Dalam pandangannya yang berkabut, samar-samar Xavie dapat melihat keadaan lingkungannya yang kacau. Rumah, toko, gedung, bahkan bangunan pencakar langit, semuanya roboh dan tenggelam ke dalam tanah. Akibatnya, kematian terjadi di seluruh penjuru kota.
Di sekitarnya, Xavie melihat banyak mayat manusia yang mati dengan sangat mengenaskan. Rata-rata tertimbun bangunan yang hancur, tetapi dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada beberapa yang anggota tubuhnya tercerai berai, ada yang kepalanya pecah, ada yang isi perutnya tumpah, dan banyak lagi yang mati dengan mengerikan seperti itu. Hanya sedikit orang yang mati dalam kondisi utuh. Beberapa masih hidup namun dalam kondisi kritis, artinya sebentar lagi mereka juga akan mati.
Seorang anak perempuan berumur delapan tahun, satu-satunya manusia yang Xavie lihat masih hidup dan sadar sekarang sedang menangis. Sekujur tubuhnya di peduhi memar dan luka-luka berdarah, terlebih kedua kakinya yang hancur. Sambil menyerer kakinya yang tidak berguna, tangan anak itu berusaha sekuat tenaga merangkak ke depan lalu berhenti tepat di depan reruntuhan bangunan.
Di hadapan anak itu terdapat mayat wanita dewasa. Hampir seluruh tubuhnya telah tertimpa bangunan yang hancur, hanya menyisakan tangan yang di genggam erat anak itu. Sembari menangis terisak-isak, anak itu berteriak meminta bantuan namun tak ada yang menjawab.
Ketika anak itu melihat Xavie yang berdiri diam memandanginya, anak itu langsung berteriak memanggilnya. Xavie menunduk dan menghiraukan panggilan anak itu. Tangannya mencari sebuah batu kemudian dengan menggunakan sedikit sihir, ia melempar batu itu ke anak itu.
Batu itu melesat dengan cepat lalu tepat mengenai kepala anak itu. Batu itu bagai sebuah peluru yang berhasil mengenai sasarannya. Mata anak itu terbuka, darah keluar dari kepalanya yang berlubang. Beberapa detik kemudian, tubuh anak perempuan yang duduk itu kehilangan keseimbangan lalu ambruk.
Setelah melakukan pembunuhan itu, raut wajah Xavie tak sedikit pun berubah. Perlahan kepalanya menoleh ke langit yang dipenuhi bulu-bulu berwarna perak yang tajam dan mengkilap. Di balik bulu-bulu itu, terdapat seorang laki-laki yang tampak seusia dengannya.
Laki-laki itu terbang di atas langit dengan sayap mengerikan seperti kelelawar. Rambutnya yang berwarna hitam ia gerai sampai bahunya, matanya sepenuhnya berwarna hitam. Kini ia sedang tersenyum dengan giginya yang runcing.
Setelah melihat sosok itu, dalam sekejap Xavie langsung membuka mata. Ia memandang langit-langit bercat putih sambil terengah-engah, butiran keringat dingin muncul di dahinya.
***
Jarum jam dinding berdenting, cukup keras sampai terasa menyeramkan. Di apartemen yang lenggang ini, Xavie keluar dari kamarnya lalu pergi menuju ruang tengah. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seorang pun di apartemen ini.
Xavie menghela napas, ia tahu hanya dirinya makhluk yang ada di kediaman ini sekarang. Anna Gracias, pemilik apartemen ini yang sekarang adalah istri sahnya, telah pergi bekerja. Sebenarnya, Xavie masih sedikit tidak percaya bahwa dirinya sudah menikah. Dalam pikirannya, tidak pernah sekali pun ia bermimpi akan menikah. Ditambah menikah dengan seorang Anna Gracias, gadis itu sebenarnya memiliki sifat yang sangat menyebalkan.
Memikirkan kembali peraturan-peraturan yang ditulis Anna kepada dirinya, membuat Xavie merasa menyedihkan. Meski Xavie tahu ini adalah pernikahan kontrak yang di dasarkan atas keuntungan bersama, Xavie tidak bisa untuk tidak menghela napas sekali lagi.
"Bocah, senanglah! Bahkan dalam mimpi terliarku, aku tidak pernah menyangka akan melihatmu menikah." Suara Anaemia tiba-tiba terdengar di dalam kepala Xavie.
Mendengar itu membuat Xavie memutar bola matanya. "Anae, kemana saja kamu kemarin? Jarang-jarang kamu tidak berbicara didalam kepalaku. Apa kamu berhibernasi sehari?"
"Tidak ada masalah sama sekali dengan diriku, aku hanya tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga bersama istrimu," Jawab Anaemia sedikit bergurau.
"Ini hanya pernikahan kontrak, jangan bersikap berlebihan!" tutur Xavie, dingin.
"Aku tahu," ucap Anaemia, berbeda dari biasanya. Saat ini suaranya terdengar berwibawa.
"Tapi, apakah kamu tidak berpikir bahwa pertemuanmu dengan perempuan itu bukanlah sebuah kebetulan? Sejak datang ke pulau ini, aku selalu memiliki firasat yang sangat buruk dan bertemu dengan perempuan itu semakin memperburuk firasatku. Malam itu, tepat setelah kamu sekarat, perempuan itu muncul dan tiba-tiba terbangkitkan. Jelas sekali perempuan itu ada hubungan yang tak terlihat denganmu. Kamu dan perempuan itu memiliki kemiripan dan itu yang membuatmu dengan dia terhubung dalam hubungan ini." Anaemia menghentikan kata-katanya sejenak.
"Di bangunan tua itu, apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu rasakan? Sehingga membuat air mata mengalir keluar dari matamu yang kosong itu?" lanjut Anaemia.
"Anaemia, berhentilah bersikap bijak! Aku tak ingin mendengarnya darimu!" jawab Xavie langsung, tanpa pikir panjang.
Anaemia diam.
"Semua hanyalah kebetulan sedangkan di bangunan tua itu aku hanya ber-akting. Ada sesuatu yang ingin kupastikan dari wanita itu," sanggah Xavie, hawa di sekitarnya menjadi dingin.
"Benarkah? Kalau begitu aku akan berdoa untukmu, semoga di kehidupan selanjutnya kamu terlahir sebagai manusia supaya bakat akting-mu tidak terbuang sia-sia," bantah Anaemia setelah diam beberapa saat.
"Diamlah dasar roh busuk!" seru Xavie, merasa tersinggung dengan perkataan Anaemia. Entah kenapa, setiap kali ia berbicara dengan Anaemia, Xavie selalu berakhir dalam keadaan kesal. Di sisi lain, Anaemia terdiam setelah Xavie selesai berbicara.
Xavie kembali menghela napas lalu bersiap mandi dan sarapan. Suasana kembali menjadi tenang setelah Anaemia tidak berbicara. Usai mandi dan sarapan, Xavie mengambil peralatan kebersihan. Ia berniat membersihkan apartemen istrinya. Meski menyedihkan, harga dirinya membuat Xavie tidak ingin hidup sebagai beban istrinya.
Jika saja Xavie di masa lalu mengetahui bahwa dirinya di masa depan akan menjadi pengurus rumah, dirinya yang di masa lalu pasti akan menertawakan dirinya yang sekarang. Ketika Xavie memikirkan hal itu, suara tertawa pelan seolah mengejek dirinya terdengar di dalam kepalanya.
***
"Yuli, siapkan berkas dan dokumen-dokumen untuk rapat lima belas menit lagi!" Anna memberikan perintah kepada Yuli, sektretaris pribadinya.
"Siap, Laksanakan!" gurau Yuli, seorang wanita berumur dua puluh tiga tahun yang memiliki wajah manis dan berpenampilan rapi. Ia sudah bekerja sebagai sekretaris Anna selama lebih dari setahun, jadi meski tidak bisa di bilang teman tapi hubungannya dengan atasannya, Anna dapat dikatakan cukup dekat.
Ujung bibir Anna sedikit naik usai mendengar itu sedangkan Yuli tersenyum cukup lebar setelah melihat Anna tersenyum. Sejak tadi pagi hingga sekarang, Yuli tahu Anna sedang dilanda perasaan yang sangat buruk.
Seorang kenalan Anna, Ethan Frank telah meninggal karena dibunuh. Hal itu menyebabkan kerja sama perusahaannya dengan Orion Gold menjadi terganggu. Sebagai perusahaan perhiasan, kerja sama dengan Orion Gold sangat diperlukan untuk kemajuan perusahaan.
Yuli segera pergi dari ruangan Anna sembari memikirkan alasan dibalik buruknya mood atasannya saat ini. Yuli berpikir mungkin saja itu di sebabkan oleh pernikahan Anna yang tiba-tiba atau mungkin itu karena Anna harus tetap bekerja walaupun kemarin baru menikah. Yang pasti, Yuli sangat penasaran dengan identitas suami Anna.
Telepon di atas meja Anna berdering, Anna lekas mengangkat panggilannya. Tidak sampai semenit panggilan itu selesai, senyum tipis yang ada di wajahnya menghilang.
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam
Anna kembali ke panggung mimpi buruknya, cahaya lingkaran dari lampu sorot menyinari sosoknya yang menyedihkan. Perasaan takut yang familiar menyelimuti dirinya, menyiksa jiwanya yang duduk terpatung tanpa bisa menggerakkan satu pun jarinya. Seolah-olah, kegelapan yang mengitarinya merasa sangat terhibur dengan ketidakberdayaan dan kesengsaraannya. Ketakutan itu membuat Anna menangis tersedu-sedu hingga ingin menjerit namun tak peduli sebanyak apa Anna berusaha, suaranya tak pernah berhasil keluar lewat mulutnya. Ketika Anna meringkuk, menyembunyikan wajah dan pandangannya dari para penonton yang mengitarinya, perasaan hangat mendadak merasuk masuk ke sela-sela kulitnya sampai ke dalam jiwanya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar sebab rasa dingin dengan segera merayap masuk ke dalam jiwanya, menggantikan perasaan yang hangat. Seorang wanita muncul dari kegelapan lalu menggantungkan dirinya sendiri. Sesaat setelah wanita itu tidak bergerak, mul
Waktu Anna bertanya mengenai apa yang terjadi setelah dirinya pingsan, Yuli memberitahukan informasi yang sangat mengejutkan. Anna sedikit tidak percaya ketika Yuli mengatakan bahwa Xavie datang menjemputnya tepat sesudah dirinya pingsan."Benarkah?" tanya Anna kepada Yuli lumayan keras."Tentu," jawab Yuli sedikit heran dari seberang telepon. "Aku juga sangat terkejut ketika melihat Suami Nona yang sudah menunggu dibalik pintu ruang rapat. Orang seganteng itu belum pernah sekali pun kulihat didepan mataku. Di tambah lagi Suami Nona sangat bersahabat dan perhatian, aku jadi bahagia memikirkan pernikahan Nona."Penjelasan Yuli berhasil membuat Anna tertekan. Bahagia? Sejak bertemu pria itu dihari ulang tahunnya, berbagai masalah berduyun-duyun datang menghampirinya. Penjelasan Yuli juga berhasil membuat pikiran Anna bertanya-tanya tentang bagaimana Xavie bisa masuk ke dalam perusahaannya. Setelah merenung dan tidak berhasil menemukan jawaban, Anna menghembu
Siluet Anna dengan cepat menghilang sebelum Xavie menunjukkan semua kekhawatirannya. Dirinya kembali memandang keluar jendela dengan mimik wajah yang berangsur-angsur pulih ke kondisi semula. Kemunculan Anna yang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Xavie mengambil pusing, layaknya sebuah angin lalu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya. "Semalam aku mendapatkan mimpi mengenai kehancuran kota ini di masa depan!" Tiba-tiba Xavie angkat bicara di dalam kepalanya. "Mimpi?" tanya Anaemia tidak percaya. "Hmm." "Apa kamu memiliki kemampuan melihat masa depan?" "Tidak!" "Kalau begitu, kenapa kamu terdengar seakan mimpimu akan menjadi kenyataan?" Anaemia tidak habis pikir. "Karena setahun yang lalu aku pernah mendapatkan mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apa kamu dapat menebaknya?" tantang Xavie dengan nada sedikit kesal. "Saat kita melakukan kontrak," jawab Anaemia percaya diri.