Sepasang mata itu mengawasi pembicaraan kami. Antara aku dan manager HRD. Saking seriusnya, kami tidak menyadari dari tadi ada sepasang mata itu mungkin sudah mendengar semua yang sedang kami bicarakan. Dattan merangkulku dengan senyum lebar. Sitampan yang ramah. Selalu ceria. Bahkan aku tak begitu memperdulikan dia sudah punya kekasih. Kedekatan kami sudah terjalin 6 tahun yang lalu.jauh sebelum dia mempunyai pasangan.
Mungkin dia lah satu satunya manusia yang tidak sedikitpun menghiraukan status aku. Tak pernah sekalipun dia merasa malu kalau sedang berjalan denganku. Tak sedikit yang bilang kami serasi. Bahkan banyak karyawan yang selalu bilang aku terlalu beruntung dekat dengan dia. Sempat ada yang bilang kami pacaran diam-diam. Karena Dattan begitu perhatian sama aku. Entah apa yang membuat Dattan begitu nyaman berteman denganku. Sampai detik ini aku tak sekali pun ada niat menanyakannya.
Masih sambil merangkul pundakku kami melewati parkiran luar.
"Nanti aku tungguin pulang kerja, sudah rindu pengen makan mie bikinan kamu ...!" ucapnya sambil mencolek hidungku.
Ku acungkan tinju mentah ke arah mukanya. Laki-laki mempesona itu hanya tertawa terkekeh. Karena asyiknya kami bercanda, tidak menyadari lagi-lagi ada sepasang mata mengawasi seluruh gerak-gerik kami.
"Move ...!"
Panggilan itu membuat kami menghentikan langkah.
"Kamu tidak sibukkan? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" ucapnya sambil menarik pergelangan tanganku.
Aku mengikuti langkahnya. Kutinggalkan Dattan seorang diri.
"Kamu harus lihat rekaman cctv ini!" ucap Fito, manager keuangan. Aku memperhatikan cctv itu. Alangkah terkejutnya aku melihat rekaman cctv itu.
"Bukannya, rekaman ini kemarin sudah dihapus sama pelaku, Pak?"
"Aku juga tidak tahu move, kenapa tiba tiba rekaman cctv ini ada kembali? Sepertinya seseorang dengan sengaja mengkopi rekaman ini dan mengembalikan lagi. Entah ini permainan siapa? Yang pasti penyusup itu orang dalam sendiri. Kamu liat ini!" tunjuknya pada dua orang yang nampak pada rekaman cctv itu. Kedua orang itu tampak begitu familiar. Tapi siapa? Otakku bekerja keras mencoba mengingat ingat postur tubuh kedua orang itu.
"Kamu merasa ada yang aneh tidak dengan kejadian ini?" tanya laki-laki membuat aku tertegun. Iya! memang ada yang aneh dengan kejadian ini.
"Pak! Tolong, bantu Saya mengungkap kasus ini! Saya sekarang paham ternyata orang ini sudah lama menjadikan Saya targetnya. Entah motifnya apa!" ucapku tegas sambil menatapnya. Meyakinkan dia bahwa semua ini pasti ada sebabnya.
"Saya harap, masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu!" tambahku lagi. Fito mengangguk paham. Dia menepuk bahuku. Memberikan kode kalau semua pasti bisa diungkap.
Masih dengan begitu banyaknya pertanyaan yang menumpuk di otakku, aku kembali ke ruang direktur.
Tanpa sadar, sudah dari tadi ada sepasang mata yang mengawasiku.
"Apa kamu lupa! Siapa yang jadi bos di sini?"
Ucapan yang bernada peryanyaan itu membuatku terkejut. Ku arahkan pandanganku ke empunya suara. Terlihat sosok itu bergeming. Tanpa menoleh dan tanpa basa-basi. Aku menelan ludah pahit.
"Maaf, Pak! Saya tadi ada sedikit keperluan. Maka dari itu, Saya terlambat datang."
Pria tampan itu sekilah menoleh ke arahku. Hanya menebar senyum sinis lalu kembali pada kesibukkannya semula. Kembali aku menelan salivaku, melihat reaksi yang tak acuh itu.
Beberapa saat kemudian, aku melihatnya berdiri. Mengancingkan jasnya. Berjalan mendekat ke meja kerjaku. Dengan gugup aku berdiri. Menunggunya, menghampiriku. Hatiku berdesir, melihat sosok itu. Tampan dengan sejuta pesonanya. Tapi bersifat sangat labil. Kadang hari ini baik, besok berubah dingin, angkuh, kejam dan sadis.
"Keperluan apa, sampai membuat tidak mengirim pesan padaku kalau kamu terlambat datang?!" Pertanyaannya yang penuh penekanan itu seketika membuat lamunanku buyar.
"Ii-tu, Pak!" Entah apa yang membuatku tiba-tiba tergagap. Lidahku jadi kelu. Debar jantungku tidak terkendali.
"Apa keperluan itu, selalu bertemu dengan laki-laki yang tidak ada hubungan apapun dengan kamu?"
"Maksud Bapak apa?" Entah kekuatan dari mana, aku tiba-tiba menatapnya dengan sangat tajam. Harga diriku sebagai wanita terusik. Aku tersinggung dengan ucapannya barusan. Tanganku yang sedari tadi gemetar sedikit terkepal.
"Apa ucapan saya salah? Saya liat kamu tadi begitu mesra dengan manager HRD. Beberapa menit kemudian kamu bisa bergandengan tangan dengan manager keuangan. Apa kamu ini bisa dibilang perempuan setia, perempuan yang bisa berkomitmen, atau malah kamu ini perempuan yang hoby gonta ganti pasangan. Apakah kamu ini perempuan murahan?"
Plakk-kk ...!!
Tanganku secepat kilat melayang ke wajah laki laki itu. Dadaku turun-naik menahan amarah yang begitu besar. Mataku tajam mengarah padanya. Wajahku sudah tak bersahabat lagi. Ada kebencian mutlak tiba-tiba padanya.
"Kamu keterlaluan ...!" teriakku dengan mata nanar. Merah padam warna wajahku saat ini. Ada air mata yang meleleh di sudut mata kiriku.
Ku tatap tajam-tajam pria di depanku. Dengus kasar kemarahan menguar di wajahku. Dengan gerakan kasar, kuraih tas di meja kerjaku. Secepat mungkin aku ingin pergi dari hadapannya.
"Move! panggilan itu tidak kugubris. Kulesatkan tubuhku menghilang dari ruangan itu. Sekilas masih sempat kulihat dia mengejarku. Terlihat kulit pipinya merah merona bekas tanganku di sana.
Aku sudah tak mempedulikan apapun. Suara riuh karyawan yang lain tak membuatku bergeming. Terus saja aku berlari keluar gedung. Pergi sejauh mungkin kalau bisa.
Sehina itukah aku di matanya, apakah karena selama ini aku terlalu lemah, tak pernah bisa menolak keinginannya. Mungkinkah itu yang membuat dia memandang rendah harga diriku? Atau karena dia sudah tahu siapa aku yang sesungguhnya? Tentang statusku dan kondisi aku? Bertubi tubi pertanyaan itu menghantam kepalaku. Aku sudah tak bisa lagi berpikir, tujuan satu satunya saat ini pengen pulang ke kost buat menenangkan diri.
******
Di ruangannya, Ray masih tertegun sambil mengusap pipinya. Bekas tamparan Move di pipinya begitu panas. Ada penyesalan tersirat di pmatanya. Sangat disayangkan, hari ini dia tidak bisa mengontrol emosinya. Hatinya begitu panas melihat Move begitu mudahnya berinterksi dengan semua karyawan pria di perusahaannya. Semua pria menyukainya dan bisa mendekatinya dengan mudah. Ada ketidak relaan setiap wanita itu bisa bercengkrama dengan teman-teman prianya. Cemburukah, dia?
"Tokk ..."
"Masuk!"
"Ray, kubawakan obat pereda nyeri buat muka kamu. Pasti itu rasanya sakit sekali. Sampe membiru begitu!" ucap perempuan cantik itu lalu mendekati laki-laki itu. Dan menyentuh tangan pria tampan itu.
"Aku bisa melakukannya sendiri! sergah Ray menepis tangan Feronika.
"Ray," raut muka Feronika menghiba.
"Sudahlah, kamu bisa keluar sekarang! Saya tidak mau membahas apa apa saat ini." tegasnya sambil menjauhkan diri dari Feronika.
"Tolong, tutup kembali pintunya !" Feronika menghembuskan nafas dalam dalam seraya melangkahkan kakinya dengan berat. Merasa sakit dengan penolakan Ray.
Ray menghela nafas berat. Bayangan Move kembali ada di benaknya. Ruang direktur masih begitu dingin terasa.Tapi Ray belum beranjak dari kursi kebesarannya. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Karyawan yang lain sudah pulang semua. Sesekali dia melirik ponselnya. Tidak ada nofitifikasi apa pun.
Pikirannya tak karuan. Berulang kali dia membolak-balikkan ponselnya. Ingin sekali rasanya menelpon Move. Tapi diurungkan niatnya.
Saat ini Move sedang marah besar kalau ia paksakan berkomunikasi yang ada hanya memperkeruh keadaan. Biarlah untuk beberapa saat dia mengalah. Berdiam diri dan bersabar.
BERSAMBUNG
Baca y
Sudah hampir telat satu jam, tapi belum datang juga dia. Aku gelisah. Berkali-kali kutengok jam tanganku.kulihat berkali-kali ponsel yang ada ditanganku. Sudah puluhan kali aku telponin tapi nggak diangkat. Tiba tiba ada perasaan bersalah mengingat kejadian kemarin. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa aku keluar gedung menuju rumahnya. Setengah jam kemudian aku sudah di deoah rumahnya. Ku bunyikan bel. Aku menunggu dengan tidak sabar. Ada khawatir yang begitu sangat tidak biasa. Ketika pintu terbuka aku menatapnya. Ada pias dimukanya. Kulihat ada bekas membiru dipipi sebelah kirinya. "Oh Tuhan! aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Aku tak menyangka tamparanku kemarin berefek seperti ini. Sekali lagi kuperhatikan wajahnya.Tanpa sungkan kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Astaga! demamnya tinggi banget! "Bapak, demamnya tinggi banget! Kita kerumah sakit ya?" ucapku panik. Tapi pria tam
Lambaian tangan itu mengisyaratkan keberadaan dirinya sore itu di cafe dekat kantor kami bekerja. Setengah jam yang lalu,aku terima pesan dia. Kalau dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya. Sebenernya kalau boleh jujur aku malas bertemu dengannya. Karena dia mendesak, dengan alasan ada yang sangat penting mau bicarakan sama aku. Aku batalin janji bertemu dengan Dattan sepulang kerja sore ini. Aku menarik kursi duduk setelah sampai dimeja yang sudah ia pesan. Tanpa berbicara sekatapun, tiba-tiba dia menyodorkan kertas bertuliskan cek. "Kamu bisa mengisi degan nilai seberapun kamu mau! asal kamu meninggalkan berhenti bekerja!" Aku mengernyitkan kening kuat-kuat sambil menatapnya tajam. Bahkan sedikitpun aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Apa maksud kamu dengan semua ini Fero? kenapa tiba-tiba kamu menyuruhku untuk mengundurkan dari perusahaan?" "Bukannya sudah jelas, Move! Memang sudah seharusn
Sesekali aku menatap keluar kaca sambil terus mendengar ucapannya. Rasanya memang tidak bisa dipercaya kalau ternyata dalang dibalik semua kasus ini adalah orang yang sangat ku kenal. Tapi itu baru dugaan sementara. Belum ada bukti yang benar-benar real yang bisa memberatkan orang itu bersalah. Kalau pada kenyataanya memang dia, apa hubungannya denga aku. Kenapa aku yang dijadikan target kambing hitamnya? Seandainya bukti itu sudah konkret mungkin aku sendiri yang akan langsung berhadapan dengan dia. Semua harus jelas! tidak boleh dibiarkan dia berbuat semena-mena sama orang lain. Harus ada alasannya kenapa dia tega melakukan ini! "Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan dulu Move! kita harus mencari tahu identitas Feronika yang sebenar- benarnya! ucapnya tegas. Aku menatapnya dan mengangguk pelan. "Kita mulai penyelidikan dari mana, Pak?" "Kita cari identitas Feronika dulu Move. kita harus cari informasi yang
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia, marahkah? Entahlah, yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung. Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan. Habis! Tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama. "Marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku. "Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya. "Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! Gimana ak
Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin laptop. Aku terus menarik cursor laptop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar laptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat. Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord laptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar laptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenyataan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering dan tersambung, tapi panggilanku nggak diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil. "Kamu di mana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada
Mungkin terlalu pagi. Aku sudah membereskan barang-barang di ruanganku. Saat ini aku sedang di ruang manager keuangan. "Move! sudah kamu pertimbangkan baik-baik keputusan kamu ini?" Aku menatap kosong ke depan mendengar pertanyaan itu. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan, Pak!" jawabku tegas. Meyakinkan hatiku. Berusaha menegaskan pada diriku sendiri bahwa keputusanku untuk risaign dari perusahaan itu benar. "Kamu yakin tidak mau mengetahui apa motif mereka melakukan ini sama kamu? lagi-lagi pak Fito menanyakan keyakinanku. "Saya sudah tidak mau terlibat jauh dengan mereka lagi, Pak. Saya nggak menyangka mereka bisa begitu rapi bikin skenario ini buat saya." keluhku lemah. Tampak dari raut mukaku ada kesedihan mendalam. Fito, sang manager keuangan menarik nafas seraya menggeleng- gelengkan kepala. "Saya nggak menyangka Dattan terlibat dalam masalah iin dan tega melukai kamu. Entah tujuannya apa? Pungkasnya la
Setelah peristiwa terakhir itu. Aku memutuskan pergi menghilang. Menjauh dari segala permasalahan. Dari berhenti kerja sampai pindah kost, akhirnya aku juga mengganti nomor ponsel. Berharap tidak akan muncul lagi suatu hari peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin. Sekilas aku mendengar ada beberapa orang yang mencari kabar tentang kepergianku. Ray Dinata! Dia salah satu orang yang yang sibuk mencari tentang aku. Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja aku melihat sosok Dattan terlihat di cafe tempat baruku bekerja. Dia salah satu pelanggan setia di cafe tempat aku bekerja. Aku sengaja tidak menemuinya ketika siang itu dia datang ke cafe. Penamipilannya lebih santai dibandingkan ketika dia kerja. Karena memang hari itu hari libur. Di depannya duduk seorang wanita yang sudah sangat aku kenal. Feronika Alfarest! Tak kulihat sosok lain selain mereka berdua. Aku pikir akan ada sosok Ray Dinata. Namun dari kejauhan kuperhatikan mereka sibuk membahas sesuatu h
Panas matahari menembus jendela kamar kostku. Aku menggeliat menyadarkan diri kalau hari sudah berganti waktu. “Terjadi lagi semalam ..." gumamku dalam hati. “ Huft ...!”hembusan nafasku begitu dalam. "Kenapa begitu lemah? Kenapa harus selemah ini? Lagi-lagi hatiku berkata. Sesaat kupejamkan mata menenangkan perasaan yang tiba- tiba merasa tidak nyaman. Rasanya sudah menyerah duluan. Ada rasa enggan menyeruak masuk kedalam pikiranku. Beberapa hari ini dia sudah berusaha untuk tidak mengingat apapun tapi kenapa musti berjumpa lagi. "Takdirkah?" tanyaku sambil bergumam pada diriku sendiri masih dengan mata terpejam. Meng_awang-awang kejadian demi kejadian. “Yah, itu memang takdir. Kita ditakdirkan untuk selalu bertemu." suara yang teramat aku kenal. Dia sudah berbaring di sampingku sambil membelai rambutku. Kubuka mataku, begitu dekat jarak itu. "Tuhan ...! Bagaimana kalau nanti aku kehilangan lagi seperti yang sudah-sudah? Su