ini ada rasa keterkejutan baik Feronika ataupun orang-orang yang ada di sini, mendengar kalimat terakhirku tadi. "Aku hanya mengatakan kebenaran Move!" Sekali lagi Feronika menegaskan ucapannya. "Sudah cukup Fero!" Tiba-tiba suara Ray bergema. Aku menatap tajam ke mata laki-laki yang teramat aku cintai itu. "Katakan sekali lagi Fe
Agak kasar Ray memarkirkan mobilnya. Dengan buru-buru dia berlari menuju kosan Move. Agak ter-engah dia menaiki tangga itu. Sesampainya di kost Move buru-buru dia mengetuk pintu. Lama ketukan itu nggak ada sahutannya. Ray mulai gelisah. "Move ..., Kembali dia mengetuk pintu, bahkan memanggil namanya. Dia melirik arloji yang bertengger di tangannya. Baru jam 4 sore. Seharusnya dia sudah di rumah. Dibukanya layar ponselnya. Kembali dia berusaha menghubungi lewat telpon seluler. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena merasa tidak sabar, Ray menuruni anak tangga. Kembali ke mobilnya, melajukannya dengan cepat ke arah tempat kerja Move. Sesampainya di sana, dia langsung ke meja kasir. "Mbak! Maaf, numpang tanya, Movenya, ada?" Nafas Ray ngos-ngosan seperti dikejar penjahat. "Haduh, maaf mas, hari ini mbak Move izin setengah hari. Katanya ada keperluan mendadak." Ray menghela nafas, rasa kecewa itu tampak di raut mukanya yang tampan.
Menghilangnya Move hampir 3 hari membuat seluruh teman kerjanya merasa kehilangan. Aplagi Ray, laki-laki itu sempat drop dalam pencariannya. Bahkan detektif yang ia sewa sama sekali belum mendapatkan hasil. Baik Dattan dan Fito, hampir tidak pernah tidur. Mereka mencari keberadaan Move sampai 24 jam. Polisi juga sudah dikerahkan dalam pecarian itu. "Mama bawain makan siang buat kamu Ray," suara wanita itu ketika berada di ruang kerja anaknya, "Aku nggak lapar Ma, bawa pulang aja lagi." jawabnya tanpa menoleh. Wanita itu mendekati putra semata wayangnya itu. "Mama tahu kamu sedang bersedih, sangat marah sama Mama, tapi mau sampai kapan kamu seperti ini?" "Nggak ada yang nyalahin Mama, Aku lagi sibuk kerja. Nggak mau diganggu." jawabnya sekali lagi. Terdengar sangat dingin nada bicaranya. Terlihat kantung matanya sampai menghitam. Itu menandakan dia jarang atau malah nggak pernah tidur berhari-hari untuk mencari Move.
Dokter Careld dengan cepat menggenggam jari-jemari wanita itu. Hanya sesaat, selanjutnya diam lagi. "Hanya gerakan reflek ya, Dok?" Perawat itu mengubah raut muka riang dengan raut muka lesu. "Nggak apa-apa, Sus, ini kabar baik. Sudah ada kemajuan." jawab dokter Careld tidak lupa memberikan senyum manis sama suster itu. Beberapa menit kemudian, suasana hening. Suster itu sudah meninggalkan ruang VIP. Sedangkan dokter Careld masih duduk di tepi ranjang pasien. "Cepat sadar, wanita misteriusku, sudah ada kabar baik. Sudah ada kemajuan soal kondisimu. Semoga kamu cepat membuka mata. MOVE!" Move! Ternyata, korban kecelakaan itu adalah Move Herdianata. Kekasih dari Ray Dinata. Sudah 5 hari dia berbaring di tempat tidur pasien dalam keadaan koma. 5 hari yang lalu, setelah kejadian terbongkarnya identitas Ray yang sesungguhnya, Move berniat untuk pergi selamanya dari kehidupan Ray Dinata. Hancurnya perasaannya waktu itu membuat
Careld seolah masih tak percaya, dia kembali menatap wanita yang sudah bangun dari tidur panjangnya itu. Berkali-kali diremasnya jari-jemari ringkih itu. Si empunya jari meringis menahan sakit. "Oh, maaf," ucapnya melihat ringisan di wajah wanita itu. "Kamu dokter?" tanyanya polos. Careld menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Genggamannya pada tangan pasien itupun terlepas. "Jadi, Aku di rumah sakit?" Kembali Careld menganggukkan kepala. Dokter tampan itu tersenyum geli dengan pertanyaan pasiennya. Sekalinya bangun, tingkahnya jadi lucu dan polos. "Apa yang terjadi denganku?" Sekali lagi dia bertanya. "Kamu nggak ingat apa yang terjadi?" tanya Careld sambil menatap wanita itu dengan tatapan teduh. Tatapan yang bisa membuat semua kaum hawa bertekuk lutut. Dia, wanita itu, pasien dokter Careld hanya menggeleng lemah. Careld menarik nafas pendek. "Terus Dokter, tahu nggak, aku ini siapa, namaku siapa?" Careld terte