“Ah masa nggak ada fotonya di sosmed?”
“Anaknya tuh old fashioned banger, anjir. Nggak up to date. Lo nanyain berita-berita yang lagi hits juga dia nggak tahu.”
“Boleh deh, bentar gue cek jadwal gue.”
“Tuan ratu dengan jadwalnya yang super sibuk,” sindir Sofie.
Alsava membuka kalender di ponselnya. Mengecek jadwal. “Hari Minggu gimana? Pukul 10-an gitu di kafe Vresteck.”
“Dih enak banget lo asal buat jadwal, dimana-mana nih kalau ajak ketemuan harus menyamakan jadwal kedua belah pihak.”
“Halah, gue tahu jadwal rakyat jelata kayak lo semua jam segini mah nggak ada kegiatan apa-apa.”
“Kampret!” Kalau bukan Alsava yang bilang, mungkin es jeruk di depan Sofie sudah melayang. Mereka kenal Alsava itu gimana, kalau dibilang sombong, mereka nggak bisa memungkiri itu. Bahkan bisa dibilang, sombong seolah sudah mendarah daging. Namanya juga kaum privilege, kadamg suka semena-mena.
“Okke, deal ya? Oh satu lagi—”
“Ya ya gue tahu, nggak boleh telat, kan? Kali ini Rara yang menyambut dan membuat Alsava terkekeh geli sambil mengacungkan jempolnya.
****
Bukan Alsava namanya kalau dia tidak mencari tahu dengan siapa dia berurusan. Kalau sudah menyangkut mencari latar belakang seseorang, Alsava tidak bisa dikalahkan. Dia bisa menjelma menjadi Sherlock Holmes dadakan. Alhasil setelah bertanya ke Rara tetang nama lengkap Alan, dia segera mencari di mesin pencarian internet.
Alan Faresta Ganendra
Muncul profil Linked-In.
Alsava menge-klik profil LinkedIn-nya. Hanya terlihat foto seorang cowok duduk dengan posisi menyamping sambil menyesap segelas kopi. Satu kata yang melintas di benak Alsava, misterius. Lalu dia melihat pekerjaannya: Audit Manager. April 2015 - saat ini. Lulusan S1 Universitas Indonesia.
Gadis itu bersiul dalam hati. Dia lantas beralih mencari Instagramnya, ketemu. Tidak ada akun-akun tidak jelas yang dia follow, misalnya akun seperti lambe_turah atau awreceh, bagi Alsava, kepribadian seseorang bisa dilihat dari daftar following-nya. Kebanyakan yang dia follow adalah akun tentang sepak bola, band-band klasik seperti Queen, The Beatles, Oasis. Oke, selera musiknya juga menarik. Untungnya lagi tidak ada akun cewek-cewek bertubuh seksi di daftar following-nya, kalau memang ada, Alsava sudah bersiap-siap mencoret nama Alan untuk menjadi pilihannya.
Ponsel Alsava kembali berdering, chat dari Rara.
Rara:
Oi, Alan minta W* lo. Gue kasih ya?
Biar besok ketemunya nggak bingung.
Alsava:
Ok.
Sebetulnya perasaan Alsava deg-degan juga menyambut pertemuannya dengan Alan. Masalahnya ini kali pertamanya berurusan dengan hal seperti ini. Kalau bukan karena masalah harta wasiat, ogah rasanya Alsava berhadapan dengan kaum laki-laki.
****
Hari H akhirnya tiba. Alsava akhirnya terbangun setelah semalaman tertidur nyenyak, sengaja dia tidak begadang atau bekerja lembur, dia ingin memberikan penampilan terbaiknya. Prinsip Alsava sejak dulu adalah selalu terlihat menarik dihadapan seseorang yang pertama kali ingin bertemu denganmu. Memberi kesan terbaik di pandangan pertama adalah hal mutlak. Gadis itu mengambil kaus berlengan pendek yang dipadu jas berwarna krim dengan model setengah engan. Dia juga mengenakan celana jins dan higheels senada warna jas.
Tak lupa menyapukan foundation, blush-on, eye liner, dan ombre merah dan nude.
“Pagi, Kak.” Bi Uti yang sedang menyapu pun menyapanya yang baru keluar kamar.
“Pagi juga, Bi.” Kalau ada gelar orang paling setia, Alsava tak segan menyematkannya ke Bi Uti. Beliau sudah ada mengurus Alsava sejak dirinya masih bayi merah berusia tiga bulan, bahkan hingga Alsava memiliki rumah, Bi Uti setia pindah untuk mengurusi segala keperluannya.
“Nggak sarapan dulu, Kak?”
“Nggak usah, Bi. Buru-buru.”
“Hati-hati, Kak.” Alsava meraih kunci mobilnya, memanaskan mesin beberapa menit dan melaju pergi. Hari minggu pagi, jalanan lenggang karena orang-orang sedang beristirahat dari rutinitas mingguan yang menyita pikiran dan barangkali sedang menghabiskan waktu untuk bersantai bersama keluarga.
Ponselnya bordering, ada chat masuk dari nomor tidak dikenal.
081272723xxx:
Pagi, saya Alan, kebetulan dapat nomor kamu dari Rara. Btw saya sudah di tempat ya, di meja nomor 17.
Alsava mengangguk, satu poin plus; cowok itu tahu caranya menghargai waktu. Karena sejujurnya, salah satu kelemahan tinggal di kota metropolitan adalah orang-orang semena-mena dengan waktu. Mereka datang terlambat semaunya dan berlindung di balik alasan, “sori, tadi jalanannya macet.”
Alsava:
Ok, 30 menit sy sampai.
Alsava memacu gas kendaraannya. Sesuai dugaan, 30 menit berlalu, kendaraannya sampai tepat waktu di pelataran kafe Vresteck. Alsava turun dari mobil dan berjalan dengan dagu terangkat. Satpam yang berdiri di depan, sejenak seakan terkesima dengan penampilannya. Alsava mengibaskan rambut, justru makin menjadi-jadi menunjukkan pesonanya. Dia mengitari pandangan, menatap sepenjuru restoran dan berhenti di meja nomor 17. Seorang pria bertubuh tegap duduk menunggunya.
Gadis itu segera melangkah mendekat, suara ketukan higheels-nya menggema, menciptakan suara dramatis di kafe yang masih sepi pengunjung. “Permisi, dengan Mas Alan?”
Seseorang itu berbalik hingga Alsava bisa dengan leluasa melihat wajahnya. Kata Rara, Alan orang yang old fashioned, tapi yang terlihat justru seorang cowok berpakaian kasual tapi tetap terlihat trendi. Mengenakan kaus berwarna hitam, celana jins, dan sneakers putih. Dia berdiri begitu melihat Alsava, menyambut kemunculannya. Kulitnya putih bersih, rambutnya disisir klimis dan tertata rapi. Satu poin penting lagi. Karena Alsava tidak suka dengan orang yang terlihat lusuh.
“Ya saya sendiri, kamu … Mbak Alsava?” Suaranya terdengar agak berat dan dalam. Jenis suara yang bisa membuat seseorang betah berlama-lama untuk mengobrol dengannya bahkan berjam-jam.
“Yes, Alsava aja please, nggak usah pake Mbak.”
“Oke, Alsava, mari duduk.” Alan menarik kursi di seberangnya. Satu poin plus karena dia menunjukkan gestur sopan.
“Jadi bagaimana perjalanan dari rumah ke sini?” Cowok itu ikut duduk sambil tersenyum sampai matanya sedikit menyipit dan menunjukkan dagunya yang terbelah. Dan satu poin plus tambahan karena rupanya dia memiliki senyum yang rupawan.
Kali ini pilihan Rara memang tidak perlu diragukan lagi.
Proses penilaian dimulai. Pengalaman empat tahun bekerja di HRD atau Human Resources Development membuat Alsava mampu menyaring orang-orang pilihan untuk bekerja di sebuah perusahaan. Alhasil dia tidak kesulitan untuk menilai karakter dari seseorang, termask laki-laki yang kali ini duduk di seberangnya. Alsava suka meliat Alan mengucapkan terima kasih pada pramusaji yang selesai mengantarkan menu makanan, atau Alan yang reflex mengambil tisu ketika ada percikan koi di sebelah piringnya.
“Jadi, kamu kerja jadi Internal Audit Manager? Cita-cita dari kecil?”
“Bukan.”
“Emang dulu cita-citanya mau jadi apa?”
Alan sempat terdiam, sebelum akhirnya menjawab. “Nggak punya cita-cita, let it flow aja, pekerjaan apa pun yang saya dapet bakal saya ambil kok.”
“Termasuk jadi tukang sapu?”
“Apa yang salah sama tukang sapu? Kalau nggak ada tukang sapu, jalanan pada kotor, karena orang-orang pada gengsi mau bersihin sampah di jalanan padahal bekas mereka juga.”
Alsava:Aku udah sewa WO buat pernikahan kita. Hari ini undungan udh jadi, Senin dpn kita udh bisa nikah. Acara bakal diadakan di rumahku. What do u think?Alan baru saja terbangun dari tidurnya setelah dia mengantarkan Alsava pulang larut malam karena jalanan baru saja lengang di pukul sepuluh malam—dan jarak antara rumahnya dan rumah Alsava pun terbilang lumayan. Alhasil Alan baru sampai ke rumah di pukul setengah dua belas malam, untungnya Bi Nur sudah tidur, jadi tidak perlu menjawab berbagai rentetan pertanyaan yang pasti akan ditunjukkan untuknya. Dan kali ini, kantuk Alan langsung hilang sewaku membaca chat dari Alsava.Ponselnya bergetar lagi.Alsava:Kau butuh brp undangan? Mau ngundang temen2mu? Keluarga km?”Kali ini bukan kantuk yang menyerang Alan, melainkan sakit kepala. Padahal mereka punya waktu untuk mengobrol di jalan semalaman, tetapi tidak ada satu pun pertanyaan dari Alsava muncul seputar pernikahan mereka. Tidak menyebut undangan atau apa pun, tahu-tahu sudah boo
“Alsava? Dari mana aja, Nak? Mami kangen banget sama kamu!” Perhatian Alsava tertuju ke seorang waita paruh baya yang rambutnya sudah sedikit beruban, “nggak keliatan selama ini.” Dia berniat memeluk Alsava, tapi Alsava mengelak, menunjukkan gesture bahwa dia tidak suka disentuh.Wanita itu adalah Nadia, ibu tirinya. Seorang wanita yang dianggap sebagai ibu peri dalam keluarga Grizelle karena mampu memberikan keturunan laki-laki dalam silsilah darah keturunan ayahnya, tapi bagi Alsava, dia tak ubah seorang nenek sihir yang merenggut kehidupan bahagia ibunya.“Alsava? Dari mana aja, sih? Udah lupa ya sama keluarganya?” Celetukan itu berasal dari Tante Yosi, istri dari pamannya. “Waktu lagi di atas aja nggak kelihatan batang hidungnya, eh waktu lagi di bawah, langsung muncul.”“Oh tenang aja, Tante, aku ke sini bukan karena aku lagi di bawah kok. Aku datang masih pakai stiletto yang harganya 80 juta, tas Hermes satu milyar dan juga bawa kabar baik,” Alsava berhenti bicara, memberi efek
Akhirnya Alsava bisa bernapas lega setelah berpamitan dengan keluarga besar Alan. Sejauh ini, respons mereka bisa dibilang tidak ada yang curiga, sepertinya percaya dengan hubungan antara Alsava dan Alan. Bahkan kakak sepupu Alan sudah memberi kode, bertanya seputar tanggal pernikahan. Alsava kini sudah kembali duduk di boncengan Alan, kembali berpegangan erat karena takut jatuh. Dia memandangi wajah cowok itu dari spion. Alsava tersenyum sumringah, mengeluarkan ponsel, lalu memotret Alan dari spion kecil sembari meletakkan dagunya di pundak Alan.Perfecto.Siapa pun yang melihat foto itu pasti akan berpikir mereka adalah pasangan bahagia yang sedang kasmaran.Soal berpura-pura dan melakukan penyamaran, Alsava memang ratunya. Tepat pukul delapan malam, Alsava sudah sampai di rumah. “Thanks buat malam ini, Va, tinggal satu lagi agenda kita, kan? Ketemu sama keluarga kamu.”
“Hallooooo, selamat datang.” Alsava melihat seorang wanita berparas ramah dengan hidung mancung dan berjilbab menyambutnya, diikuti seorang wanita lainnya. “Ini Alsava, ya?’ Alan tentunya sudah bercerita sedikit mengenai Alsava ke bibinya, dan bibinya meneruskan ke anggota keluarga lain. Alan memiliki pasangan adalah informasi menarik yang harus segera disebarluaskan. “Va, kenalin ini kakak iparku, yang ini Kak Silva,” Alan memperkenalkan wanita berjilbab yang menyambut kali pertama, “istri dari abang sepupuku yang pertama, Kak Yesa. Disebelahnya, Kak Eca, sepupu perempuanku. “Alsava.” Alsava menjawa singkat, berusaha menarik ujung bibirnya yang terasa kaku. Melihat ekspresi Alsava yang kurang nyaman, Alan meletakkan tangannya di punggung Alsava. Tindakan itu sempat membuat Alsava meliriknya, sedikit terkejut. Lalu Alsava mendengar Alan berbisik lirih, “Relax, Va.” Seorang wanita tua muncul, Alsava bisa me
“Dih emang kenapa kalau outfit-nya gini?”“Yang ada lo didepak duluan sebelum masuk rumah. Dimana-mana kalau pertemuan keluarga, pakaiannya tuh formal dong!”“Oh, oke.” Alsava mengangguk setuju, tapi formal bagi Alsava rupanya kemeja berwarna putih dipadu jas hitam dan celana dasar yang kontan membuat Rara menepuk kening. “Apa lagi sih? Tadi lo bilang pakaian formal? Lah ini gue turutin.”“Ya nggak gitu juga, Beb. Pakaian lo tuh lebih cocok buat ngelamar kerja daripada ketemuan keluarga. Sini deh gue cariin. Minggir lo!” Rara menyentak tubuh Alsava agar memberikan ruang baginya untuk menjelajah isi lemari Alsava—atau lebih tepatnya dibilang fitted closet karena Alsava memiliki satu ruang khusus yang ukurannya sebesar kamar pribadi hanya untuk menampung pakaian, tas, sepatu, dan berbagai koleksi perhiasan.“Lo itu mau ket
“Ya nggak gitu juga Va, meskipun Cuma kontrak tapi kan, ya, dia punya keluarga.” “Lusa dia bakal ngajak gue ketemu keluarganya, habis itu gue bawa dia ketemu keluarga gue. Selesai. Apa yang harus dipermasalahkan, deh?” Belum selesai percakapan kedua orang itu, Sofie muncul di pintu sambil menenteng higheels. Matanya menatap nyalang pada Alsava. “dasar wanita jahanam lo ya, bikin gue kaget! Gue nyaris nabrak mobil orang tahu nggak? Gara-gara VN yang lo kirimin di grup dan bilang lo mau kawin. Udah gila lo? Alsava, lo tuh ngajak kawin anak orang loh!” “Apasih reaksi lo berdua lebay banget dih.” Alsava memutar bola matanya dan membuat kedua temannya menahan diri untuk tidak menghantam kepalanya dengan vas bunga mewah di meja. “Lagian ngapain sih perihal kawin tuh diperlambat?” “Tauk deh, capek ngomong sama lo.” Alsava tersenyum sambil melihat tandatangan Ala