Careld seolah masih tak percaya, dia kembali menatap wanita yang sudah bangun dari tidur panjangnya itu. Berkali-kali diremasnya jari-jemari ringkih itu. Si empunya jari meringis menahan sakit.
"Oh, maaf," ucapnya melihat ringisan di wajah wanita itu.
"Kamu dokter?" tanyanya polos. Careld menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Genggamannya pada tangan pasien itupun terlepas.
"Jadi, Aku di rumah sakit?" Kembali Careld menganggukkan kepala. Dokter tampan itu tersenyum geli dengan pertanyaan pasiennya. Sekalinya bangun, tingkahnya jadi lucu dan polos.
"Apa yang terjadi denganku?" Sekali lagi dia bertanya.
"Kamu nggak ingat apa yang terjadi?" tanya Careld sambil menatap wanita itu dengan tatapan teduh. Tatapan yang bisa membuat semua kaum hawa bertekuk lutut.
Dia, wanita itu, pasien dokter Careld hanya menggeleng lemah. Careld menarik nafas pendek.
"Terus Dokter, tahu nggak, aku ini siapa, namaku siapa?" Careld tertegun sesaat. Dia berpikir dalam diam. Ada kegelisahan tampak di wajah tampannya.
"Dok!" Tangan wanita itu menyentuh tangan Careld.
Careld tersentak sesaat. Kemudian dia berdiri. Mendekati pasiennya. Tangannya mengarah ke dada wanita itu.
"Ehhh-hh, mau ngapain?" sergahnya sambil menyilangkan ke dua tangannya di dada.
Lagi-lagi Careld tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mau periksa keadaan kamu, kok bisa kamu sampai nggak ingat nama sendiri." jawabnya sambil menekan alat stetoskopnya ke dada sebelah kanan wanita itu. Lalu menyentuh kelopak matanya dengan tangan lembutnya.
"Coba julurin lidahnya!" Perintahnya. Sesaat pasien itu terdiam. Careld menatapnya dengan saksama. Tak lama kemudian dia menuruti perintah dokter yang ada di depannya.
Careld menghela nafas panjang. "Kamu terkena amnesia?" ujarnya. Si pasien membulatkan bola matanya.
Lagi-lagi Careld tersenyum geli. Ada aja tingkah wanita itu, menurutnya yang bisa membuat dia nyaman.
"Memang saya kenapa, Dok, kok sampai amnesia begini?" tanyanya panik.
"Kamu kecelakaan. Tertabrak truk container. Ada cidera di kepala bagian belakang sama tulang belakang kamu, akibat benturan di aspal. Tapi, jangan khawatir, insya alloh akan cepat pulih dengan segera." jelasnya panjang.
"Jangan terlalu dipaksain ya! Yang terpenting saat ini kamu sehat." Kembali dia melanjutkan penjelasannya.
"Nama kamu, Move! Move Herdianata." Careld menyebutkan identitas wanita itu sambil memberikan dompet milik Move.
"Kamu mengalami koma selama 5 hari." Wanita yang bernama Move itu kembali membulatkan bola matanya.
Careld tertawa terkekeh. Dia menepuk bahu Move.
"Oh iya, aku dokter Careld. Dokter khusus yang mengobati kamu." Careld mengulurkan tangan. Move terdiam sesaat. Dia menatap dokter Careld lama.
"Kenapa, nggak mau kenalan dengan, Saya?" Move kembali menatap laki-laki sejuta pesona itu. Lalu mengulurkan tangannya.
"Move," ucapny pelan. Careld tersenyum lembut. Merangkum tangan ringkih itu dalam satu genggaman.
"Kamu jangan sungkan Move! Kalau ada yang diperlukan bilang sama aku." Move mengangguk ragu.
Move itu aku,
Yang koma selama 5 hari, karena kecelakaan. Tertabrak truk container. Sekalinya aku bangun dari tidur panjangku, aku amnesia. Menyedihkan! Cuma kata itu yang bisa mewakili hatiku.
Bagaimana tidak? Selama aku koma, tidak ada satupun yang menjengukku. Aku tak punya siapa-siapa. Dan kini aku tidak ingat satu hal terkecilpun tentang diriku sendiri.
Kuhembuskan nafas dalam-dalam. Memandang ke arah kaca jendela. Rintik hujan itu menambah pilu hatiku. Sebenarnya aku ini siapa? Ku gelengkan kepala dan mencoba mengingat sedikit aja, tentang hal terpenting dalam diriku. Tapi nggak berhasil. Yang ada kepalaku tiba-tiba sakitnya luar biasa.
******
"Pasien itu sudah sadar lho! Dokter Careld sendiri yang ada di sana waktu dia membuka mata." Perawat-perawat ituriuh rendah bergosip.
Ray berhenti sesaat, mendengarkan perkataan mereka. Nama dokter Careld disebut, itu artinya yang dimaksud pasiennya sudah sadar itu adalah pasien yang ada di lantai 2, yang sejajar dengan ruangan Careld.
"Aku merasa iri sama dia, dokter Careld meng-istimewakannya." celoteh perawat itu sambil tertawa.
Ray semakin yakin, kalau sepupunya itu punya hubungan khusus dengan orang yang dia sebut pasien itu.
Dengan tergesa, Ray melangkahkan kakinya ke lantai 2. Ketika kakinya melewati kamar VIP itu, tak sengaja dia menoleh ke dalam kamar tersebut. Agak kaget ketika di lihatnya seorang wanita tengah berdiri membelakanginya. Merasa familiar dengan postur tubuh wanita itu. Mencoba mengingat-ingat, namun segera di gelengkan kepalanya.
******
Baru saja Ray mau mengetuk pintu ruang praktek dokter Careld. Pintu ruangan itu sudah terbuka, terlihat dokter Careld bersama seorang wanita yang teramat Ray kenal.
Ray berdiri mematung di depan pintu. Menunggu mereka menghampirinya. Sedang dokter Careld dan wanita itu saling melempar senyum.
"Hai Ray, kamu datang lagi? Ada yang bisa aku bantu?" tanya dokter Careld ramah. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya mengurai senyum pengharapan.
"Aku mampir aja Careld, ada yang mau aku bahas sama kamu?" jawabnya datar sambil menatap wanita itu.
"Lama nggak bertemu Ray," sapa perempuan itu sambil mengulurkan tangan. Ray bergeming.
Dia,
Feronika Alfarest, wanita yang tetakhir kali membuat hidup Ray berantakan. Dan akhirnya harus kehilangan Move. Di hati Ray, sangat tidak bisa menerima kelakuan teman kecilnya itu. Sampai pada akhirnya dia memutuskan konta wanita ini.
"Ok, Ray, tunggu aku di ruanganku. Aku anter Feronika dulu ya?" ucapnya seraya bergegas meninggalkan Ray yang masih berdiri mematung.
Ketika dokter Careld dan Feronika di lobi, tampak Move, pasien yang baru bangun dari komanya itu sedang berada di taman.
"Fero, sebentar ya," ucapnya seraya mrnghampiri Move yang duduk membelakangi mereka. Berbicara sebentar, lalu berniat kembali ke tempat Feronika berdiri. Ketika terdengar pertengkaran mereka,
"Ray, aku juga berusaha mencarinya! Selama 5 hari ini aku bukannya diam saja, tapi aku selalu berusaha mencari keberadaannya,"
"Untuk apa?" sambar Ray cepat. Feronika tercekat. Ditatapnya manik mata laki-laki yang dia cintai itu. Begitu dingin wajah itu.
"Ray-, aku-,
Air mata Feronika tumpah. Wanita itu berlari ke luar gedung. Sedang Ray menatap kepergian wanita itu hanya dengan menarik nafas pendek.
"Kalian ada masalah?" Careld menghampirinya dari belakang.
"Apa sudah separah itu hubungan kalian?" Kembali Careld berucap sambil menjajari sepupunya itu. Ray hanya membuang pandangannya kedepan.
Terbentur pada sosok berambut pendek tampak ringkih dari belakang. Seolah-plah familiar dengan sosok itu, dia berhenti sesaat untuk memastikan.
"Kenapa,?" tanya Careld penasaran.
"Itu pasien kamu?" tanyanya dengan jari telunjuk sudah mengarah pada sosok wanita yang ada di taman. Bahkan Ray tak menjawab pertanyaan dokter Careld.
"Oh dia, pasien yang koma itu. Iya, dia pasienku, barusan dia sadar, bangun dari komanya, kamu mengenalnya?" tanya Careld pada sepupunya itu.
Ray menggelengkan kepalanya, pandangan matanya tetap tertuju ke arah pasien dokter Careld.
"Pasien kamu itu, namanya siapa?" tanya Ray polos.
"Namanya, ..."
"Dokter Careld!" Panggil seorang perawat dari arah berlawanan.
BERSAMBUNG
Dokter Careld menoleh mendengar panggilan itu. Seorang suster menghampiri. "Ada pasien yang anfal Dok, di lantai 5!" katanya tergesa. "Ok , Sus, segera ya," jawabnya sambil mengangguk, " maaf Ray, aku tugas dulu ya!" Kalau menungguku, ke ruanganku aja!" lanjutnya seraya berjalan tergesa menuju lantai 5. Ray hanya menatapnya dengan raut muka susah diartikan. Dilayangkan pandangamnya ke arah taman. Perempuan yang menjadi pasien istimewa Careld sudah menghilang entah ke mana. Dengan berdiri mematung di lantai dasar, Ray menghbuskan nafasnya kuat-kuat. Sudah hampir seminggu hilangnya Move. Bahkan ponselnya pun tidak aktif sama sekali. Ada yang membuatnya merasa aneh. Seandainya memang Move sengaja menghilang kenapa jejaknya sama sekali tidak terlacak. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan dia? Pikiran itu ke mana-mana. Selang beberapa jam, dia sudah di ruang direktur. Duduk menatap kosong ke layar komputer. Pintu diketuk, Clarisa masuk d
"Dokter, Saya masuk dulu ya, mau beres-beres," ucapku dengan senyum di bibirku. Terdengar suara sepatu dari belakang tempatku berdiri. Dokter Careld mengangguk dan membalas senyumanku sambil mengelus pundakku. Selanjutnya aku berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin mencampuri urusan mereka. Aku dah cukup beruntung, bertemu dengan dokter sebaik dia. Uang mau menampung orang asing sepertiku. Sepeninggalku, laki-laki yang bernama Dattan itu asyik ngobrol dengan dokter Careld. "Mangsa baru bro?" tanya Dattan sambil menatap lurus ke arah wanita yang barusan bersama Careld. "Sembarangan aja, bilang mangsa! Dia manusia kali!" Dattan terkekeh mendengar Careld, sahabat lamanya juga sahabat kecilnya itu menggerutu. "Tumben, masih ingat mampir ke sini? Sudah hampir berbulan-bulan lho kamu melupakan rumahku?" ucap Careld sambil berjalan menuju rumahnya yang ada di sebelah pavilium. Dattan hanya mengendikkan bahu mendengar perkataan Careld
Ray mengangkat telponnya. Agak serius dia menerima telpon itu. Kakinya berbalik arah ke rumah dokter Careld. Sedang aku masih saja berusaha msngingat hal sekecil apapun itu. Beberapa menit yang lalu, seiring denyut jantungku yang berdetak kencang, aku seolah merasakan ada sesuatu yang sangat aku rindukan. Entah apa itu. Seperti aku merindukan seseorang yang sangat dekat denganku. Tapi sudah beberapa detik rasa nyeri di ulu hatiku tiba-tiba menghilang. Aku menarik dan menghembuskan nafas agar beban yang ada di hatiku hilang. Berharap secepatnya ingatanku pulih. Masih kudengar suara dokter Careld dan teman-temannya tertawa gembira. Sekilas teringat pria yang turun dari mobil hitam tadi, rasanya seperti dekat dan kenal dengan orang itu. Apakah itu artinya dia pernah ada di masa laluku? "Reld, kok pasien kamu nggak diajak gabung sich? Takut ya pindah ke lain hati?" Careld cuma terbahak mendengar lelucon Dattan. Sedang Ray masih sibuk dengan
Ada yang kurasakan hangat di kulitku. Mataku terbuka samar-samar. Kepalaku rasanya berdenyut-denyut sakit. Kutebar pandanganku ke sekeliling. Kusapu ruangan itu dengan tatapan kosong. Beberapa detik kemudian, Aku teringat kejadian sebelumnya. Dokter Careld dan temannya yang bernama Ray Dinata. Hatiku tiba-tiba tercekat, mengingat ucapan terakhir laki-laki itu. Bahwa aku adalah kekasih 6 tahunnya. Oh ..., Benarkah? Itu artinya laki-laki itu adalah orang paling berperan dalam hidupku! Pikiranku melayang ke mana-mana. Pada akhirnya pandanganku terbentur pada sosok tampan dengan satu tangannya menyangga dagunya. Mata itu terpejam. Kuamati dalam-dalam wajah yang begitu mempesona itu. Dan ... aku terperanjat menyadari siapa laki-laki itu. Spontan aku tarik tanganku yang ternyata ada dalam genggamannya. Tubuhku secara reflek juga terbangun dan beringsut mundur, mentok ke belakang. Dan sekali kusadari bahwa aku masih di rumah sakit, jadi pasie
Dengan tergesa, Ray berlari mengejar brankar dorong yang membawa Move. Di dalam pikirannya, di sana, jenazah Move terbaring. Air matanya tumpah ruah. Dunianya gelap. Dattan yang menyadari kondisi itu, segera mengejar sahabat kecilnya itu. Dengan nafas ter-engah, Ray menggapai brankar dorong itu. Dilihatnya Move sedang terlelap tak sadarkan diri akibat obat bius. Ray terduduk lemas, membiarkan brankar dorong itu dibawa perawat rumah sakit. Nafas yang tadi tersengal pelan-pelan mulai teratur. Ada kelegaan yang luar biasa di dadanya. Badannya seperti tak bertulang. Dilihatnya Careld tersenyum meledek. Secepat kilat Ray bangun. Seolah punya kekuatan dia mengejar sepupunya itu. Careld ...! Kamu keterlaluan!" teriaknya dengan nafas ngos-ngosan. Sedangkan Careld sudah berlari ke ruang prakteknya. "Ray, semua baik-baik saja. Operasi Move sukses. Tinggal menunggu dia sadar. Lebih baik kita ke ruangannya." Dattan membimbing tubuh Ray bangu
Wanita itu berdiri membelakangi bangku yang ada di taman. Postur tubuhnya yang aduhai,membuat mata setiap pria yang melihatnya, menyempatkan untuk menelan salivanya sendiri. Ada 30 menit, wanita itu menunggu kedatangan dokter Careld. Ada kegelisahan yang terpancar di wajahnya. Bahkan sikapnya yang mondar mandir, tidak bisa menutupi ada keresahan yang mutlak di hatinya. Sebentar-sebentar, dia menengok jam tangannya, menoleh ke arah lobi rumah sakit, dan sesekali mengusap mukanya dengan kasar. Ada ketidaksabaran jelas terpancar di wajahnya. "Hah!" Jelas, dengusan itu menggambarkan kondisinya yang kesal dan tidak sabar. Dari arah belakang seseorang yang ditunggunya datang. Dengan gaya khasnya, dokter Careld langsung berdiri di depan wanita itu. "Sudah lama tidak minta aku untuk menemuimu, apakah ada yang membuatmu ingin bertemu denganku?" Careld menatap wanita itu dengan senyum khasnya. Ke dua tangannya merangkup disakunya
"Kalau sudah lihat rekaman ini, terserah kamu mau bagaimana," ucap Careld sambil menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya. Ray dengan tergesa melihat ke cctv. Nafasnya terdengar mendengus. "Dia lagi!" geramnya. Giginya gemeletuk menahan marah. Careld hanya mengendikkan bahu ketika mata Ray beralih menatapnya. Dia itu terobsesi sama kamu, Ray. Kenyataanya, dia bisa melakukan apa saja untuk menyakiti orang yang kamu sayang,mungkin, menurut dia, lebih baik tidak ada yang memilki kamu." "Gila! Ray menggeram marah. "Sakit itu namanya!" tukasnya dengan wajah memerah. "Untung kamu nggak jadi nikah sama dia," lanjutnya. Careld hanya terkekeh. Terdengar suara pintu dibuka. Wajah Dattan nongol dari balik pintu. "Tindakan apa yang mau kamu ambil Ray?" tanyanya seraya menjatuhkan badannya ke sofa di sebelah Careld. "Kalau boleh aku saranin, nggak usahlah bawa-bawa polisi lagi, kita nunggu ingatan Move pulih, untuk membebaskan
Sudah setengah jam, Ray memperhatikan wartawan yang semakin banyak memenuhi halaman gedung kantornya. Sudah dikerahkan tim keamanan dan juga sempat menyewa beberapa bodyguard, agar para reporter itu tidak menyeruak masuk ke dalam gedung perkantoran. Line telfon berdering terus tiap detik, meminta klarifikasi atas mencuatnya ke media surat kabar gosip Ray Dinata, presdir dari perusahaan pengiriman barang, terlibat skandal dengan mantan karyawannya. Disitu tertera nama Move Herdianata. Entah, perbuatan siapa yang menyebarluaskan gambar dan berita ini di semua media sosial, tentang dirinya dan Move. Teringat akan Move, Ray dengan tergesa menyambar ponselnya, dia ingin memastikan Move tidak jadi perburuan empuk awak media. Tapi baru saja telpon di seberang berbunyi sekali, "Maaf, Pak Ray, para dewan direksi sudah menunggu untuk rapat mendadak." Clarisa, dari balik pintu mengingatkan jadwal rapat darurat hari ini. Ray kembali memencet warna merah dipanggil