Pintu terbuka, seorang berjas rapi memasuki ruangan. Orang itu adalah Andre Blanchet. Kurang dari lima belas menit lagi rapat akan segera di laksanakan, tetapi pria merepotkan yang sangat tak ingin Anna temui kini masuk ke ruangannya.
Seperti biasa, Andre terlihat tampan dengan gaya fashion formal yang terlihat elegan. berbeda dengan Anna yang memakai kemeja putih polos, Wajahnya yang selalu tanpa emosi menggunakan make up tipis sedangkan rambutnya diikat cepol, sangat fresh dan sederhana.
"Maaf atas kedatanganku yang tiba-tiba, apakah aku mengganggumu?" Andre berjalan mendekati Anna lalu duduk di kursi depan mejanya, berhadapan dengan Anna.
"Tentu tidak Tuan Andre," jawab Anna sambil tersenyum, seperti saat bertemu klien-klien penting. Mendengar itu, ujung bibir Andre terangkat.
"Apakah Tuan memiliki kepentingan dengan saya," tanya Anna sebagai formalitas. Anna tahu, tentu saja ada! baru dua hari yang lalu Andre melamarnya untuk menikah namun baru satu terlewati, Anna sudah menikahi pria yang tak jelas asal usulnya.
"Hanya kepentingan pribadi." Andre melirik kertas-kertas di hadapannya lalu kembali menatap Anna. "Selamat atas pernikahannya! Aku tak menyangka kamu akan menikah setelah satu hari menolak lamaranku. Aku benar-benar sakit hati."
Walau Andre berkata demikian, wajahnya tetap tersenyum cerah seakan bahagia. Melihat ekspresi Andre, Anna tak pernah tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu. Kata-kata yang diucapkan Andre barusan, Anna juga bingung harus berkata apa.
"Terima kasih," ucap Anna perlahan. "Dan maaf Tuan Andre, karena telah membohongimu. Aku seharusnya memberitahumu sejak dulu bahwa aku sudah memiliki pacar tapi aku mengkhawatirkannya."
Hanya itu jawaban yang terbaik yang bisa Anna ucapkan saat ini. Sekarang, jantungnya berdetak kencang menunggu jawaban Andre. Rasa khawatir dengan cepat merayap masuk ke dalam tubuhnya semenjak berhadapan dengan pria itu. Namun, Anna bisa menjaga sikap dan raut wajahnya agar tetap kelihatan tenang.
"Kalau begitu seharusnya aku yang meminta maaf. Sikapku selama ini pasti mengganggumu." jawaban Anna membuat Andre terpaksa meminta maaf. jika saja Anna memberitahukan persoalan pacar misteriusnya pasti banyak pria kaya yang akan mengganggu pacarnya itu. Andre tahu Anna berbohong dan pasti pria itu hanyalah pion dari wanita ini. Meski tahu begitu, Andre kelihatannya tidak marah.
"Tapi tetap saja aku sangat terkejut, aku masih sedikit tidak percaya bahwa kamu sudah menikah di tambah lagi belum lama ini ayahmu membuat masalah. Keputusanmu untuk menikahi pacarmu di saat seperti ini memang sangat tepat, ya. Dengan begitu, masalah itu langsung selesai begitu saja," lanjut Andre sambil tersenyum lembut. Andai saja kaum hawa diluar sana melihat senyum itu, mereka pasti akan langsung terpesona.
Berbeda bagi Anna, senyum itu saat ini lebih terlihat seperti senyum iblis. Dengan membahas masalah yang di timbulkan ayahnya dua hari lalu di tambah lagi dengan pernikahan Anna di hari berikutnya, Andre jelas mencari kesalahan-kesalahannya. Anna mengetahui pasti pria itu, Andre Blanchet akan marah setelah harga dirinya diinjak-injak.
Itulah resiko dari menikahi Xavie. Sebelum Anna mengetahuinya, tahu-tahu Anna sudah menikahinya. Beberapa jam belakangan ini, Anna sering sekali memikirkan alasannya menikahi pria berensek itu. Keuntungan yang Anna dapatkan dari menikahi Xavie tidak akan sebanding dengan kerugiannya, salah satunya adalah menyinggung Blanchet Company.
Sekarang Anna cuma bisa memikirkan cara agar tidak terlalu menyinggung seorang Andre Blanchet. Tapi, jawaban apa yang harus Anna keluarkan setelah Andre menyerangnya telak dengan kata-katanya barusan. Apa pun yang Anna ucapkan saat ini pasti akan tetap menyinggung pria tersebut, apakah Anna harus meminta maaf lagi? Tidak, meminta maaf bukanlah gayanya.
Denting jam dinding diruangan itu terasa sunyi dan sepi. Setiap detiknya membuat Anna merasa sesak serta merinding. Juga pendingin ruangan, semakin lama semakin dingin. Menusuk sekujur tubuh Anna yang kelihatan santai padahal aslinya tegang. Bola matanya yang abu-abu memindai Andre, senyum masih terpampang di wajah pria itu.
Ceklek!
Pintu terbuka.
"Kejutan!" seru lembut sosok wanita cantik yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, sukses menghancurkan suasana mencekam diantara Anna dengan Andre.
Baik Anna maupun Andre langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang wanita cantik yang tampaknya berumur dua tahun lebih tua daripada Anna berdiri di depan pintu. Walau kelihatan muda begitu, umurnya yang sebenarnya adalah tiga puluh lima tahun.
Wanita itu memiliki kulit putih bersih, tubuh yang membentuk huruf S terbalik sempurna, dan wajah yang cantik dilengkapi rambut di cat pirang bergelombang panjang dengan belahan pinggir, persis seperti artis korea. Anna dan Andre mengenal jelas wanita cantik itu, wanita itu adalah Amara, CEO Salia Company.
Kedatangan Amara yang tiba-tiba menyebabkan Andre berdiri dari kursinya. Kelihatannya, Andre tidak menyukai dan menduga situasi ini.
"Sebenarnya aku masih memiliki urusan, ada segerombolan tikus yang sangat menggangguku akhir-akhir ini. Terima kasih telah menyisihkan waktumu untukku, aku mungkin akan berkunjung ke apartemenmu untuk melihat pria seperti apa suamimu itu," pamit Andre sopan.
"Sama-sama Tuan Andre," balas Anna sama sopannya.
Andre lekas berjalan membelakangi Anna lalu keluar dari ruangan tersebut. Sebelum melewati pintu, Andre berbincang singkat dengan Amara. Pandangan Amara yang tertuju pada pintu segera teralihkan kepada Anna begitu sosok Andre lenyap setelah ia menutup pintu.
Tak!
Tuk!
Tak!
Tuk!
Suara hight heels yang dikenakan Amara mendengung, bagai irama konstan di dalam ruang tersebut yang lalu berhenti setelah Amara duduk di kursi yang sama dengan kursi yang di duduki Andre sebelum pergi, tepat berhadapan dengan Anna.
Anna menghela napas panjang, lega setelah mengetahui Andre telah pergi menjauh darinya. Akhirnya Anna tidak menjawab kata-kata Andre sebelumnya karena Anna tahu tidak menjawab seperti itu merupakan pilihan yang terbaik. Mungkin kedatangan Amara bisa dikatakan sebuah keberuntungan karena dapat membuat pilihan itu menjadi kenyataan.
"Aku bingung, kenapa di saat-saat sibuk seperti ini banyak sekali orang merepotkan seperti kamu yang datang mengunjungiku?" Anna tersenyum tipis kepada Amara, satu-satunya orang yang mungkin bisa Anna bilang adalah temannya.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu yang sangat mendadak itu." Amara mendesah. "kamu bahkan tidak mengundangku ke pernikahanmu. Lalu, dengan siapa kamu menikah? Aku tak tahu kamu pernah dekat dengan lelaki manapun."
"Ngomong-ngomong bagaimana hubunganmu dengan anakmu, apakah sudah membaik?" Anna mengganti topik pembicaraan.
***
"Bocah, seharusnya kamu lebih berhati-hati untuk saat ini." Anaemia mencoba menasehati Xavie.
"Berhenti mengomel! Aku tahu, aku hanya ingin menenangkan pikiran sebentar sambil mengunjungi seluruh tempat di kota ini," sanggah Xavie, menolak nasehat Anaemia.
"Firasatku sekarang buruk sekali," gumam Anaemia.
Mobil BMW M3 berwarna hitam itu melesat sangat cepat ke pinggir kota. Dengan matahari yang sudah menepi ke arah cakrawala sebelah barat. Cahaya keemasan yang di pancarkannya mengakibatkan mobil BMW itu berkilat-kilat.
Xavie menatap ke depan, senyum tipis terlukis di wajahnya. Anaemia tidak lagi berbicara karena tahu apa pun yang diucapkannya tidak akan di dengar Xavie.
Setengah jam telah berlalu semenjak Xavie mulai berakselerasi menggunakan mobil istrinya. Awalnya, Xavie hanya ingin membeli bahan makanan saja, akan tetapi ia tergoda untuk mengunjungi tempat-tempat yang ada di kota ini. Kini Xavie sedang menuju lokasi sepi yang sebelumnya pernah dia kunjungi namun saat Xavie ingin menaikkan kecepatan.
Brak!
Sebuah mobil Audi A5 berwarna putih melesat dari belokan gang kecil, menabrak body bagian depan mobil yang di kendarai Xavie.
Brak! Sebuah mobil Audi A5 berwarna putih melesat dari belokan gang kecil, menabrak body bagian depan mobil yang di kendarai Xavie. Hantaman yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat Xavie terkejut. Ia berusaha mengendalikan mobilnya agar tidak menabrak benda-benda di sekelilingnya namun gagal. Mobilnya tetap menabrak tiang listrik diikuti kepalanya yang terbentur oleh kemudi. Dahinya sedikit lecet, darah mengalir keluar lewat sana. Sambil teraduh-aduh, perlahan kepalanya terangkat dan melihat mobil BMW M3 milik istrinya telah mengalami kerusakan yang parah. Body bagian depan mobil itu telah hancur, asap mengepul keluar lewat sana. "Ini karma, kamu seharusnya mendengarkan perkataan orang yang lebih tua." Anaemia berkomentar di dalam kepala Xavie, seolah mengejek dirinya. Usai mendengar perkataan Anaemia, pembuluh darah di bagian samping dahinya tampak membesar, pertanda Xavie benar-benar kesal. "DIAM!" teriak Xavie dalam hati
Langit semakin menggelap, tirai malam sebentar lagi akan terbuka. Di tengah ramainya pepohonan pinus, Winda Jiao berlari melewati berbagai rintangan alam demi mengejar Xavie yang berada jauh di depannya. Sebelum memasuki hutan, Winda selalu bertanya-tanya mengenai alasan dibalik pria itu, Xavie, berlari menuju kedalaman hutan kecil ini. Winda memikirkannya sambil melangkahkan kakinya kencang tetapi sebelum ia mendapatkan jawabannya, hutan telah memberikan jawaban : gemerisik dedaunan, deru sungai kecil yang deras, derik serangga malam, dan kukuk burung hantu di kejauhan. Suara-suara itu menggema dari segala arah, menciptakan suasana yang sangat mencekam. Sang surya tenggelam, Winda Jiao akhirnya bergidik. Ia dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Jika harus jujur, Winda Jiao merasa malu. Di usianya sekarang, ia masih bisa merasa ketakutan di tempat seperti ini. Walau begitu, kakinya tetap tidak berhenti. Winda masih melangkah maju, berusaha
"Butuh berapa potong agar kamu berhenti beregenerasi?" tanya Xavie sinis, pandangannya mengarah sebentar ke arah Winda sebelum kembali ke monster itu. Ejekan-ejekan yang diberikan Xavie kelihatannya berhasil menyebabkan monster itu marah. Sekarang monster itu telah terfokus kepada Xavie, melupakan Winda yang sudah mendapatkan kendali tubuhnya. Setelah melewati sedikit keheningan, monster itu menerjang ke arah Xavie yang diam menantangnya. Di sisi lain, Winda langsung melangkahkan kakinya terbirit-birit meninggalkan Xavie bersama dengan monster itu. Bagi Winda saat ini, nyawanya adalah yang paling utama. Setelah keluar dan berlari cukup jauh dari gudang itu, ia bisa melaporkan kejadian itu kepada atasannya. Itulah yang Winda rencanakan pada waktu itu. Kembali kepada Xavie. Baik tatapan mata atau pun raut wajahnya, tidak ada yang berubah ketika melihat Winda meninggalkannya. Ia fokus memindai seluruh tubuh monster yang dengan cepatnya bergerak
Sosok penyihir yang menggunakan sapu terbang itu lekas turun begitu mengetahui Xavie telah menyadari keberadaannya. Di sisi lain, Xavie mewaspadai sosok penyihir yang dengan kencangnya terbang dan menghampirinya."Akar sihir tipe angin," pikir Xavie."Pakai! Orang aneh." Penyihir itu melemparkan jubahnya, Xavie dengan santainya menutupi tubuh telanjangnya. Kewaspadaannya telah hilang begitu melihat hal yang dilakukan dan mendengar suara penyihir itu.Penyihir itu adalah seorang wanita, ia langsung melirik Xavie yang telah selesai menutupi tubuhnya dengan jubah miliknya. Rhongomyniad di tangan Xavie sudah menghilang sebelum penyihir itu melihat dirinya. Kurang lebih, Xavie paham dengan situasinya sekarang."Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apakah kamu penyihir dari luar kota?" tanya penyihir itu."Ya," jawab Xavie singkat.Ketika Xavie dan penyihir itu saling berbicara, monster itu mengambil kesempatan deng
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam dan sekarang ketiga penyihir itu sudah selesai menyelidiki area pertempuran di dalam maupun di luar gudang tua itu. Tidak banyak informasi yang mereka peroleh namun ketiga penyihir itu tetap harus melaporkannya ke markas Asosiasi Penyihir Ivasaar. Markas Asosiasi Penyihir Ivasaar berada di kawasan sepi layaknya sebuah hutan namun dengan beberapa bangunan perumahan yang masih cukup berjarak. Pada umumnya orang yang tinggal di kawasan itu adalah penyihir sama seperti mereka bertiga. Butuh waktu sebanyak dua puluh menit untuk sampai bila menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata dan itulah yang mereka kendarai hingga sampai di sebuah bangunan perkantoran. Bangunan perkantoran itu terlihat sederhana, tidak mencurigakan. Seseorang tidak akan pernah menyangka bahwa tempat seperti itu adalah sebuah markas dari para penyihir yang ada di kota ini. Suasana hening saat memasuki bangunan itu sudah biasa mereka rasakan t
Ruangan itu lenggang, suara jarum jam dinding menyesak diantara mereka. Dengan meja kecil sebagai pembatas, Xavie dan Anna duduk di sebuah sofa saling berhadapan. Wajah Anna yang datar menatap Xavie dengan tajam, tampak sedang memperhitungkan sesuatu. "Jadi, kamu merusak mobilku hanya dalam sehari?" sindir Anna, tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ketika ia pulang ke apartemennya, ia mendapati satu mobilnya sudah hancur. Kini Anna mulai menimbang kembali, apakah menikah dengan Xavie adalah sebuah kesalahan? "Ya." Xavie tersenyum canggung. Ia sudah menjelaskan persoalan remaja yang menabrak mobilnya tapi kelihatannya alasan itu tidak dapat diterima Anna. Wajah dan tatapan Anna semakin merendahkan dan semakin tajam menatap Xavie yang sedang menjelaskan. Seharusnya Xavie membuat alasan yang lebih bagus lagi. "Lupakan!" Anna mendesah. "Masalah mobil itu, nanti akan kita bahas. Sebentar lagi temanku akan datang berkunjung untuk melihatmu."
Anna segera menyambut kedatangan Amara dan anaknya, Sean. Seorang remaja berumur lima belas tahun yang selalu mencari masalah dengan orang disekitarnya. Tak lama, mereka bertiga memasuki ruang tamu dan duduk di sofa saling berhadapan. Amara dan Sean duduk bersebelahan sedangkan Anna duduk berhadapan dengan mereka berdua. Sembari berbincang ringan dengan Amara, Anna sesekali melirik Sean yang diam sejak mengucapkan selamat kepada Anna atas pernikahannya. Di wajah remaja itu terdapat sebuah kekesalan dan kebosanan. Anna tebak, Sean pasti dipaksa oleh ibunya untuk mampir ke apartemennya. "Jadi, dimana suamimu? Kamu tidak menyembunyikannya, kan." Amara sudah tak lagi dapat menahan rasa penasarannya. Jawaban atas pertanyaannya barusanlah yang menjadi alasan kenapa Amara mendatangi kediaman Anna walau sudah larut malam. Anna tersenyum sebagai jawaban, kepala Amara menoleh ke arah suara langkah kaki. Sean mengikuti ibunya, mungkin ia juga penasaran dengan iden
Pintu depan mobil camaro itu terbuka, siluet pria keluar dari dalam mobil itu di saat yang bersamaan ketika Xavie menutup pintu, menghalangi penglihatan Anna yang terfokus melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam mobil. Baru saja Xavie berbalik tetapi suara Anna yang terdengar sangat memerintah sekejap memasuki pendengarannya. "Buka pintunya!" Xavie melirik Anna sejenak, merasakan perubahan pada suara begitu juga raut wajah istrinya. Suara langkah kaki dari balik pintu tiba-tiba tertangkap oleh telingannya, Xavie segera menyadari bahwa perubahan Anna berasal dari seseorang yang ada di seberang pintu ini. Pintu kembali terbuka, Andre Blanchet sudah berdiri tepat di depan pintu, bersiap menekan bel namun terhenti setelah melihat pintu terbuka dan Xavie yang sekarang berada di depan dirinya. Kedua pria itu saling tatap sebelum akhirnya tersenyum ramah, mencairkan udara dingin menusuk yang menerpa daerah tersebut.