Share

Permainan Di mulai

“Hm, nggak ada yang salah, sih, tapi emang kamu hidup nggak mau punya ambisi?”

“Ambisi sama obsesi beda lho ya.” Alsava mengangguk. “Btw, kamu keren di usia muda udah jadi founder. Pasti capek, ya?” Alsava terkejut dengan pertanyaan itu, karena biasanya orang-orang yang bertanya justru akan bilang, “Duh beruntung deh jadi kamu!” atau “Gimana sih caranya se-sukses ini?”

Excuse me? Capek gimana maksudnya?”

“Yah iya, kamu udah berhasil di usia muda … pasti kehilangan banyak waktu, kan? Waktu main sama teman-teman, waktu istirahat, waktu buat leha-leha, waktu buat refreshing.” Alsava sama sekali tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari bibir Alan. Namun di sisi lain, kalimat Alan terdengar seakan bisa membaca isi pikirannya. Perhatian Alsava kembai berkelana. Alan punya tangan yang ganteng—oke bisa dibilang ini gila, tapi Alsava suka salah fokus. Dia suka melihat urat kebiruan yang muncul di tangan seorang cowok, Alsava menyebutnya dengan istilah tangan ganteng. Alan juga punya rahang tegas seta sepasang alis tebal di wajahnya. Pengalaman bekerja dalam HRD juga menjadi alasan mengapa penilaian Alsava cenderung soal fisik.

“Kamu berapa bersaudara?” Alsava mengalihkan perhatian.

“Anak tunggal, kamu?”

“Wow, kita sama. Nggak enak ya jadi anak tunggal? Nggak ada teman berbagi, nggak bisa curhat sama orangtua juga karena perbedaan usia dan canggung gitu deh.”

“Kalau dikasih kesempatan saya mau, sayangnya, orangtua saya meninggal waktu saya duduk di bangku SMP. Sampai sekarang saya tinggal sama Bibi, dan Bibi punya tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki yang semuanya udah menikah. Sisa saya doang.”

“I am sorry to hear that.”

Pertemuan pertama berjalan lancar, Rara senang bukan main sewaktu mendengarnya. Pertemuan pun berlanjut ke pertemuan kedua, kali ini Alan yang menentukan tempatnya. Kalau Alsava mengajaknya ke restoring mewah, Alan justru membawanya ke sebuah kedai kopi di pinggir jalan. Di tengah-tengah percakapan, tahu-tahu seorang pengamen datang menginterupsi mereka. Alsava berniat mengusir, tapi Alan justru menyerahkan dua batang rokok. “Lho kok malah dikasih rokok sih? Bukannya dikasih duit?”

“Kalau dikasih duit, ada kemungkinan mereka beli miras. Tapi kalau dikasih rokok kan udah jelas, buat ngerokok.”

“Oke, masuk akal.” Alsava mengangguk, sembari matanya tak lepas memandangi Alan.

Alsava rasa sudah cukup untuk b**a-basi dan memulai pendekatan, dari sikap dan gerak-gerik, sepertinya Alan sudah memenuhi persyaratan. Toh, ini semua juga hanya pura-pura. Alhasil Alsava memilih bicara to-the-point. “By the way, aku kira udah cukup deh pedekatenya. Gimana kalau kita langsung ke kesimpulan kita dua hari terakhir?” ucap Alsava yang selalu ceplas-ceplos.

“Hm?” Alan terlihat terkejut.

“Yah, Rara pasti udah bilang ke kamu kan, soal aku?”

“Soal kamu? Nggak Rara nggak bilang apa-apa.”

“Jadi gini,” Alsava pun bercerita panjang lebar, soal harta wasiat ayahnya yang baru akan cair ketika dia akan menikah dan dia butuh uang itu segera cair secepatnya. Dia juga menjelaskan alasannya tidak ingin menikah dan selamanya akan berpegang teguh pada prinsip itu. Awalnya Alan terlihat terkejut, tapi lama kelamaan cowok itu mengangguk paham. “Rara bilang katanya kamu juga nggak mau menikah, tapi kamu dipaksa harus menikah bahkan diancam mau dijodohkan. Jadi untuk menghindari aksi jodoh-jodohan yang kelewat jadul itu, sepertinya kita punya visi-misi yang sama.” Alsava mengucapkan itu diikuti seringai di bibir tipis berlapis lipstick merah merona yang terlihat begitu seksi di bibirnya.

“Setahun aja gimana? Perjanjian kita cuma setahun, setelah itu, boleh bercerai dan kita hidup masing-masing. Aku dapat apa yang aku mau, dan kamu terbebas dari ajakan akan dijodohin, kan?”

Alan terkekeh kecil. “Betul.”

“Good.”

Perhatian Alan tertuju pada Alsava, melihat cara gadis itu berbicara. Terlihat sekali keras kepala, dari caranya tidak ingin dipotong saat mengobrol. Alsava mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya; surat perjanjian.

“Kamu boleh baca perjanjian nikah kontrak kita. Kalau ada yang mau direvisi silahkan kita diskusikan sampai ketemu titik ujungnya.”

“Kamu selalu to-the-point gini, ya?”

“Lebih tepatnya, nggak suka mengulur waktu. Karena waktu adalah uang dan berharga buat aku. Jadi lebih cepat, lebih baik kan?”

Alan terkekeh kecil dan segera membuka surat perjanjian. Namanya ada sebagai pihak kedua, dan nama Alsava di pihak pertama. “Jadi nama kamu Alsava Grizelle?”

“Yep.”

Dia mencoret di bagian, “Jika Pihak Kedua setuju menikah kontrak, maka akan mendapatkan nomnal sebesar 100 juta”.

“Kok dicoret?”

“Kita win-win solution, kan? Aku diuntungkan karena nggak jadi dijodohkan, kamu diuntungka juga karena berhasil mencairkan dana dari surat wasiat. Aku piker nggak perlu membalas aku dengan nominal.” Dalam hati, Alsava bersorak, itu artinya dia tidak butuh mengeluarkan uang untuk membayar. Alan membubuhkan tandatangan di bagian yang dicoret.

“Boleh aku tahu, kenapa kamu setuju secepat ini?”

“Karena kita berdua sama-sama membutuhkan dan lagi dalam posisi kepepet, udah jadi reaksi alamiah manusia kan yang melakukan berbagai cara kalau di ujung tanduk?” Jawaban Alan cukup masuk akal,meskupin belum menjelaskan dengan logis alasannya menyetujui terlibat dalam pernikahan kontrak. Alsava hanya tahu bahwa Alan akan dijodhkan sementara cowok itu tidak ingin menikah sepanjang hidupnya, sebatas itu, Alsava berpikir bahwa dia sudah ikut campur ke ranah pribadi jika bertanya alasannya tidak ingin menikah. Jadi cukup lebih baik untuk tidak saling tahu-menahu.

Alan membaca poin lainnya. Tidak boleh saling menyentuh tubuh tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Tidak boleh melakukan tindakan asusila atau kekerasan. Tidak boleh membawa senjata tajam di dalam rumah. Tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi kedua belah pihak. “Pihak kedua akan tinggal di rumah pertama?”

“Iya, kamu tinggal dirumahku. Enang, aku punya kamar tamu yang bisa kamu tempati. Aku nggak mungkin kan pindah rumah? Karena posisi tempatku sudah sangat strategis dari tempat kerja,” dalih Alsava.

Lelaki itu menganggukkan kepalanya. “Oke, semua poin sudah ok.” Alan segera menandatangani perjanjian di atas materai, diikuti tandatangan Alsava.

Cowok itu mengambil secangkir kopi di depannya, menyesapnya perlahan.

“Jadi, kapan kita mulai menikah? Minggu depan?”

Mendengar celetukan Alsava, Alan langsung tersedak.

****

“OH EM JIIII HELLOW, UDAH GILA LO, YA?” itu reaksi pertama yang diberikan Rara ketika ditelepon untuk datang ke rumah Alsava dan Alsava menceritakan kalau dia akan segera menikah dengan Alan secepatnya minggu depan. “Udah kayak kawin sama kucing aja lho, kucing aja kalau mau kawin ada pendekatannya. Guling-guling dulu, gigitan, baru hap! Kawin! Lah elu? Baru ketemu dua kali udah ngajak kawin, emang dasar cewek sarap!”

“Ya elah, nagapin sih ngulur-ngulur waktu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status