Tanpa kusadari tatapan teduh itu sudah dari tadi menatapku.Aku membalas tatapanya ,kulihat dibibirnya ada senyum bahagia.
"Selamat Pagi," sapanya sambil mengecup keningku. Kupejamkan mata meresapi kasih sayangnya. Entah bermula dari mana, peristiwa semalam bisa terjadi. Tanpa komitmen apapun, aku dan dia melakukannya. Bahkan kami begitu menikmatinya. Apakah aku ini gampangan dan kelihatan murahan? Aku menggelengkan kepala berkali-kali.
"Selamat Pagi," sambil memeluknya aku membalas sapaannya. Kudekap badan kekarnya. Rasanya nyaman sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau rasa bahagia ini tiba-tiba menghilang.
"Aku sudah bikin sarapan," bisiknya lembut di telingaku. Semakin aku mengeratkan pelukanku.
Masih kurasakan sisa-sisa semalam. Rasanya begitu indah. Bahkan laki-laki ini tidak canggung memperlakukan aku. Seolah-olah dia sudah sangat mengenalku. Dan kami seakan-akan sudah lama menjalin hubungan ini. Ingin bertanya yang sebenar-benarnya terjadi, tapi takut membuatnya marah.
Ray, merasa diabaikan. Dia merenggangkan pelukannya dan meraih lembut wajahku. Menatapnya begitu teduh.
"Melamunkah?" tanyanya dengan lembut.
"Oh, ti-tidak, Pak." jawabku tergagap. Debar jantung itu masih saja ada dalam hatiku, meskipun salam sudah dituntaskan olehnya.
"Pak-,? setelah apa yang terjadi semalam, masih tetap manggil pak? tanyanya serius mrmbuat nyaliku ciut. Takut menyinggung perasaannya.
"Maaf."ucapku setengah berbisik. Laki-laki itu kembali meraih pipiku. Mmbelainya lembut. Sekali lagi kupejamkan mata. Menikmatinya. Ada yang berkecamuk di sana. Menunggu penuntasan. Seolah-olah Ray paham. Dia meraih tubuh kecilku. Meraupnya dalam tubuh kekarnya. Dicecarnya aku dengan ciuman-ciuman panasnya. Membuatku tiba-tiba panas. Dan menanggapi setiap jengkal yang dilakukan Ray padaku.
Terjadi lagi,
******
Mobil Ray berhenti tepat di perempatan jalan dekat gedung perusahaanku. Sebelum aku turun dari mobil, laki-laki itu menarik tanganku. Aku terjerembab di dalam pelukannya. Jiwa kelelakiannya memanggil. Dilumatnya bibir tipisku dengan penuh perasaan. Begitu dalam dan begitu lama dia menikmatinya. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Kuseka bibirku yang basah bekas lumatan bibirnya.
"Sudah hampir terlambat!" ucapku padanya. Laki-laki itu tersenyum meremehkan.
"Iya sayang, sampai ketemu di dalam." suaranya pelan sambil mencubit hidungku. Aku merengut memegangi hidungku lalu mebuka pintu mobil dan berlalu dari hadapan Ray.
Di ruang rapat itu aku duduk di kursi pesakitan. Semua pimpinan direksi datang menghadiri rapat kali ini. Rapat khusus membahas kasus suap yang terjadi kemarin. Akumenundukkan muka ketika semua orang mengamatiku. Rasanya posisiku sekarang seperti penjahat kelas kakak. Seperti seorang koruptor yang melakukan korupsi terhadap perusahaannya sendiri. Aku mencoba menenangkan perasaanku.
"Kita belum punya bukti kuat kalau superviser Move melakukan tindakan korupsi. Bukti yang tertera disini bisa saja ini direkayasa sama seseorang!" suaranya tenang dan bijaksana. Penuh dengan wibawa. Terbilang pengusaha muda yang sukses di umur 30 tahun.
Aku merasa sedikit ada kekuatan. Kuberanikan menegakkan kepala.
"Apakah dengan pernyataan Pak Ray, ini artinya ada penyusup yang masuk ke dalam perusahaan?" ucap salah satu dari dewan direksi.
"Bisa dibilang begitu." suara Ray menimpali. "Dan dari penyelidikan bahwa saudari Move tidak pernah menerima dana transferan sebesar 86 juta masuk ke dalam rekeningnya. Bahkan cctv hanya memperlihatkan seorang wanita memakai masker memalsukan tanda tangan Move!" lagi-lagi suara tenang tanpa beban.
"Apa sebenarnya motif orang ini, kenapa Move yang dijadikan targetnya?"suara itu milik Dattan Sergio Sezha. "Apa mungkin ini ada hubungannya dengan masalah pribadi, apa kamu akhir-akhir ini ada menyinggung orang, Move?" lanjutnya.
"Di sini kita membahas masalah pekerjaan bukan masalah pribadi. Tolong dikeep pertanyaannya manager Dattan!" tegas Ray. Dattan menghela nafas pendek mendengar ultimatum sang direktur. Dia kembali duduk setelah beberapa saat berdiri tadi.
"Kalau begitu kita akan terus selidiki dan mencari siapa orang yang menyusup keperusahaan kita. Manager keuangan, tolong kontrol terus anak buahmu dan usahakan terus mencari siapa penyusup ini! Ini tugas divisi kalian tolong kerjakan sebaik-baiknya."
Setelah mengakhiri perintahnya disertai jawaban persetujuan dari divisi keuangan, Ray menutup rapat hari ini.
Aku hampir menuju pintu keluar ketika tiba-tiba Dattan merangkul bahuku dan membisikkan sesuatu ditelingaku. Aku menoleh sesaat dan kulihat mata merah tajam itu seperti marah menatapku.Buru-buru aku membalikkan muka berdampingan lagi dengan Dattan yang masih merangkul bahuku.
"Kenapa dia kok tiba-tiba seperti marah? wajahnya dingin dan kaku lagi. Tidak seperti beberapa menit yang lalu?" hatiku bertanya-tanya terus sampe kami meninggalkan ruang rapat dan meninggalkannya sendiri di tempat duduknya dengan tatapan tajam seperti murka.
"Tut ..., Clarisa ke ruangan saya!" Setelah 20 menit berlalu dari ruang rapat, Ray bergelut dengan perasaannya sendiri. Entah, sebenarnya apa yang ia rasakan. Perasaan kesal, marah dan emosi melihat kedekatan Dattan dan Move.
"Bapak mmemanggi, Saya?" wanita cantik tubuh sexy itu sudah berada di ruangan Ray Dinata.
"Apa kamu tahu jadwal move hari ini?" tanyanya pada sekertarisnya itu.
"Move hari ini pergi ke lapangan, Pak! Ke Supermarket yang ada di daerah selatan. Apa perlu Saya panggil dia menghadap, Bapak?" jawab Clarisa menjelaskan.
"Saya ingin kamu pindahkan Move menjadi asisten pribadi Saya mulai hari ini!" Clarisa bengong sesaat. Buru-buru dia kembali ke alam sadar.
"Oh baik, Pak. Apa perlu Saya memberitahukan informasi ini kepada Move sekarang?"
"Tidak usah, biar Saya sendiri saja yang memberitahunya nanti." ucap Ray sambil menutup laptopnya.
"Baik, Pak." ucap Clarisa sambil menunduk kemudian meninggalkan ruangan direktur.
Sepeninggal sekertarisnya Ray segera menuju keluar gedung.Mencari sosok yang beberapa hari terakhir ini begitu dekat dengannya dan namanya mulai dibicarakan banyak orang.
Di luar gedung,
Aku menunggu apa yang akan keluar dari mulut wanita itu. Dengan gaya khasnya yang elegant. Feronika menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
"Sudah sebegitu dekatnya kamu dengan direktur pimpinan, sampai-sampai dalam rapatpun kamu dibela?" Aku membuang nafas kasar mendengar ucapan Feronika. Kuamati wajah wanita itu dengan saksama.
"Sebenarnya, apa yang mau kamu bicarakan Fero?" tanyaku dengan wajah serius. Mencari-cari sesungguhnya apa maksud Feronika.
"Move, mungkin kamu masih bingung kenapa tiba-tiba duniamu berubah seperti ini. Cuma aku mau ingatkan sama kamu! Lebih berhati-hatilah kamu menghadapi dunia kamu sekarang, karena yang keliatan baik di depan mata kamu, bisa saja menusuk kamu kapan pun dia mau! Orang yang di hadapan kamu keliatan begitu sangat peduli sama kamu mungkin saja dialah yang sebenar-benarnya mempermainkan hidup kamu! ucapannya kutelaah satu persatu tapi tak mampu menjawab kebingunganku. Perkataan Feronika seperti menyimpan misteri.
"Maksud kamu apa Feronika?" tanyaku menanggapi semua ucapannya tadi.
"Mulai sekarang kamu instropeksi diri saja. Apa selama ini kamu pernah membuat orang lain terluka dengan keberadaanmu?
Ucapannya semakin membuatku bingung dan tak mengerti. Belum sempat aku membuka mulut, wanita itu sudah beranjak pergi meninggalkanku.
"Cepat banget menghilangnya"gumamku pelan .
"Hei! sudah siapkah pergi ke lapangan?" suara itu membuyarkan ketertegunanku.
"Dattan!" seruku sambil melambaikan tangan ke arah pria itu." Baru mau jalan ni!" tambahku sambil mendekatinya.
"Aku antar, ya? kitakan searah. Kebetulan aku ada kerjaan di sana!" suaranya riang seperti anak kecil.
"Aku bisa pergi sendiri, nggak mau merepotkan!"ucapku seraya menggendong tas ransel besarku berisi laporan pembukuan.
"Akh! Kayak sama siapa sich? Ngga repot kok, senang malah." timpalnya sambil meraih ransel yang ada digendonganku. "Lagian ada yang mau aku bahas sama kamu!" Dia tersenyum sambil mengerling kearahku.
"Move!" suara itu membuyarkan keasyikan kami. Aku menoleh ke asal suara. Kulihat Ray ada di depan pintu gedung. Aku berdiri menatapnya.
"Ada perlu dengan Saya, Pak?"
"Kamu mulai hari tidak perlu bekerja ke lapangan lagi, nanti pihak HRD yang akan mem-back-up tugas kamu." ucapnya membuat aku terdiam. Mulutku terkatup.
"Kenapa tiba-tiba dia berubah, bukannya tadi semua baik-baik saja?" Aku masih tertegun tak mengerti dengan perubahan sikapnya.
"Lho! Ini maksudnya apa, Ray?" suara Dattan mengurai keterdiamanku.
"Mulai hari ini, Move jadi asisten pribadiku." jawab sosok tampan itu.
Deg! Asisten pribadi? Membayangkan saja tidak.
"Maksud, Bapak?" Kalimatku menggantung.
"Kurang jelas! Mulai hari ini kamu menjadi asisten pribadi Saya, jadi tidak bekerja di lapangan lagi sebagai superviser! ucapnya tegas penuh penekanan. Aku terhenyak mendengar suara itu.
"Kenapa tiba-tiba begini, Ray? Move jadi asisten pribadi kamu tanpa diskusi dulu! Dattan angkat bicara.
"Saya yang butuh asisten pribadi, apa itu perlu dirapatkan?" sergah Ray cepat. Ada nada kemarahan di ucapannya. Aku bergeming. Ada kebingungan dengan sikapnya. Sikap yang mudah temprament dan labil.
"Dattan! Back- up tugas Move! Kembali ucapnya seraya menarik tanganku. Aku terkejut, dengan setengah terseret aku mengikuti langkahnya.Dattan terdiam sambil menatap kepergianku.
Beberapa lama aku disibukkan dengan barang-barangku. 30 menit kemudian aku memasuki ruangan direktur. Hawa dingin menyambutku. Gesture tangan pria itu mengisyaratkan agar aku menempati meja yang ada di seberang meja kerjanya. Jaraknya tak lebih dari 500 meter.
Aku meletakkan barang-barangku di atas meja. Dan mulai menatanya. Sesekali ku lirik sosok tampan itu. Terlihat sibuk dengan kerjaannya. Bahkan tidak menoleh sekali pun. Ada yang menggajal di hatiku. Kemana hilangnya sosok yang begitu hangat dan penyayang tadi malam? Begitu cepat berubah?
"Bodoh! Dasar bodoh!" Aku memaki dalam hati. Merutuki diriku sendiri. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Bukankah baru kemarin aku dipermainkan laki-laki? Sosok Farhan tiba-tiba melintas di benakku. 6 tahunku yang sia-sia. Menunggu tanpa kepastian. Harusnya aku senang sudah terbebas dari laki-laki yang mempermainkan aku itu. Tapi kenapa aku kembali terjerembab ke lubang yang sama?
"Hei, kenapa malah bengong? Mau buang waktu sia-sia ya?" aku terkejut dengan suara itu.Lamunanku buyar seketika. Laki-laki itu sudah ada di hadapanku.
"Iya, Pak! Maaf," ucapku sambil menunduk. Ada ketakutan sendiri di dalam hatiku.
"Kamu rapiin file saja sementara. Jangan banyak melamun, nanti kerjaannya terbengkelai!" nada suaranya ketus dan acuh. Berbanding terbalik dengan sikapnya tadi malam dan tadi pagi.
"Baik, Pak!" jawabku patuh. Hatiku seperti teriris melihat kenyataan dia yang sekarang. Seolah-olah kejadian selama hanya pelampiasan sesaat.
"Oh iya! Tolong, jaga jarak kamu dengan manager HRD! Dattan sergio shesa!" tambahnya tajam sambil mendekatkan mukanya ke arahku.
Reflek aku menatap laki-laki itu. Ada protes yang ingin aku ungkapkan padanya. Kenapa tiba-tiba dia berubah seperti ini? Bahkan membatasi setiap pergerakanku.
"Ada apa dengan ekspresi muka kamu? Ada yang salah?" nafasnya terdengar kasar. Aku semakin dalam menatapnya. Entah keberanian dari mana.
"Kenapa Bapak tiba-tiba berubah seperti ini?" akhirnya keberanianku muncul.
"Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan, Move!"
Deg! aku merasa tertampar dengan ucapannya barusan. Benar! Aku ini apa! Siapa! Di sini tugasku hanya kerja. Tidak punya hak membicarakan hal pribadi. Apalagi bersama bos. Tapi apakah kejadian semalam itu benar-benar hanya pelampiasan sesaat? Hatiku terasa pedih sekali menyadari kebodohan yang sudah kulakukan. Dan sekarang menerima kenyataan menyakitkan seperti ini.
"Dan harusnya, kamu sudah tahukan, kalau Dattan sudah punya kekasih? Jangan sampai kedekatan kamu dengan Dattan merusak hubungan mereka! Dan kamu mendapat gelar pelakor!" suara itu tegas. Terasa pedas di telingaku. Ada air yang menggenang dipelupuk mataku. Rasanya sudah nggak kuat aku mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Ray padaku. Sebelum air mataku jatuh dan terlihat olehnya, aku sudah pamit pergi ke toilet.
Aku menangis sejadi-jadinya di toilet. Perasaanku campur aduk. Bukan hanya kejadian hari ini yang membuatku kalut. Tapi banyak yang sudah menimpaku akhir-akhir ini, yang membuatku tidak sanggup lagi menahan air mataku. Terutama kejadian semalam. Terlalu bodoh rupanya aku dibuatnya.
Aku juga sudah tahu kalau Dattan punya kekasih yang sedang dinas ke luar kota. Aku paham, aku tidak boleh terlalu dekat dengan Dattan. Tapi apa perlu, dia mengingatkan aku soal pelakor. Rasanya dia sudah menyinggung harga diriku. Dia sudah menyakitiku tanpa ia sadari.
15 menit aku menumpahkam semua perasaanku di toilet. Sekarang aku sudah kembali duduk di meja kerjaku. Satu ruang direktur. Mataku terlihat sembab karena banyak menangis.
Tanpa kusadari, laki-laki itumemperhatikanku. Mengawasi setiap gerak-gerikku. Dan bahkan laki-laki itu tahu kalau aku saat ini sangat terluka karena sikapnya.
BERSAMBUNG
Hai gaes
Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang sangat ku kenal itu. "Oh ternyata, ini jawaban dari semua. Meski belum semua terkuak." Aku menghela nafas kecewa. "Feronika!" Aku baru paham kalau ternyata dia mengenal dengan baik siapa Dattan sergio sesha. Bahkan begitu dekat dengan sosok yang baru semalam begitu dekat denganku. Aku tak menyangka kalau mereka bertiga saling mengenal. Ternyata kehadiran Feronika di perusahaan ini memang sudah diskenario. Motifnya apa? Kenapa harus aku yang mereka jadikan korban konspirasi mereka? Alangkah jahatnya! Benar-benar aku tidak menyangka Ray bisa melakukan ini sama aku. Hatiku bergemuruh menahan rasa marah dan kecewa tapi tatapanku masih lurus ke depan, dimana orang-orang itu masih terlibat pembicaraan serius. Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini. Bahkan Dattan, orang yang kukenal bertahun-tahun baik dan ramah juga perduli, kenapa setega itu dibelakang aku? Dengan berbagai pe
Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan. Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya. Masih sambil merangkul pundakku kami melewat
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Mungkin terlalu pagi. Aku sudah membereskan barang-barang di ruanganku. Saat ini aku sedang di ruang manager keuangan. "Move! sudah kamu pertimbangkan baik-baik keputusan kamu ini?" Aku menatap kosong ke depan mendengar pertanyaan itu. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan, Pak!" jawabku tegas. Meyakinkan hatiku. Berusaha menegaskan pada diriku sendiri bahwa keputusanku untuk risaign dari perusahaan itu benar. "Kamu yakin tidak mau mengetahui apa motif mereka melakukan ini sama kamu? lagi-lagi pak Fito menanyakan keyakinanku. "Saya sudah tidak mau terlibat jauh dengan mereka lagi, Pak. Saya nggak menyangka mereka bisa begitu rapi bikin skenario ini buat saya." keluhku lemah. Tampak dari raut mukaku ada kesedihan mendalam. Fito, sang manager keuangan menarik nafas seraya menggeleng- gelengkan kepala. "Saya nggak menyangka Dattan terlibat dalam masalah iin dan tega melukai kamu. Entah tujuannya apa? Pungkasnya la